Ide diadakannya lagi Ujian Nasional (UN) membuat saya sebagai orangtua mengernyitkan alis. Mereka bilang lulusan Indonesia tidak diterima di kampus luar negeri karena low quality. Tidak adanya ujian nasional membuat pendidikan Indonesia tidak punya tolok ukur.
Lalu ada lagi yang bilang kalau tidak ada UN anak jadi tidak belajar. Bisa dimaklumi kalau yang bilang tidak-ada-UN-anak-tidak-belajar itu bukan orangtua atau tidak punya anak usia sekolah.
Namun, kalau yang beranggapan itu orangtua yang anaknya sekolah di SD, SMP, atau SMA, maka patut dipertanyakan ke mana saja sampai segitu cueknya sama pendidikan anak?
Pemerintah telah "memaksa" orangtua untuk mendampingi dalam pembelajaran di sekolah sekaligus memberikan pendidikan karakter di rumah. Semuanya terpayungi dalam Permendikbud No. 30/2017. Ayah dan ibu yang bekerja juga tidak dapat jadi alasan orangtua abai terhadap pendidikan anak. Mereka bisa melakukan kepanjangan tangan lewat kakek, paman, bibi, atau anak tertua yang sudah bekerja, misalnya.
Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka
Sekarang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dipecah jadi tiga, sangat mungkin Permendikbud Nomor 30/2017 tentang Pelibatan Keluarga Pada Penyelenggaraan Pendidikan dalam waktu dekat tidak berlaku lagi. Namun, itu sudah cukup jadi bukti bahwa orangtua dan keluarga peserta didik tidak bisa abai membiarkan anak mereka tidak belajar meski tidak ada Ujian Nasional.
Pada awal Oktober 2024 lalu beredar video social experiment di media sosial. Kompascom memuat video viral itu yang menyebut banyak anak sekolah tidak tahu apa itu MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Mereka juga tidak tahu ibu kota Jawa Timur dan Jakarta ada di provinsi mana.
Pada buku Tema SD Kurikulum 2013 sudah ada pembelajaran yang membahas soal daerah di Indonesia juga wilayah di ASEAN. Di kurikulum yang berlaku sekarang, yaitu Kurikulum Merdeka juga ada pengenalan daerah-daerah di negara kita bagi siswa SMP dan SMA.
Hanya saja, karena merupakan pengetahuan umum amat mungkin para siswa itu hanya membacanya sambil lewat tanpa merasa perlu memasukkannya ke memori otak. Meski tidak tiap hari saya membaca buku pelajaran dan catatan anak, saya yakin apa yang diajarkan di Kurikulum 2013 dan disempurnakan oleh Kurikulum Merdeka sudah sesuai dengan jaman dan kebutuhan generasi sekarang meski tanpa ujian nasional.
Banyak orang menilai dua kurikulum ini gagal mendidik siswa. Saya gak ngerti, mereka yang bilang pendidikan di Indonesia itu gagal menilai dari sudut pandang mana?Â
Secara umum Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum terbaru justru makin mendorong anak untuk tidak saja menghapal, pun melatih otak kanan mereka dengan seni musik dan seni rupa.Â
Mereka juga dilatih dengan keterampilan nonformal seperti kerajinan tangan, mendaur ulang sampah, dan merawat tanaman. Seni musik, seni rupa, dan semuanya itu sama seperti yang didapat anak Indonesia pada masa Presiden Soeharto berkuasa.
Pada skala besar, kurikulum terbaru juga mendorong anak-anak kita untuk bangga pada bahasa dan budaya daerahnya sebagai orang Indonesia. Dari semua yang diajarkan itu, pada akhirnya mereka harus mampu berpikir kritis dalam memetakan masalah dan mencari solusi.
Kalau ada yang bilang Gen Z malas kuliah, maunya jadi selebgram, kerja juga pilih-pilih, mentalnya lemah, dan lain-lain, amat mungkin pola pikir dan selera kita yang tidak sefrekuensi dengan mereka.Â
Maka kalau dikatakan kurikulum Indonesia tidak bagus karena tidak ada Ujian Nasional yang jadi tolok ukur keberhasilan pendidikan, dari sudut pandang manakah pemikiran itu? Toh, sudah ada Ujian Tengah Semester (UTS-sekarang Asesmen Tengah Semester) dan Ujian Akhir Semester (UAS-sekarang Asesmen Sumatif Akhir Jenjang).Â
Di skala kabupaten/kota juga ada Tes Pemetaaan Mutu yang mengukur sejauh mana peserta didik di satu sekolah menyerap ilmu selama mereka di sekolah.
Beda Sekolah Beda Masalah
Perlu kita soroti fasilitas dan sarana-prasarana di sekolah. Meski sama-sama dapat BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dengan nominal sama dari pemerintah pusat, kemampuan akademik siswa di tiap sekolah berbeda. Sekolah langganan juara biasanya punya peserta didik yang kemampuan akademiknya lebih baik dari sekolah yang tidak.
Itu karena Komite sekolah berprestasi biasanya berani menggalang dana untuk mendongkrak fasilitas dan sarana-prasarana di sekolah mereka. Dengan begitu kemampuan akademik peserta didiknya juga terdongkrak.
Adanya Ujian Nasional dikhawatirkan memaksa anak desa untuk punya kemampuan akademik yang sama dengan anak kota. Padahal insfrastruktur pendidikan yang mereka dapat tidak sama.Â
Jangankan anak kota dan desa, fasilitas di sekolah swasta dan negeri saja bisa jauh berbeda. Sama-sama sekolah negeri yang beda kelurahan saja bisa punya infrastruktur pendidikan dan kemampuan akademik siswa yang njomplang. Apalagi yang di pulau Jawa dengan Flores.
Kalau mau menyamakan kualitas pendidikan dengan diadakannya Ujian Nasional (UN) maka berikanlah lebih dulu fasilitas dan sarana-prasarana ke sekolah yang belum punya ruang kelas, perpustakaan, ruang komputer, atau bahkan toilet.
Tidak Ada Ujian Anak Tidak Belajar?
Sekali lagi kalau ada orangtua yang setuju UN diadakan lagi, saya yakin mereka bukan orangtua. Kalaupun orangtua, mereka mungkin bukan orangtua yang punya anak usia sekolah. Sebab baik Kurikulum 2013 maupun Kurikulum Merdeka mendorong orangtua mendampingi proses belajar selama anak jadi peserta didik.Â
Tidak sedikit tugas sekolah yang perlu bantuan orangtua. Bukan artinya orangtua yang mengerjakan PR. Namun, orangtua membantu kalau anak kesulitan memahami atau PR itu sulit dikerjakan sendirian. Jadi tanpa Ujian Nasional pun siswa sudah cukup dibebani untuk memahami materi pelajaran, tugas sekolah, dan proyek kelompok.
Sudah ada UTS, UAS, dan Tes Pemetaan Mutu. Ada juga ANBK untuk mengukur mutu (kualitas) sekolah di Indonesia. ANBK adalah pengganti Ujian Sekolah Berstandar Nasional atau UN (Ujian Nasional). Jadi anggapan tidak-ada-ujian-anak-tidak-belajar itu dari mana. Ujian nyatanya ada dan anak harus belajar untuk menyelesaikan PR dan proyek-proyek kelas.
Lulusan Indonesia Ditolak S1 Kampus Luar Negeri?
Luar negerinya di mana dan kampusnya apa. Keponakan suami saya tahun ini diterima di University of Malaya. Sebelumnya dia kuliah di UPN Yogya, tapi tidak kerasan dengan jurusan dan lingkungan kampusnya. Jadi dia mendaftar lagi ke Malaysia dan diterima.
Anak teman saya juga tahun lalu ada yang kuliah di Amerika Serikat. Anak sepupu saya ada juga ada yang sudah semester 5 di kampus Belanda.
Kalau target kampusnya Harvard, Oxford, atau Stanford seperti Maudy Ayunda masuk akal lulusan Indonesia ditolak. Tiga kampus itu masuk lima kampus terbaik dunia. Anak Eropa dan Amerika saja belum tentu diterima, apalagi anak Indonesia.
Melansir Goodstats, jumlah mahasiswa S1 Indonesia di luar negeri ada 59.224 orang dengan sebaran 11.683 orang berada di Australia dan 9.682 berada di Malaysia. Tren kenaikan jumlah mahasiswa yang belajar ke luar negeri sudah ada sejak 2022. Ujian Nasional dihapus pada tahun 2021.Â
Kalau dikatakan anak Indonesia ditolak S1 kampus luar negeri karena tidak ada ujian nasional sebagai tolok ukur intelegensi dan intelektualitas, terus apa kabar beasiswa LPDP?
Kurikulum Berubah Sesuai Zaman
Alasan utama kenapa kurikulum pendidikan berubah tiap beberapa tahun sekali karena mengikuti perkembangan zaman dan karakteristik siswa generasi terbaru.
Generasi Z dan Alpha tidak bisa dididik menggunakan cara belajar-mengajar Gen X dan Milenial. Pun andai Gen Z dan Milenial dididik menggunakan cara belajar seperti sekarang, bisa jadi mereka gelagapan karena tidak sesuai jamannya. Untuk itulah diadakan peningkatan kompetensi guru secara berkala. Supaya guru generasi old mampu menyesuaikan cara mengajarnya dengan generasi jaman now.
Kurikulum di Finlandia, menurut kompascom, juga berubah tiap 10 tahun sekali. Bedanya kurikulum di kita ikut pemerintahan terbaru, di Finlandia tidak karena sudah terjadwal. Sementara itu di Australia kurikulum ditinjau tiap enam tahun sekali. Inggris Raya juga mengubah kurikulum mereka tiap tujuh tahun sekali.
Pendidikan formal kita sebetulnya sudah sesuai zaman dan kebutuhan generasi sekarang. Kekurangan memang masih ada di beberapa sisi. Hanya saja kalau dibenturkan dengan realita hidup seperti, "Anak muda sekarang susah disuruh lembur, cari kerja milih-milih, dan gampang nyerah." atau "Anak SMA sekarang maunya jadi TikToker dan selebgram biar dapet duit. Disuruh belajar malah main Mobile Legend."
Itu bukan salah mereka. Generasi kitalah (yang tua-tua) yang lepas tangan hanya menyerahkan pendidikan anak kepada guru di sekolah karena merasa sudah bayar. Generasi kitalah yang tutup mata terhadap perkembangan zaman dan teknologi yang dialami anak SD sampai SMA sekarang.
Padahal pendidikan itu bukan cuma mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dan mestinya tidak diukur dari ujian nasional semata. Jangan lupakan pendidikan moral, etika, adab, dan kebiasaaan baik yang utamanya ada ditangan keluarga, bukan di sekolah.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI