Mereka juga dilatih dengan keterampilan nonformal seperti kerajinan tangan, mendaur ulang sampah, dan merawat tanaman. Seni musik, seni rupa, dan semuanya itu sama seperti yang didapat anak Indonesia pada masa Presiden Soeharto berkuasa.
Pada skala besar, kurikulum terbaru juga mendorong anak-anak kita untuk bangga pada bahasa dan budaya daerahnya sebagai orang Indonesia. Dari semua yang diajarkan itu, pada akhirnya mereka harus mampu berpikir kritis dalam memetakan masalah dan mencari solusi.
Kalau ada yang bilang Gen Z malas kuliah, maunya jadi selebgram, kerja juga pilih-pilih, mentalnya lemah, dan lain-lain, amat mungkin pola pikir dan selera kita yang tidak sefrekuensi dengan mereka.Â
Maka kalau dikatakan kurikulum Indonesia tidak bagus karena tidak ada Ujian Nasional yang jadi tolok ukur keberhasilan pendidikan, dari sudut pandang manakah pemikiran itu? Toh, sudah ada Ujian Tengah Semester (UTS-sekarang Asesmen Tengah Semester) dan Ujian Akhir Semester (UAS-sekarang Asesmen Sumatif Akhir Jenjang).Â
Di skala kabupaten/kota juga ada Tes Pemetaaan Mutu yang mengukur sejauh mana peserta didik di satu sekolah menyerap ilmu selama mereka di sekolah.
Beda Sekolah Beda Masalah
Perlu kita soroti fasilitas dan sarana-prasarana di sekolah. Meski sama-sama dapat BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dengan nominal sama dari pemerintah pusat, kemampuan akademik siswa di tiap sekolah berbeda. Sekolah langganan juara biasanya punya peserta didik yang kemampuan akademiknya lebih baik dari sekolah yang tidak.
Itu karena Komite sekolah berprestasi biasanya berani menggalang dana untuk mendongkrak fasilitas dan sarana-prasarana di sekolah mereka. Dengan begitu kemampuan akademik peserta didiknya juga terdongkrak.
Adanya Ujian Nasional dikhawatirkan memaksa anak desa untuk punya kemampuan akademik yang sama dengan anak kota. Padahal insfrastruktur pendidikan yang mereka dapat tidak sama.Â
Jangankan anak kota dan desa, fasilitas di sekolah swasta dan negeri saja bisa jauh berbeda. Sama-sama sekolah negeri yang beda kelurahan saja bisa punya infrastruktur pendidikan dan kemampuan akademik siswa yang njomplang. Apalagi yang di pulau Jawa dengan Flores.
Kalau mau menyamakan kualitas pendidikan dengan diadakannya Ujian Nasional (UN) maka berikanlah lebih dulu fasilitas dan sarana-prasarana ke sekolah yang belum punya ruang kelas, perpustakaan, ruang komputer, atau bahkan toilet.
Tidak Ada Ujian Anak Tidak Belajar?
Sekali lagi kalau ada orangtua yang setuju UN diadakan lagi, saya yakin mereka bukan orangtua. Kalaupun orangtua, mereka mungkin bukan orangtua yang punya anak usia sekolah. Sebab baik Kurikulum 2013 maupun Kurikulum Merdeka mendorong orangtua mendampingi proses belajar selama anak jadi peserta didik.Â