Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Unjuk Rasa Tanpa Rusuh dari Kepentingan Pendemo dan yang Didemo

23 Agustus 2024   13:38 Diperbarui: 26 Agustus 2024   09:31 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tambahan lagi dia dari Partai Gerindra yang melakukan revisi UU Pilkada dan mengabaikan keputusan MK soal batas usia dan parliamentary threshold. 

Berkaitan dengan hal itu, dapat dipastikan kalau unjuk rasa yang berakhir rusuh biasanya yang ada hubungannya dengan kebijakan publik, keputusan lembaga negara, aparat hukum, dan institusi pemerintahan. 

Itulah juga yang jadi alasan Gerakan 212 sukses menggelar unjuk rasa tanpa rusuh. Meski termasuk unjuk rasa cari perhatian, yang mereka tentang adalah individu, bukan kebijakan publik atau yang berhubungan dengan pemerintahan maka tidak ada pertentangan kepentingan antara yang didemo dengan pendemo.

Tubrukan Kepentingan

Pertentangan kepentingan antara pendemo dengan yang didemo bisa juga terjadi di luar hal yang berbau pemerintahan. Kalau boleh menilik ke masa lampau, teman-teman SMA saya pernah melakukan demo menuntut penurunan SPP (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan).

Dua puluh lima tahun lalu teman-teman SMA saya menganggap uang sekolah kemahalan (Rp100.000) padahal fasilitas dan ekstrakurikuler tergolong minim untuk ukuran sekolah swasta. Mereka menghitung dengan cuma punya tiga ekstrakurikuler dan dua laboratorium mestinya uang sekolah bisa hanya Rp50.000 saja. 

Waktu itu SPP di SMA negeri di Jaksel ada di kisaran Rp30.000-Rp35.000. Jadi Rp50.000 buat sekolah swasta rasanya tidak mahal juga tidak murah. Unjuk rasa berlangsung sejak pukul 07.10 sampai pukul 09.00 saja karena kepala sekolah langsung mengajak siswa berdiskusi di ruangannya. 

Hadir juga guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan, sering disebut juga dengan BK-Bimbingan dan Konseling), guru IPA, dan guru agama. Guru IPA dihadirkan atas permintaan ketua OSIS karena beliau lebih sering mengajar teori di kelas alih-alih praktik di laboratorium.

Pihak sekolah yang gercep mengakomodir keinginan siswa membuat unjuk rasa berakhir lebih cepat tanpa ribut-ribut apalagi rusuh dan ricuh. Padahal kalau saya ingat lagi, uang sekolah tidak turun, tetap Rp100.000 sampai kami lulus. Kadang kita memang cuma butuh didengarkan.

Kalau kita cermati dari berbagai berita, unjuk rasa yang berbumbu rusuh dan ricuh biasanya terjadi karena benturan kepentingan antara pendemo dan yang didemo.

Pihak yang didemo tidak ingin duduk semeja dan membicarakannya kepada pendemo karena tidak ingin mengubah apa pun yang sudah atau yang ingin diputuskan.

Ricuh dan rusuh makin sulit dihindari kalau yang didemo minta bantuan aparat, entah itu satpam, hansip, atau polisi. Kalau sudah melibatkan aparat hampir dipastikan unjuk rasa akan berakhir rusuh karena terjadi kontak fisik yang tidak seimbang.

Deindividuasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun