Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ironi Sekolah Negeri Tersandera Jargon Sekolah Gratis

26 Agustus 2024   14:25 Diperbarui: 27 Agustus 2024   19:17 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sekolah dari Freepik/user11649243

Sabtu kemarin sekolah anak-anak kami ikut karnaval budaya yang diadakan pemerintah kecamatan. Hadir sebagai tamu rutin (Pj) bupati Magelang dan jajaran pemerintahannya.

Namun, ada pemandangan drastis yang bikin miris. SD Negeri tempat anak perempuan kami sekolah mampu menghadirkan mobil maskot bertema Garuda. Mobil sound system untuk mengiringi selusin penari Topeng Ireng juga indah berhias pemandangan dan simbol IKN. Pun para siswa anggota drumband piawai memainkan alat musik sambil berbaris sejauh 2 km.

Hal kontras terjadi di SMP Negeri tempat anak laki-laki kami sekolah. Mereka cuma mampu membawa kurang dari dua lusin siswanya tanpa mobil maskot apalagi penari dan drumband. Mereka cuma berdefile dengan membawa spanduk dan satu arakan.

Kenapa yang SD justru bisa menampilkan yang lebih spektakuler dari yang SMP? Padahal SD dan SMP tempat anak-anak kami belajar ini sama-sama terkenal puluhan tahun sebagai sekolah negeri unggulan yang mencetak siswa berprestasi. Jawabannya? Duit.

Pihak SD mengeluarkan Rp2jt dari dana BOS, sisanya Rp12jt dari iuran paguyuban 8 kelas yang mengikuti karnaval budaya. Sementara itu karena SMP tidak boleh minta sumbangan sama sekali dari orang tua dan paguyuban, maka peserta karnaval budaya yang mereka ikuti juga ala kadarnya, yang penting berpartisipasi.

Soal tidak boleh memungut sumbangan ini sebabnya adanya jargon sekolah gratis yang digaungkan pada 2008 dan efektif pada 2013 sejak diberlakukannya UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003.

Kurva Biaya dan Prestasi

Kalau kita perhatikan sekarang ini, sekolah yang berani memasang spanduk "Sekolah Gratis" saat PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) hanyalah sekolah negeri yang tidak punya ekstrakurikuler selain Pramuka, tidak pernah mengikuti lomba, dan tidak pernah ikut kegiatan non akademik macam karnaval budaya.

Itu karena sekolah yang tidak punya beragam ekstrakurikuler tidak perlu membayar honor pelatih dan menyediakan fasilitas penunjangnya. Ekstrakurikuler Pramuka dan PMR (Palang Merah Remaja), misalnya, masih bisa dibiayai dari dana BOS. Sekolah seperti itu juga tidak perlu keluar uang untuk biaya transportasi dan konsumsi saat mengirim siswanya bertanding di berbagai lomba. Pun tidak perlu keluar uang untuk memodali karnaval budaya.

Peserta didik di sekolah itu pun harus puas hanya dengan aktivitas sekolah-pulang-sekolah-pulang setiap harinya. Kalau ingin mengembangkan minat dan bakat dibidang lain, mereka harus mengikutinya secara mandiri di tempat lain.

Berdasarkan data dari bos.kemdikbud.go.id dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan untuk SD Rp900.000 per anak per tahun. Jenjang SMP menerima Rp1.100.000 per anak per tahun. BOS lebih besar diberikan untuk sekolah yang berada di daerah 3T (terpencil, terluar, tertinggal).

Makin banyak jumlah peserta didik di satu sekolah (idealnya 28 siswa per kelas) makin banyak juga BOS yang diberikan untuk sekolah itu. Jadi tiap tahun satu sekolah bisa menerima nominal BOS yang berbeda tergantung berapa jumlah peserta didik yang mereka punya.

Selain itu ada juga BOS Kinerja Sekolah Prestasi. BOS ini diberikan kepada sekolah yang sering menang lomba. Namun, tidak sembarang lomba. Lomba yang menerima BOS Kinerja Sekolah Prestasi adalah yang termasuk dalam riset dan inovasi, seni budaya, dan olahraga. Minimal prestasi yang diraih adalah yang setingkat provinsi, nasional, dan internasional.

Melihat syaratnya harus setingkat provinsi ke atas berarti yang dapat BOS tambahan adalah sekolah yang memenangi lomba berjenjang seperti MAPSI, Olimpiade Sains Nasional, Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional, Pekan Olahraga Pelajar, dan yang diselenggarakan oleh kementerian.

Sementara itu, sekolah yang menjuarai di tingkat kabupaten/kota juga dapat BOS dari Pemkab/Pemkot. Kabupaten Magelang memberikan BOS Daerah pada 2023 sebesar Rp11.000 per anak per tahun. BOS Daerah inilah yang biasanya digunakan sekolah untuk melakukan renovasi kecil seperti, misalnya, mengecat musala atau perpustakaan, dan memperbaiki toilet.

Satu hal yang sering kita lupa, sekolah harus punya modal dulu untuk bisa meraih prestasi seperti yang diinginkan negara. Biaya untuk sampai ke tingkat kabupaten saja sudah berat, apalagi kalau lomba itu membawa banyak peserta. Maka disinilah berlaku kurva biaya dan prestasi.

Kepala SMP anak kami pernah bilang kalau mereka tidak mengikuti semua cabang lomba MAPSI karena alat-alat yang diperlukan untuk bertanding rusak. Pun di lomba Olimpiade Sains Nasional yang tadinya selalu tembus nasional, beberapa tahun belakangan melempem cuma sampai kabupaten saja.

Alasannya bikin miris. Kepala sekolah dan ketua komite sekolah tiap tahun dilaporkan ke dinas pendidikan dan kepolisian karena dianggap memungut iuran. Ironisnya laporan itu dibuat oleh orang tua peserta didik. Inilah yang lantas membuat komite sekolah tidak bisa lagi menggalang dana untuk membiayai ekstrakurikuler dan mengirim siswa ke kejuaraan. Padahal dulu SMP ini salah satu yang terbaik se-kabupaten dibuktikan dari integritas saat ujian dan prestasi akademik-non akademiknya.

BOS dan Beban Biaya Orang Tua

Bila menilik pada Permendikbud Nomor 75/2016 tentang Komite Sekolah, di Pasal (3) ayat (1) huruf b dapat kita baca:

Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Komite Sekolah bertugas untuk menggalang dana dan sumber daya Pendidikan lainnya dari masyarakat baik perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri maupun pemangku kepentingan lainnya melalui upaya kreatif dan inovatif.

Hal tersebut bisa dimaknai:

1. Pendidikan itu tidaklah betul-betul gratis sebab Komite Sekolah boleh menggalang dana untuk membiayai program dan kebijakan sekolah.

3. Dana BOS hanya untuk meringankan bukan membiayai secara penuh pendidikan di sekolah.

Hal serupa dikatakan oleh anggota Komisi X DPRD Kabupaten Magelang Syukur Ahadi saat sosialisasi lima hari sekolah Juli 2024. Beliau bilang dana BOS memang tidak bisa meng-cover semua kebutuhan sekolah, maka komite sekolah boleh menggalang iuran untuk membiayai kegiatan yang diperlukan.

Maka jargon sekolah gratis sebetulnya absurd dan sekadar gincu untuk mengkampanyekan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Memaknai Kata Gratis

Gratis artinya cuma-cuma alias tidak dipungut bayaran. Uang sekolah memang gratis tidak bayar. Buku ajar pun sudah disediakan sekolah dan bisa dipinjam selama tahun ajaran berlangsung, jadi siswa tidak perlu beli.

Sayangnya, kita menganggap gratisnya sekolah untuk semua hal. Padahal kita harus mengeluarkan uang untuk seragam, LKS/Modul untuk latihan soal, dan ekstrakurikuler buat anaknya kalau sekolah itu menyediakan.

Inilah yang membuat jargon sekolah gratis lama-lama jadi tidak relevan dengan kenyataan.

Sekolah Negeri Berprestasi untuk Anak Miskin

Bagaimana dengan keadilan pendidikan bagi seluruh rakyat orang miskin? Bukankah sekolah negeri harusnya jadi solusi mengatasi putus sekolah dan memberi pendidikan berkualitas bagi siswa miskin?

Betul. Kembali lagi ke atas, untuk bisa jadi sekolah berkualitas sekolah negeri butuh uang juga membiayai ruang komputer, misalnya, atau perpustakaan, laboratorium, dan memperbaiki kelas supaya nyaman buat belajar.

Pun untuk menjadi sekolah berprestasi sebuah sekolah harus punya modal dulu untuk mencapai prestasi itu. Kalau sekolah negeri kekurangan uang untuk membuat sekolahnya jadi berkualitas dan berprestasi, maka tidak akan ada orang tua yang mau menyekolahkan anaknya di sana.

Fenomena ini sudah terjadi di Jabodetabek dan kota besar lainnya. Orang tua kaya lebih memilih menyekolahkan anak di swasta karena fasilitas lebih lengkap dan kegiatan yang lebih beragam.

Kalau sudah begitu, nantinya pemerintah bakal seadanya juga membiayai sekolah negeri karena BOS Regular dikucur sesuai jumlah peserta didik. BOS Kinerja Prestasi Sekolah juga cuma diguyur untuk sekolah yang (punya modal) berprestasi. Lama-lama sekolah negeri cuma jadi sekolah "kelas dua" yang hanya diperuntukkan bagi anak-anak miskin

Lagipula mayoritas sekolah negeri berprestasi cuma perlu biaya untuk keperluan ekstrakurikuler dan logistik untuk mengirim peserta didik ke perlombaan. Bukan untuk membuat bangunan megah dengan fasilitas wah. Kalau ada komite sekolah menggalang dana untuk memperbaiki toilet atau membuat studio multimedia, itu berdasarkan kebutuhan terhadap perkembangan zaman, bukan untuk gegayaan.

Selain itu orang tua yang miskin juga tidak ikut diminta urunan. Orang tua yang menolak bayar pun-meski finansialnya mampu-tidak dipaksa nyumbang. Tapi, ya, kalau mampu, tapi gak mau ikut urunan terus anaknya ikut ekskul dan terdongkrak prestasinya di sekolah, rasanya gimana, ya. Pelit bukan, sih?

BOS yang diterima sekolah semuanya diawasi oleh pengawas korwil masing-masing. Pengawas bahkan menegur kalau ada alokasi BOS yang digunakan tidak sesuai peruntukannya. SD anak kami pernah kena tegur karena menggunakan dana BOS untuk membiayai pesantren Ramadan. Padahal kegiatan itu orang tua juga yang minta.

Maka kita sebetulnya tidak perlu kuatir dana BOS akan dikorupsi oleh kepala sekolah atau komite karena pengawasan dan laporan pertanggungjawabannya ketat. 

Sekolah negeri yang prestasi non akademiknya menyamai swasta sebetulnya tempat ideal buat anak-anak miskin belajar. Di sini mereka bisa mengembangkan minat dan bakatnya sambil menikmati pendidikan murah berkualitas. Kelak dengan minat, bakat, dan riwayat sekolahnya dia bisa lepas dari lingkaran setan kemiskinan.

Jadi jangan biarkan sekolah negeri berjuang sendirian mempertahankan prestasinya. Selama korupsi masih merajalela, melulu mengharapkan pemerintah sama saja seperti pungguk merindukan bulan. 

Tidak menjelekkan sekolah tempat anak kita belajar saja sudah merupakan bantuan yang amat berharga. 

Kemudian, lupakanlah jargon sekolah gratis karena kenyataan membuktikan makin banyak prestasinya makin susah gratis sekolahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun