Banyak dari kita yang hanya samar membicarakan tragedi 12-14 Mei 1998 prareformasi karena tidak yakin fakta apa yang sebetulnya menimpa saudara-saudara Tionghoa kita saat itu. Namun, Acek lugas tanpa keraguan bahwa dia meyakini perkosaan dan pembantaian itu benar terjadi pada orang dan perempuan Tionghoa.
Meski begitu, Acek Rudy menyisipkannya dengan kebijaksaan. Ini membuat kita  yang non-Tionghoa jadi adem, maklum, dan tidak terpancing soal benar-tidaknya kengerian yang dialami orang-orang Tionghoa saat peristiwa Mei 1998. Dari sini jelas Acek Rudy ingin novelnya dinikmati semua kalangan tanpa memandang SARA.
Membaca QI-Sha Tujuh Bintang Petaka dari awal sampai akhir tanpa melewatkan satu halaman pun membuat saya merasa telah membaca novel yang menggabungkan ciri khas Dee Lestari dan Dan Brown sekaligus! Bisa dibayangkan betapa seru dan mempesonanya membaca karya sastra hasil gabungan novel dua novelis ternama itu.
***
Membaca Qi-Sha Tujuh Bintang Petaka ini ternyata mengalami kemajuan pesat daripada Berdansa dengan Kematian, tidak heran kalau nanti Acek Rudy si numerolog numero uno akan sama terkenalnya dengan Dewi "Dee" Lestari sebagai novelis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H