Sewaktu peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi diterapkan secara efektif pada tahun ajaran 2018/2019, banyak orangtua protes karena kesempatan anak mereka yang pintar masuk ke sekolah unggulan jadi kecil. Walau si anak berotak encer, tapi kalau rumahnya lebih jauh dari anak yang otaknya pas-pasan, kemungkinan tidak diterima lebih besar.
Nasib seperti itu dialami putri Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Mengutip kompascom, Camillia Laetitia Azzahra, sang anak, tidak diterima di SMPN 2 Bandung tahun 2018 padahal nilai-nilainya tinggi.Â
Rumah Zara-panggilan akrab Camillia, kurang dekat dari sekolah yang menyebabkan namanya terpental. Meski Zara kecewa sampai menangis, Ridwan Kamil memilih untuk tidak menggunakan pengaruhnya sebagai gubernur dan memilih menyekolahkan Zara di SMP swasta. Ketika SMA baru Zara akhirnya masuk ke sekolah negeri impiannya.
Sekarang kesempatan murid pintar masuk ke sekolah unggulan makin lebar sejak Mendikbudristek Mas Nadiem merevisi aturan PPDB Zonasi lewat Permendikbud No. 44 Tahun 2018.Â
Jalur prestasi yang tadinya maksimal 5 persen, sekarang jadi 30 persen dari total kuota yang tersedia. Artinya anak pintar yang rumahnya tidak mepet dari sekolah berpeluang lebih besar diterima berdasarkan nilai rapor mereka (jenjang SMP dan SMA/SMK).
Sudah diberlakukan PPDB Zonasi kenapa anak dan orangtua masih mengincar masuk sekolah negeri favorit?
Tanyakan langsung pada mereka dan ini jawaban yang bakal kita dapat.
1. Prestasi akademik dan nonakademik
Sekolah (berlabel) unggulan atau favorit membangun prestasi pelan-pelan sejak puluhan tahun lalu.Â
Karena itulah mereka punya jejaring dari alumni dan mantan guru yang bisa memotivasi dan memfasilitasi peserta didik untuk mencapai potensi terbaiknya.
Sekolah unggulan sudah jadi langganan juara di lomba ini-itu. Pun rata-rata nilai akademik muridnya lebih tinggi daripada sekolah non-unggulan. Ini membuat banyak anak berotak encer kemudian kepincut. Mereka merasa bisa meraih prestasi dan jadi anak unggul. Pun anak yang biasa-biasa saja ikut termotivasi ingin pintar, minimal standar akademik mereka diatas rata-rata murid sekolah lain.
Prestasi akademik ini sampai sekarang sulit disamai oleh sekolah swasta. Maka lagi-lagi anak dan orangtua mengincar sekolah yang selama puluhan tahun dikenal sebagai sekolah unggulan, sekolah bagus, sekolah favorit, dan macam-macam namanya.
2. Pergaulan antar-teman relatif positif
Hampir tidak pernah terdengar ada murid dari sekolah unggulan yang terlibat tawuran, klitih, atau kejahatan jalanan lainnya.Â
Itu terjadi karena murid-murid di sekolah unggulan sudah menghabiskan waktu untuk belajar dan berkegiatan di sekolah. kadang sampai malam. Â Adanya peraturan ketat dan kesinergian sekolah dengan orangtua juga terus dilakukan guna mencegah perilaku buruk anak di luar sekolah.
3. Pendidikan agama seimbang
Meskipun porsi pelajaran agama di sekolah negeri sedikit dibanding sekolah religi, aktivitas sehari-hari di sekolah sudah jadi wadah untuk membangun karakter peserta didik.Â
Murid beragama Islam, misalnya, harus mengucapkan salam tiap masuk kelas, mengaji sepekan sekali, mengikuti kegiatan Cinta Islami, dan acara perayaan keagamaan seperti Maulid Nabi dan berkurban.
Murid beragama selain Islam pun dapat guru agama sendiri dan diikutsertakan dalam perayaan agama mereka bersama sekolah religi yang seagama.
4. Biaya murah
Soal biaya murah ini sifatnya relatif. Mahal kalau dibandingkan dengan sesama sekolah negeri, tapi jauh lebih murah bila tolok ukurnya sekolah swasta berbasis agama.
Sebagai contoh, di Kecamatan Muntilan tempat kami tinggal ada satu SMP negeri yang dikenal sebagai sekolahnya anak-anak pandai. Dari situ kemudian berkembang persepsi kalau sekolah tersebut mahal. Mahal yang dikatakan orang-orang ternyata "cuma" Rp600.000 per tahun yang digalang Komite Sekolah dari orangtua murid.Â
Sayang sekali banyak orangtua tidak memahami apa yang disampaikan pada mereka saat pertemuan sehingga tidak tahu kalau biaya yang dibutuhkan sekolah linier dengan prestasi yang ditoreh.
Pengharapan Tinggi Orangtua
Sekolah-sekolah negeri unggulan tidak pernah memasang spanduk yang menyatakan sekolah mereka gratis. Kampanye sekolah gratis biasanya diterapkan di sekolah pedesaan yang tidak punya banyak ekstrakurikuler dan jarang berpartisipasi di lomba berjenjang. Pun sekolah yang benar-benar gratis adalah sekolah vokasi yaitu SMK.
SMK dapat bantuan operasional lebih besar dari Kemdikbud dan industri karena mereka ingin menghasilkan lulusan yang siap kerja.
Kalau kita mau sebentar saja membaca sendiri soal dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) di situs ditpsd.kemdikbud.go.id, kita bisa tahu kegiatan apa saja di sekolah yang cukup dibiayai dari BOS dan yang tidak.
Jadi kalau Komite Sekolah mengadakan pertemuan yang isinya pemaparan visi-misi dan rencana kegiatan sekolah di tahun ajaran baru oleh kepala sekolah, kita tidak bisa mengeluh, "Sekolah, kok, duit terus, katanya sekolah negeri gratis."
Belajar-mengajarnya memang gratis, tapi kegiatannya yang mbayar sebab sekolah negeri punya beban moril dan materil untuk tetap jadi unggul. Itulah yang diharapkan orangtua saat memasukkan anak mereka ke sekolah unggulan.
Keunggulan itu yang harus kita sadari faktanya tidak akan bisa dibiayai hanya oleh dana BOS. Walaupun ada BOS Kinerja, pemerintah masih menyamakan dana BOS untuk semua sekolah, sementara kebutuhan tiap sekolah berbeda.
BOS Kinerja sendiri ada tiga macam dan salah satunya berupa BOS Kinerja Sekolah Berprestasi. BOS Kinerja Sekolah Berprestasi diberikan kalau sekolah sudah punya prestasi lebih dulu. Jadi sekolah perlu modal diawal untuk membangun prestasi tersebut.
Sebagai contoh di SD anak kami punya 12 ekstrakurikuler. Ekstrakurikuler yang paling diminati adalah pencak silat, seni rupa, seni tari, dan futsal. Belakangan futsal tidak aktif karena tidak ada biaya untuk honor pelatih dan sewa lapangan. Futsal hanya aktif kalau akan ada lomba saja seperti POPDA (Pekan Olahraga Daerah) atau perlombaan yang diadakan swasta.
Dua belas ekstrakurikuler itu bergantian jadi pendongkrak prestasi nonakademik sehingga SD anak kami jadi sekolah yang disegani-bahkan oleh sekolah swasta mahal.
Sayang sekali, sejak ganti kepala, sekolah tampak tidak bersemangat mempertahankan prestasi nonakademik ini karena keengganan Komite Sekolah menggalang dana untuk membantu pembiayaan kegiatan. Padahal, salah satu ciri sekolah unggulan adalah ekstrakurikulernya yang sejajar dengan sekolah swasta top. Bukan untuk gaya-gayaan, melainkan memfasilitasi minat dan bakat murid. Jadi selepas jam sekolah, waktu luang murid diisi dengan kegiatan positif.
Bisa saja murid ikut les atau kegiatan di tempat lain, tapi biayanya pasti lebih mahal dibanding kalau ikut di sekolah. Di sekolah biaya ditanggung bareng-bareng jadi tidak terasa berat.
Standar Nasional Pendidikan dan Akreditasi Sekolah
Salah satu penyebab sekolah unggulan tetap unggul sementara sekolah biasa susah unggul adalah karena fasilitas dan sarana-prasaran
PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) mengatur soal fasilitas dan sarana-prasarana  yang harus dipenuhi satu sekolah supaya memenuhi syarat SNP. Sekolah yang lengkap fasilitas dan sarana-prasarananya kemudian dapat Akreditasi A, B, dan C.
Sekolah yang berakreditasi A berarti kualitasnya lebih baik dari sekolah akreditasi B dan C dari sisi penerapan kurikulum, kelengkapan fasilitas, dan kompetensi guru. Makanya sekolah berlabel unggulan selalu berakreditasi A karena fasilitas dan sarana-prasarananya yang lengkap mendorong prestasi siswanya jadi mencorong.
Dalam visitasi akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN SM) sekolah juga harus meminimalisir-bahkan menghilangkan-adanya perundungan dan kekerasan di sekolah. Akreditasi sekolah yang sudah A bisa turun jadi B atau C kalau sekolah gagal mempertahankan kualitasnya.
Di sinilah PPDB Zonasi jadi pertanyaan besar. Bisakah meratakan mutu pendidikan dengan menyebar murid-murid pintar ke berbagai sekolah? Tidakkah penting menambah fasilitas dan sarana-prasarana di sekolah yang belum unggul alih-alih memaksa sekolah unggul menurunkan kualitasnya?
Sekolah negeri makin lama berada dalam impitan tuntutan. Dari orangtua dan negara.
Orangtua menaruh harapan besar anak mereka bisa jadi pintar dan berprestasi di sekolah unggulan, tapi enggan mengeluarkan uang sepeser pun karena kampanye keliru dari awal soal sekolah negeri gratis. Negara juga menuntut sekolah negeri mempertahankan kualitas dengan memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan adanya pembagian akreditasi A, B, dan C.
Bahkan negara mensyaratkan sekolah untuk lebih dulu menunjukkan prestasinya kalau mau dapat tambahan dana BOS. Padahal, gimana mau jadi juara Olimpiade Sains Nasional-tingkat kecamatan-kalau tidak punya duit untuk mendatangkan tutor yang kompeten. Gimana mau juara lomba Pramuka kalau tidak mampu memberi ongkos bensin untuk kakak-kakak pembina dari kwartir.
Namun, kita tidak perlu kecil hati. Soal dana BOS yang pas-pasan, prestasi antarsekolah negeri yang njomplang, dan mutu pendidikan yang tidak merata juga dialami negara maju seperti negeri Paman Sam.Â
Wajar saja mungkin, ya, karena duit pemerintah dipakai untuk banyak kebutuhan negara, bukan cuma untuk pendidikan saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H