Sayang sekali, sejak ganti kepala, sekolah tampak tidak bersemangat mempertahankan prestasi nonakademik ini karena keengganan Komite Sekolah menggalang dana untuk membantu pembiayaan kegiatan. Padahal, salah satu ciri sekolah unggulan adalah ekstrakurikulernya yang sejajar dengan sekolah swasta top. Bukan untuk gaya-gayaan, melainkan memfasilitasi minat dan bakat murid. Jadi selepas jam sekolah, waktu luang murid diisi dengan kegiatan positif.
Bisa saja murid ikut les atau kegiatan di tempat lain, tapi biayanya pasti lebih mahal dibanding kalau ikut di sekolah. Di sekolah biaya ditanggung bareng-bareng jadi tidak terasa berat.
Standar Nasional Pendidikan dan Akreditasi Sekolah
Salah satu penyebab sekolah unggulan tetap unggul sementara sekolah biasa susah unggul adalah karena fasilitas dan sarana-prasaran
PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) mengatur soal fasilitas dan sarana-prasarana  yang harus dipenuhi satu sekolah supaya memenuhi syarat SNP. Sekolah yang lengkap fasilitas dan sarana-prasarananya kemudian dapat Akreditasi A, B, dan C.
Sekolah yang berakreditasi A berarti kualitasnya lebih baik dari sekolah akreditasi B dan C dari sisi penerapan kurikulum, kelengkapan fasilitas, dan kompetensi guru. Makanya sekolah berlabel unggulan selalu berakreditasi A karena fasilitas dan sarana-prasarananya yang lengkap mendorong prestasi siswanya jadi mencorong.
Dalam visitasi akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN SM) sekolah juga harus meminimalisir-bahkan menghilangkan-adanya perundungan dan kekerasan di sekolah. Akreditasi sekolah yang sudah A bisa turun jadi B atau C kalau sekolah gagal mempertahankan kualitasnya.
Di sinilah PPDB Zonasi jadi pertanyaan besar. Bisakah meratakan mutu pendidikan dengan menyebar murid-murid pintar ke berbagai sekolah? Tidakkah penting menambah fasilitas dan sarana-prasarana di sekolah yang belum unggul alih-alih memaksa sekolah unggul menurunkan kualitasnya?
Sekolah negeri makin lama berada dalam impitan tuntutan. Dari orangtua dan negara.
Orangtua menaruh harapan besar anak mereka bisa jadi pintar dan berprestasi di sekolah unggulan, tapi enggan mengeluarkan uang sepeser pun karena kampanye keliru dari awal soal sekolah negeri gratis. Negara juga menuntut sekolah negeri mempertahankan kualitas dengan memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan adanya pembagian akreditasi A, B, dan C.
Bahkan negara mensyaratkan sekolah untuk lebih dulu menunjukkan prestasinya kalau mau dapat tambahan dana BOS. Padahal, gimana mau jadi juara Olimpiade Sains Nasional-tingkat kecamatan-kalau tidak punya duit untuk mendatangkan tutor yang kompeten. Gimana mau juara lomba Pramuka kalau tidak mampu memberi ongkos bensin untuk kakak-kakak pembina dari kwartir.
Namun, kita tidak perlu kecil hati. Soal dana BOS yang pas-pasan, prestasi antarsekolah negeri yang njomplang, dan mutu pendidikan yang tidak merata juga dialami negara maju seperti negeri Paman Sam.Â