Warga Kabupaten Magelang punya kesenian favorit, yaitu Topeng Ireng, Kubro Siswo, Jathilan, Campur, dan Dayakan. Namun yang saat ini paling digandrungi adalah Topeng Ireng karena paling meriah dan bising. Bising yang membuat hati riang dan gembira.
Topeng Ireng meriah karena selalu ditarikan beramai-ramai lebih dari 10 orang diiringi lagu-lagu berbahasa Jawa. Penarinya memakai kostum warna-warni berumbai dengan hiasan kepala bulu-bulu besar dan banyak kerincing yang besar dipasang di sepatu bot.Â
Kerasnya suara dari banyak kerincing besar yang dipakai para penarinya membuat tarian ini bising. Makanya sudah betul kalau Topeng Ireng disebut sebagai akronim dari toto lempeng iramane kenceng. Secara harfiah toto lempeng iramane kenceng berarti ditata/disusun lurus dan berbunyi kencang.
Para penari Topeng Ireng memang berdiri sejajar seperti orang baris saat menari. Kalaupun berubah formasi untuk membuat gerak dinamis, mereka akan segera membentuk barisan lagi dengan rapi. Itu sebabnya disebut toto lempeng,. dan karena merupakan akronim, tarian Topeng Ireng sama sekali tidak menggunakan topeng.
Memangnya cuma warga kabupaten yang menggemari Topeng Ireng? Warga Kota Magelang bagaimana?Â
Saya jujur tidak tahu, sebab luas Kota Magelang cuma 18,12 km per segi, sementara Kabupaten Magelang luasnya 1.103 km per segi. Itu sebabnya saya yakin tari Topeng Ireng hampir tidak pernah dipentaskan di Kota Magelang karena wilayahnya sempit dan ada di tengah-tengah kabupaten.Â
Warga kota tinggal loncat ke kabupaten kalau mau nonton Topeng Ireng di mana warganya sering menggelar Topeng Ireng bahkan sampai ke tingkat dusun.
Related:Â Penyebab Kabupaten Magelang Belum Punya Hari Jadi Padahal Sudah Eksis Sejak Mataram Kuno
Grup Topeng Ireng paling terkenal saat ini adalah Sekar Rimba asal Muntilan yang sering ditanggap sampai Wonosobo, Temanggung, Purworejo, dan Boyolali.Â
Puncak sukses Sekar Rimba terjadi sejak pandemi Covid-19 mereda. Dari situ juga kemudian bermunculan grup-grup Topeng Ireng di seputar Kabupaten Magelang dan tidak lagi didominasi penari laki-laki. Ada diantara grup Topeng Ireng itu bahkan beranggotakan penari yang semuanya ibu rumah tangga.
Ekstrakurikuler Topeng Ireng
Asal-muasal Topeng Ireng diceritakan turun-temurun oleh kakek kepada cucunya yang menyebut bahwa tari ini awalnya berasal dari Desa Tuksongo di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang tahun 1950-an. Ada juga yang bilang berasal dari masyarakat di lereng Gunung Merapi yang kemudian populer sampai ke Yogyakarta.
Sebagian lereng Merapi masuk ke wilayah Kabupaten Magelang, jadi tidak salah kalau dibilang Topeng Ireng merupakan tari khas Magelang. Anak-anak kecil sering ikut menarikan tarian ini sambil tertawa riang mengikuti gerakan yang mereka lihat tiap diajak orang tua nonton Topeng Ireng.
Topeng Ireng biasanya digelar pada Sabtu atau Minggu malam. Orang tua yang kepincut Topeng Ireng sering mengajak anak balita mereka nonton, biasanya sampai pukul 23.00. Mumpung gratis.Â
Semua biaya pertunjukkan Topeng Ireng ditanggung penyelenggara, baik individu atau organisasi. Makanya Topeng Ireng bisa selesai sampai pukul 00.00 tergantung seberapa besar bayaran yang diterima grup itu.
Melihat hampir semua anak Magelang menggemarinya, beberapa sekolah sekarang sudah punya ekstrakurikuler Topeng Ireng, salah satunya di Kecamatan Muntilan, tempat Sekar Rimba berasal sekaligus kecamatan yang penduduknya paling banyak se-Kabupaten Magelang, sekitar 80.000 jiwa pada 2022.
Kepala Sekolah SDN Muntilan Septiana Widyaningrum bilang sekolah mereka memilih Topeng Ireng sebagai bagian dari konsep sekolah yang Berkarakter, Berbasis Budaya, dan Kearifan Lokal. Jadi siswa bukan cuma melihat Topeng Ireng saja, tapi mahir juga menarikan dan mencintai seni khas daerahnya.
Lagipula, kata Bu Kepsek, anak-anak SD itu cenderung tidak bisa diam karena kodratnya senang bergerak. Jadi sekalian saja energinya disalurkan untuk kegiatan seni.
Sebelum Topeng Ireng, Kubro lebih dulu populer dibanyak sekolah sebagai salah satu ekstrakurikuler khas Magelang.
Topeng Ireng, Kubro Siswo, Jathilan, Campur, dan Dayakan
Ada jenis kesenian lain yang mirip dengan Topeng Ireng, namanya Kobro, Campur, Dayakan, dan Jathilan. Seni Dayakan sering disebut sebagai nama lain dari Topeng Ireng. Itu karena kostumnya sama-sama meriah, berwarna, berhias topi bulu besar, dan banyak kerincing di sepatu bot.
Disebut Dayakan karena motifnya sama seperti warna khas kostum dan hiasan kepalanya mirip seperti yang dipakai Suku Dayak di Kalimantan. Selain itu ada yang bilang juga Dayakan berasal dari Temanggung, bukan Magelang. Tapi mayoritas orang Magelang sependapat kalau Dayakan itu nama lain dari Topeng Ireng.
Sementara itu para penari Jathilan dan Campur sama-sama berpakaian ala kerajaan zaman kuno yang berperan sebagai raja, senopati, prajurit, disertai dengan karakter bhuto, barongan, dan cakil.Â
Mereka menari diiringi lagu-lagu perjuangan atau lagu yang membangkitkan semangat juang. Hanya saja penari Jathilan dominan memakai jaranan (kuda-kudaan) sedangkan penari Campur dominan membawa bendera atau umbul-umbul yang dikisahkan sebagai panji kerajaan.
Perbedaan lain yang mencolok, di Jathilan ada penari yang kesurupan seperti kesenian Kuda Lumping, sedangkan pada Campur tidak.
Berhubung Jathilan ada kesurupannya, makanya selalu dimainkan siang hari supaya penari yang kesurupan mudah dikejar dan dihilangkan efek kesurupannya. Efek kesurupan ini oleh orang Magelang disebut dengan ndadi atau jadi (jadi kesurupan).
Kemudian, kesenian lain yang mirip seperti Topeng Ireng dari unsur lempeng-nya adalah Kubro. Ciri khas Kubro penarinya menerima perintah dari "komandan" untuk hadap kanan, hadap kiri, serta tegap grakk dan semua penarinya laki-laki.
Kubro artinya besar dan siswo artinya siswa (murid) yang mengandung makna ketaatan manusia kepada Yang Besar (Tuhan). Itulah sebabnya semua lagu yang dinyanyikan di Kubro berisi nasihat, moral, dan makna hidup.
Sama seperti Topeng Ireng, Kubro sering ditarikan pada malam hari sebagai hiburan warga saat ada hajatan pernikahan atau sunatan/khitan.
***
Tiap daerah pasti punya seni tari khasnya masing-masing. Maka sudah sepatutnya kita melestarikan kesenian lokal. Sayang, kan, kalau tergerus globalisasi lantas kita jadi tidak punya kesenian yang menunjukkan jati diri kita sebagai orang Indonesia yang berbhinneka tunggal ika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H