Arjo termenung sendirian saat dikagetkan suara gedebuk yang kontan menjalarkan rasa sakit di punggungnya.
"Arjo!" Samsul menepuk-nepuk lagi punggung Arjo dengan keras sebelum memarkirkan bokongnya didekat Arjo duduk. "Selamat! Cerpenmu juara 1 dan akan dikirim ke lomba festival sastra kabupaten besok."
"Kata siapa?" Arjo tidak bersemangat.
"Barusan ditempel di papan pengumuman sama Bu Niken," kata Samsul yang lalu meneguk air dari botol kemasan.
Arjo diam dan tidak menanggapi. Dia juga tidak berniat melancarkan protes atau pembalasan pada Samsul yang telah menggebuk punggungnya sampai sakit.
"Ada apa? Tumben ngelamun. Gak bawa uang buat makan siang? Nih, aku ada," Samsul cekatan merogoh sepuluh ribuan dari saku celananya dan menyorongkannya ke Arjo.
Arjo menepisnya dengan cepat, "Apaan, sih, aku punya uang."
"Terus kenapa kamu bengong? Kamu gak depresi terus pengin bunuh diri, kan?"
Arjo membelalak dan dari mulutnya terucap, "Astagfirullah! Jangan ngomong sembarangan!"
Jam istirahat kedua berakhir. Arjo berdiri tanpa berkata apa-apa dan langsung menuju ke kelasnya sementara Samsul masih memandangi sahabatnya itu dengan mulut setengah melongo, heran melihat gelagat Arjo yang tidak biasa.
Samsul telah akrab dengan Arjo sejak SD kemudian masuk SMP yang oleh orang Magelang disebut sebagai SMP unggulan karena sejak puluhan tahun diisi oleh siswa-siswi pandai dan berprestasi. Bedanya Arjo masuk jalur prestasi sementara Samsul dari jalur zonasi karena rumahnya cuma sepelemparan baru dari SMP itu.