Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Mengasah Daya Juang Gen Alpha yang Hidupnya Sudah Dipermudah Teknologi

12 Juni 2023   17:33 Diperbarui: 13 Juni 2023   01:45 1675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi generasi alpha. (Dok Shutterstock via Kompas.com)

Generasi Alpha adalah sebutan untuk anak-anak yang lahir tahun 2010 sampai 2024. Penamaan Generasi Alpha berasal dari Mark McCrindle yang melakukan penelitian pada tahun 2005 untuk melakukan identifikasi kelompok kelahiran setelah Generasi Z (Gen Z). 

Ketika sedang melakukan riset untuk bukunya yang berjudul The ABC of XYZ: Understanding the Global Generations, belum ada nama untuk generasi setelah Gen Z. Mark mengatakan kepada Huffington Post bahwa dia melakukan survei untuk mencari nama yang ideal buat generasi setelah Gen Z.

Ilustrasi Generasi Alpha | foto: McCrindle
Ilustrasi Generasi Alpha | foto: McCrindle

Selama ini penamaan generasi dibuat berdasarkan abjad mulai dari Gen Z, Gen Y (Milenial), dan Gen X. Setelah huruf Z sudah tidak ada huruf lain dibelakangnya. Survei yang dilakukan Mark kemudian menghasilkan nama Generasi A sebagai nama yang paling banyak dipilih. 

Namun Mark tidak sreg. Menamakan generasi setelah Gen Z sebagai Gen A berarti penamaannya mundur karena huruf A berada di depan sebelum huruf Z. Mark lalu melihat banyak nomenklatur ilmiah yang menggunakan abjad Yunani sebagai pengganti bahasa Latin. Maka dipilihlah nama Generasi Alpha. 

Pembagian generasi dari Pew Research Center sbg lembaga yang pertama kali membuat klasifikasi berdasarkan usia | sumber: Pew Research Center
Pembagian generasi dari Pew Research Center sbg lembaga yang pertama kali membuat klasifikasi berdasarkan usia | sumber: Pew Research Center

Pramuka dan Masak-memasak

Pramuka Penggalang di SD anak saya telah mengadakan perkemahan Jumat-Sabtu. Didalam agenda ada kegiatan memasak per regu untuk sarapan esok paginya. 

Makanya tiap regu diharuskan membawa kompor gas portable, panci, pisau, talenan, sayuran, dan bumbu-bumbu. Sedangkan untuk makan malam sudah disediakan katering dari paguyuban.

Tidak bermaksud menafikan zaman yang berubah. Pramuka makan makanan katering dan bekal lauk matang saat kemah rasanya kurang pas. Buat saya dan suami yang juga pernah mengalami masa perkemahan Pramuka, memasak termasuk dalam tujuan Pramuka yang melatih kemandirian, ketangguhan, dan bertahan dalam segala kondisi. Itu bagian dari output kualifikasi objektif berupa kecakapan hidup yang dihasilkan oleh gerakan Pramuka.

Akan tetapi, mayoritas orangtua rupanya keberatan kalau anak mereka harus repot-repot masak saat kemah (walau cuma sup sayuran) dengan nasi yang sudah disediakan sekolah. Mereka ingin anak tinggal santap makanan matang untuk setiap kali makan.

Sayuran yang harusnya dipotong-potong sendiri oleh anak dan regu mereka, dipotongkan oleh orangtua di rumah dan sudah siap dalam bentuk food prep. Anak tinggal masak air lalu tinggal cemplung-cemplung sayurannya saja.

Kemah Pramuka idealnya pun pakai ransel karena lebih praktis dan leluasa bergerak. Pada kenyataannya banyak orangtua yang membawakan koper dengan alasan supaya anak mereka tidak berat harus menggendong ransel di pundak. 

Mayoritas Pramuka putri juga diingatkan oleh orangtua mereka supaya tidak lupa pakai sunblock, lipbalm, body lotion, body mist, bahkan beberapa anak membawa cermin kecil.

Apa yang dilakukan para orangtua menjaga anak tetap nyaman sedemikian rupa seperti itu amat mungkin jadi bibit yang membentuk anak-anak mereka jadi generasi yang lemah daya juangnya karena terbiasa hidup mudah dan dipernyaman senyaman-nyamannya.

Di Taiwan generasi rapuh dan lemah mental seperti itu dinamakan generasi stroberi atau strawberry generation.

Generasi yang Dibesarkan oleh Kecanggihan Teknologi

Hidup Generasi Alpha jauh lebih mudah dibanding generasi-generasi sebelumnya, bahkan Gen Alpha yang tinggal di desa-desa. Salah satu sebabnya karena mereka lahir saat sudah banyak teknologi maju yang digunakan orangtuanya. 

Beberapa detik setelah lahir mereka sudah direkam oleh ayahanda menggunakan kamera resolusi tinggi dan dibagikan ke seluruh dunia lewat media sosial. Saat baru berusia beberapa hari, sudah ada fotografer dan bidan yang mengabadikan pose tidur lucu mereka dalam bentuk new-born photography.

Lalu ketika sudah jadi anak SD mereka tinggal memfoto PR dari guru kemudian mengunggahnya di Brainly untuk dijawab oleh pengguna Brainly lain. Asal tersedia internet, PR sudah bisa terjawab tanpa buka buku dan susah-susah mikir.

Dalam mencari hiburan pun tinggal pinjam ponsel ibu atau bapaknya si Gen Alpha sudah bisa tertawa menonton acara dari YouTube. Tidak perlu merengek minta mainan remote control lagi atau membuat kapal-kapalan dari kertas bekas. 

Majalah Innovation&Tech mengungkap bahwa paparan teknologi terutama dari elektronik sejak usia dini dari perangkat yang digunakan orangtuanya, menjadikan Gen Alpha lebih terstimulasi melalui visual (gambar dan video) daripada dari mendengarkan dan membaca.

Kalau diminta membantu menyapu atau merapikan tempat tidur sendiri mereka akan mengeluarkan seribu alasan untuk tidak melakukannya. Penyebabnya bukan karena mereka pemalas atau tukang membantah.

Cara kita meminta menyapu atau merapikan tempat tidur-yang lebih seperti perintah-diterima otak mereka sebagai suatu hal yang sangat tidak menarik sehingga harus ditolak.

Padahal mereka cuma perlu diminta sambil dibercandai atau sambil diajak ngobrol tentang game, teman-teman, atau hiburan yang sedang mereka sukai. 

Kemudian, karena sering ditolak dan dibantah, sebagian besar orangtua lantas menyerah. Sebagian karena alasan tidak tega nyuruh-nyuruh, sebagian lagi beralasan percuma meminta anak membantu, toh tidak pernah dikerjakan. Sementara tidak sedikit juga orangtua yang memaksa dengan segala cara supaya anak mau membantu, sampai-sampai si anak tertekan.

Sikap para orangtua itu untuk jangka pendek memang mengesankan kedamaian. Tidak ada ribut-ribut didalam rumah dan tidak perlu usaha ekstra untuk mengajari anak sesuai karakter Gen Alpha, tapi sikap inilah yang juga berpotensi menjerumuskan anak. 

Ketika dihadapkan pada suatu masalah di masa dewasa, mereka kesulitan mencari solusi sendiri karena selalu menganggap hidup seharusnya sama mudahnya seperti saat mereka kecil.

Masalah Anak Tidak Sama dengan Masalah Orangtua

Anak punya masalahnya masing-masing yang tidak sama seperti masalah orangtua. Orangtua perlu mengawasi dan membimbing anak setiap waktu, tapi tidak perlu sampai terlibat mencampuri dan menyelesaikan masalah mereka. 

Sebagai contoh, sudah sering terjadi sesama anak saling adu usil di kelas, salah satunya iseng menaruh isi spidol di meja yang mengakibatkan baju temannya kena tinta. Anak itu mengadu pada ibunya dan ibunya marah besar karena membersihkan seragam kena tinta itu susahnya bukan main.

Si ibu kemudian mengadukan soal seragam bertinta itu kepada wali kelas. Wali kelas minta maaf karena tidak bisa mengawasi murid-muridnya tiap menit. Si ibu tidak puas karena keinginannya supaya wali kelas menghukum anak yang menaruh isi spidol tidak terkabul. Maka dia, sebut saja Ibu A, menelepon Ibu B untuk menegur dan mengatakan kalau Ibu B tidak becus mendidik anak.

Ibu B tidak terima dan sakit hati dibilang seperti itu. Babak baru pun dimulai. Saat anak-anaknya di kelas sudah baikan dan berteman kembali dengan cerianya, ibu-ibu mereka tidak putus-putusnya bersitegang.

Anak mudah melupakan pertengkaran dengan kawannya karena mereka tidak baperan. Anak-anak, apalagi di sekolah, mudah bertengkar, tapi juga mudah saling memaafkan. Jadi kalau anak bertengkar dengan temannya, biarkan dia menyelesaikan masalahnya sendiri. Tidak perlu emak-emaknya ikut ribut dan berkelahi. 

Hal sama juga berlaku saat kemah Pramuka. Kalau anak diminta memasak sendiri oleh guru dan kakak pembina untuk melatih life skill dan kemandiriannya, tidak perlu orangtua yang turun tangan merajang-rajang sayuran dengan alasan supaya anak tidak luka kena pisau.

Lain halnya kalau ada teman anak kita yang mengejeknya terus-terusan barulah kita minta bantuan guru atau kepala sekolah untuk memediasi dengan orangtua anak itu. Mengejek terus-menerus yang dilakukan dalam waktu lama termasuk dalam perundungan yang bisa mengganggu kesehatan mental anak.

Tindakan main hakim sendiri dengan melabrak si anak perundung atau memaki orangtuanya amat tidak dianjurkan karena malah memperkeruh suasana alih-alih menghasilkan solusi.

Mengasah Daya Juang Gen Alpha

Daya juang disini maksudnya anak bisa menyelesaikan sendiri masalah sesuai usianya. Karena Gen Alpha cepat menangkap hal yang berbentuk visual maka orangtuanya membimbing dan mendidik dalam bentuk tindakan dan contoh perilaku, bukan cuma memberi perintah demi perintah. 

1. Selalu membimbing anak dalam belajar dan menyelesaikan tugas sekolahnya. 

Contoh kecilnya, bila anak dapat tugas prakarya dari sekolah. Ayah atau ibu bersama anak menyiapkan perlengkapan dan alat prakarya itu. Kemudian minta anak untuk menggunting, memotong, menempel, mewarnai, menggambar, atau menjahit, baru kemudian finishing atau bagian yang sulit dikerjakan anak, diselesaikan oleh orangtuanya. 

Membiarkan anak menyelesaikan sendiri tugasnya juga bukan hal bijak karena generasi sekarang butuh bimbingan dan arahan lebih banyak dibanding jaman kita dulu.

2. Mencontohkan dan memberi teladan langsung dalam perilaku sehari-hari. 

Bila ingin anak berperilaku sopan dan tidak kasar, ayah-ibunya juga perlu mencontohkan sendiri dengan selalu berkata sopan, menegur dengan bahasa yang baik, dan tahan diri untuk tidak menonton tayangan yang belum waktunya ditonton anak usia Gen Alpha (0-13 tahun). 

Otak anak Gen Alpha terstimulasi lebih cepat dari generasi sebelumnya, maka apa yang mereka tonton akan lebih mudah diserap dan dipraktikkan. Paparan tontonan yang tidak sesuai usia bisa membuat Gen Alpha dewasa sebelum waktunya dan bisa mengganggu kesehatan mentalnya ketika dewasa.

3. Tidak cepat bereaksi kalau anak mengadu diusili temannya. 

Dengarkan dulu ceritanya sampai selesai. Gali konteksnya dengan cara bertanya (tidak menginterupsi dan menginterogasi) lebih dulu apakah keusilan itu usil biasa khas anak-anak atau usil yang keterlaluan.

4. Ajarkan nilai-nilai agama dari hal yang paling kecil. 

Nilai religi masih tetap perlu jadi pegangan supaya anak tidak tersesat pergaulan menyimpang yang dijadikan tren di dunia.

Kita bisa menceritakan kisah-kisah nabi dan kisah bijak dari masa lampau untuk diambil hikmahnya di masa sekarang. Juga tidak perlu bergantung pada guru agama dan guru mengaji untuk mengajarkan anak salat, doa-doa harian, dan membaca Al Quran. 

Bonding antara anak dan orangtua akan lebih erat kalau orangtua ikut mengajarkan nilai-nilai religi pada anak.

***

Mendidik dan mengasuh anak tidak akan pernah sulit kalau kita menyesuaikan diri dengan zaman, seperti pesan khalifah keempat Ali bin Abi Thalib yang mengatakan, "Didiklah anakmu sesuai zamannya karena mereka tidak hidup di zamanmu."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun