Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Elevasi Buddhisme dan Jawa dalam Petualangan Psikologi Horor "Berdansa dengan Kematian" Karya Acek Rudy

13 Mei 2023   18:26 Diperbarui: 15 Mei 2023   10:46 1263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Novel "Berdansa dengan Kematian", Acek Rudi. (Foto: Dokumentasi Pribadi/edited)

Seru, menantang imajinasi, membuka perspektif batin, dan meneguhkan kesadaran kalau dari ajaran agama mana pun memelihara dendam tidak pernah berakhir baik.

Kalau para pemenang Best in Fiction Kompasiana Awards seperti Lilik Fatimah Azzahra, Indra Rahadian, atau Wahyu Sapta membuat novel, ya, sudah biasa, mereka memang jagonya, tapi Acek Rudy?

Debut si Palugada

Acek Rudy sempat dikenal sebagai Kompasianer yang sering menulis tentang karakter dan prediksi nasib seseorang dari perhitungan angka-angka. Itu memang bidangnya karena beliau telah ditasbihkan sebagai numerolog pertama di Indonesia oleh MURI.

Setelah itu beliau dikenal sebagai Kompasianer spesialis kamasutra saking seringnya nulis percintaan bahkan yang "nyerempet-nyerempet" sekalipun.

Lepas dari citra sebagai spesialis kamasutra, Acek Rudy kini dikenal sebagai Kompasianer palugada, akronim dari apa lu mau gue ada. Dalam konteks Kompasiana, palugada disematkan kepada Acek karena beliau menulis beragam topik, tidak pernah itu-itu saja. Topik yang tidak pernah kepikiran oleh Kompasianer lain pun sudah ditulis oleh Acek.

Sayangnya, walau artikel Acek Rudy populer di kalangan Kompasianer, beliau tidak pernah menang Kompasiana Awards karena tidak ada kategori Best in Palugada atau Best in Gado-gado.

Selain itu palugada pas untuk menggambarkan Acek Rudy yang punya beragam profesi. Selain numerolog, Acek juga pengusaha, professional public speaker, penulis konten, dan sekarang jadi novelis. Betul-betul si Palugada.

Bab Demi Bab

Pada awal-awal bab ceritanya masih terasa santai, belum ada adegan yang bikin bergidik walau sudah ada beberapa kematian. Setelah bab 7 mata makin tidak bisa bergeming, ingin terus membaca. Makin melewati bab demi bab, makin kita ingin menebak. Namun makin menebak makin tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. 

Bisa dibilang Berdansa dengan Kematian seperti film psikologi thriller yang bertaburan adegan berdarah-darah, perkelahian, dibumbui romantisme, dan setiap adegan akan memainkan emosi kita.

Namun, inilah uniknya, walau mirip film psikologi thriller yang bikin kita nonton sambil mikir, Acek Rudy tidak membiarkan kita begitu. Kita terdorong untuk menebak apa yang akan terjadi di bab selanjutnya, tapi tidak perlu berpikir keras untuk menikmati alur demi alur Berdansa dengan Kematian.

Novel ini ringan, tapi rumit. Rumit, tapi ringan. Bisa dinikmati sebagai mood booster sambil menunggu cucian kering dan menikmati teh panas.

Pengikut Buddha yang Taat

Novel Berdansa dengan Kematian paling cocok dibaca oleh orang berpikiran terbuka dan menerima bahwa dunia ini berisi segala macam yang nyata dan takkasat mata. 

Salah satu yang membuat pembacanya harus berpikiran terbuka adalah soal karma dan reinkarnasi. Penganut agama Islam tidak mengenal karma dan reinkarnasi, sedangkan hal itu dipercayai oleh penganut Buddhisme seperti Acek Rudy.

Jangan heran kalau pada tokoh Arun kita seperti dibolak-balik dengan pertanyaan, "Sebenarnya Arun ini manusia atau demit? Kenapa dia ada di masa kolonial sampai milenial?" 

Acek juga banyak memaparkan ajaran Buddha tentang kebajikan dan kebijaksanaan yang akan kita tuai karmanya di kehidupan berikutnya. Sebagai muslim saya melihat semua ajaran Buddha yang ada dalam Berdansa dengan Kematian sama seperti Islam, hanya bentuk dan praktiknya saja yang beda.

Kelekatan Acek Rudy dengan Kompasiana

Hampir semua yang bertestimoni di novel ini adalah Kompasianer para sahabat literasi Acek Rudy yang tergabung di komunitas KPB, Inspirasiana, dan Mettasik. Untuk menunjukkan kelekatan itu Acek Rudy bahkan menyebut nama Kompasiana sebagai platform blog terbesar di Indonesia, langsung di dalam novelnya.

Maka tak heran kalau saat asyik membaca kita akan menemukan nama Tjiptadinata, Mbah Ukik, Felix (Tani) Sitorus, Sumana, dan Widz. 

Banyak dari Kompasianer tidak hanya bertegur sapa di Kompasiana dalam kolom komentar, mereka juga saling berinteraksi di grup WhatsApp atau sekadar say hello di WA pribadi. Jadi saya bisa merasakan kalau kelekatan Acek Rudy dengan Kompasianer sudah seperti sahabat. Sahabat literasi, mengutip testimoni dari Widz Stoops.

Namun begitu, bila kita menempatkan diri sebagai pembaca non-Kompasianer, ada beberapa hal yang agak bikin kening berkerut saat menikmati Berdansa dengan Kematian.

Unsur Plausibilitas

Tokoh Arun diceritakan punya blog pribadi dan sering dapat komentar di kolom artikelnya dari para pembaca setianya.

Blog pribadi adalah blog dengan nama domain sendiri yang dikelola perorangan, misal tafenpah.com atau gurupenyemangat.com atau blogger yang bernama domain di Blogspot dan WordPress. Arun juga punya web domain sendiri. Itu berarti Arun seorang blogger.

Era blog pribadi yang setiap-hari-dapat-komentar-dari-pembaca-setia sudah lewat. Sejak masifnya kemunculan media sosial di 2009 hampir tidak ada blog pribadi yang punya pembaca setia dan dikomentari tiap hari.

Hal seperti itu hanya bisa terjadi di blog publik seperti Kompasiana, Terminal Mojok, IDN Times, Indonesiana, atau Seword, bukan di blog pribadi. Para penulis di blog publik lebih tepat disebut sebagai penulis konten (content writer) sebab mereka hanya menulis, tidak mengelola keseluruhan blog.

Inilah yang namanya unsur plausibilitas, yakni kemungkinan terjadinya adegan yang masuk akal berdasarkan logika pada cerita fiksi.

Novel Berdansa dengan Kematian | foto: dokpri
Novel Berdansa dengan Kematian | foto: dokpri

Selain blog pribadi, ada kata gaul kekinian, yaitu bingit. Melihat ada kata bingit (mungkin maksudnya bingits, sebab bingit punya arti lain lagi di KBBI) yang diucapkan Cathy sahabat Arun, kita yakin latar waktu Berdansa dengan Kematian ada di masa kini.

Namun latar waktu masa kini itu kabur sebab Desa Kawurungan ternyata hanya berjarak 150 kilometer dari Jakarta. Itu berarti masih masuk wilayah Jawa Barat di sekitar Bogor, Cianjur, Purwakarta, dan Bandung yang dihuni penduduk suku Sunda. Akan tetapi di Desa Kawurungan ada orang yang dipanggil pakde dan mbah, juga asisten desa yang memakai blangkon.

Panggilan pakde dan mbah lekat untuk orang Jawa, begitu juga dengan blangkon yang identik sebagai penutup kepala khas Jawa. Orang Sunda memanggil pakde dan mbah dengan sebutan uwa dan aki. Blangkon di Sunda disebut dengan totopong, pangsi, atau iket Sunda.

Kidung sinden yang kerap terdengar seiring dengan kemunculan Kebo Kumembeng juga berbahasa Jawa. Ibu Arun dikisahkan juga terlahir sebagai perempuan asli Jawa yang lahir di Kawurungan.

Memang bukan hal aneh di lingkungan Sunda ada orang yang dipanggil pakde atau mbah dan orang yang pakai blangkon. Kita negara Bhinneka Tunggal Ika di mana semua suku bisa saling kawin-campur. Hanya saja andai jarak Desa Kawurungan dijauhkan jadi 250 kilometer dari Jakarta, kita sudah sampai di wilayah suku Jawa dan makin menikmati novel petualangan horor thriller ini dengan lebih berdesir-desir.

Pada bab akhir, ada kalimat dari Zasil yang menyebut, "Tidak semudah itu, Ferguso." Nampak kalimat ini dibuat sebagai penyegar sesuai intrinsik Acek Rudy yang humoris, tapi ada penguasa kerajaan gaib yang bawa-bawa kalimat gaul dari medsos, sungguh membuat ketegangan membaca jadi terganggu. Ditengah adegan berantem, pula.

Inkonsistensi EYD

Penulisaan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) patut diacungi jempol karena novel ini diterbitkan oleh penerbit mayor yang kualitas terbitannya tidak diragukan. Namun ada inkonsistensi dalam menerapkan EYD di Berdansa dengan Kematian.

Penulisan Kebo Kumembang, contohnya, ada yang ditulis miring, ada yang tidak. Pun penerapan huruf kapital, kata sapaan, kata ulang menyeluruh (dwilingga), tanda koma, dan tanda titik dalam percakapan berbeda-beda di tiap bab. Ada yang sesuai EYD, ada yang tidak. 

Pun penggunaan kata ganti aku dan saya. Lintang Ayu disebut doktor psikologi berusia 30 tahun. Begitu juga dengan Maandy, Tomi, Olfa, dan Mbah Ukik yang sudah dewasa. 

Namun mereka jadi terasa seumuran dengan Arun yang baru berusia 17 tahun karena lebih banyak kata ganti aku daripada saya. Kata ganti saya dalam percakapan dapat membantu pembaca membedakan usia para tokoh.

Adanya inkonsistensi penggunaan EYD ini tidak mengganggu kenikmatan dan keseruan membaca. Hanya saja karena terlalu banyak jadinya membuat kita mempertanyakan ketelitian penyuntingan naskah. 

Mungkin juga Elex Media Komputindo termasuk penerbit yang santai dan tidak mempersoalkan hal sepele seperti itu, yang penting ceritanya bagus dan menarik orang untuk beli.

Betul! Berdansa dengan Kematian layak dibaca bahkan oleh orang yang tidak suka horor seperti saya karena adegan kekerasan, kematian, dan hubungan dengan para makhluk gaib semuanya wajar dan tidak lebay.

Lebih jauh lagi, lewat novelnya Acek Rudy mengingatkan kita semua bahwa menyimpan apalagi membalas dendam tidak akan pernah berakhir baik.

"Berdamailah dengan masa lalu, jangan pikirkan masa depan. Fokuslah pada masa sekarang."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun