Adakah Bapak, Ibu, dan saudara-saudari disini yang jadi pengurus komite sekolah atau ketua paguyuban kelas? Bagaimana rasanya jadi pihak yang bisa mempengaruhi keputusan guru dan sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan?
Mempengaruhi?! Memangnya kami penguasa bisa mempengaruhi guru dan sekolah segala.
Faktanya memang terjadi euforia atas dilibatkannya keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan.
Paguyuban Orang Tua
Paguyuban orang tua (disebut juga dengan paguyuban kelas) adalah wujud teknis pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan yang termaktub dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2017Â tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan.
Paguyuban kelas beranggotakan seluruh orang tua atau wali dari peserta didik yang belajar di suatu kelas. Sejak si anak masuk sampai lulus sekolah, orang tua atau walinya otomatis jadi anggota paguyuban kelas.
Fungsi dibentuknya paguyuban ini antara lain sebagai wadah komunikasi antar-orang tua, membangun dan menciptakan sinergitas antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Begitu yang tercantum pada Petunjuk Teknis Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Sekolah Dasar yang dikeluarkan oleh Kemdikbudristek.
Berhubung anak-anak saya masih SD, jadi yang saya baca tuntas adalah petunjuk teknis SD, sementara untuk SMP hanya sekilas, dan yang SMA tidak saya baca karena masih beberapa tahun lagi anak saya duduk di SMA.
UU Nomor 20 Tahun 2003Â tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kemudian, landasan utama dari pembentukan paguyuban adalahPada Bab XV Pasal 54 UU Sisdiknas tertulis:
 1. Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
2. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
3. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sekarang sudah ada RUU Sisdiknas yang akan menggantikan UU Sisdiknas lama. Naskah RUU ini sedang disusun sejak Agustus 2022.
Sebelumnya, Peraturan Pemerintah tentang peran serta masyarakat dalam Sistem Pendidikan Nasional termaktub dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 dan PP Nomor 66 Tahun 2010.Â
Namun kedua PP itu tidak berlaku lagi karena sudah dicabut dengan diberlakukannya PP Nomor 4 Tahun 2014 dan kemudian ada Permendikbud Nomor 30 Tahun 2017.
Penyedia Kebutuhan Kelas
Manfaat paguyuban kelas yang paling berfaedah buat sekolah adalah kemampuannya mengumpulkan iuran dari orang tua untuk memenuhi kebutuhan kelas.Â
Sebabnya, kebutuhan di kelas bukan cuma meja, kursi, dan papan tulis, tapi juga ATK (alat tulis kantor), alat kebersihan, sampai P3K termasuk pembalut.
Paguyuban menyediakan semua kebutuhan itu karena dana BOS tidak pernah cukup.
Dana BOS sering cuma cukup untuk membiayai administrasi dan operasional sekolah seperti membayar gaji staf tata usaha, upah penjaga sekolah, menggaji guru honorer, bayar listrik, telepon, internet, fotokopi, ATK, dan membeli buku teks untuk digunakan siswa yang tidak mampu beli.
Bukan cuma beli keperluan kelas, uang kas paguyuban juga digunakan untuk memberi tanda duka kepada orang tua siswa yang meninggal, tanda cinta bagi orang tua yang melahirkan, dan tali asih bagi orang tua dan siswa yang sakit.
Sayangnya bukan keguyuban dan persaudaraan itu yang dipelihara, tapi euforia atas dilibatkannya orang tua-dalam pendidikan-itu yang terus dipupuk.
Euforia membuat paguyuban jadi merasa punya kuasa diatas guru dan berpikir boleh mengatur, memutuskan, serta mengubah kegiatan dan program kelas.
Guru kelas yang sudah merencanakan karyawisata ke tempat dimana siswa akan dapat edukasi sekaligus piknik, diubah lokasinya oleh pengurus paguyuban untuk kepentingan bisnis yang mereka punya.
Hal lainnya, saat guru dan paguyuban sudah sepakat soal tema pameran kelas, paguyuban jugalah yang mengubah tema hanya karena dekorasinya tidak menyewa di tempat salah satu orang tua di kelas itu.
Euforia menyebabkan orang tua dalam paguyuban tidak berpikir demi anak dan kemajuan sekolah, melainkan seberapa banyak bisa memanfaatkan sekolah dan warganya untuk kepentingan mereka.
Maunya dilibatkan dalam kegiatan belajar-mengajar, kegiatan ekstrakurikuler, jeda semester, dan program sekolah lainnya, tapi paling males ikut mendidik dan mengasuh anak. Semua diserahkan ke sekolah.
Fakta itu terlihat sangat kasat mata saat pandemi Covid-19. Hampir semua orang tua menyalahkan guru yang cuma memberi kisi-kisi pembelajaran dan memberi tugas alih-alih mengajar (online).
Padahal kegiatan belajar-mengajar online juga sangat tidak efektif, terutama bagi pelajar SMP kebawah.
Disitulah sebenarnya salah satu prinsip pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan. Orang tua ikut terlibat mendidik anak mereka berdampingan dan bersama dengan sekolah. Disaat sedang tidak memungkinkan belajar akademik, orang tua bisa memberi pendidikan agama dan penguatan karakter.
Jadi tidak semua urusan pendidikan anak diserahkan ke sekolah. Tapi, ya, mana orang tua mau tahu soal beginian. Tahunya bikin konten buat medsos aja. Ke pasar dibikin konten, masak dibuat konten, pengajian dibikin konten, ngomel pun jadi konten, heu!
Lalu bagaimana dengan komite sekolah?
Komite Sekolah dan Batas Penggalangan Dana yang Boleh DilakukanÂ
Bila paguyuban berisi seluruh orang tua atau wali siswa, maka pengurus dan anggota komite bisa berasal dari orang tua alumni atau tokoh masyarakat.
Keberadaan komite sekolah sudah dibentuk lama sejak terbitnya UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional yang lalu dikukuhkan dalam Keputusan Mendiknas 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Sekarang keberadaannya diatur oleh Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016Â tentang Komite Sekolah.
Makin kesini makin ada anggapan umum kalau komite kerjanya minta sumbangan ke orang tua melulu. Itu tidak salah juga, sih, karena salah satu tugas komite sekolah memang mengumpulkan sumbangan untuk mencukupi biaya satuan pendidikan.
Uang sumbangan dari orang tua atau pihak lain biasanya untuk melengkapi fasilitas audio-visual di kelas-kelas, mengupah pelatih ekstrakurikuler, sampai pembelian laptop multimedia.
Pembelian laptop, proyektor, atau alat presentasi digital lainnya sebenarnya boleh dibeli dari dana BOS Reguler karena termasuk dalam komponen penyediaan alat multimedia pembelajaran. Hanya saja ketika barang itu rusak, kondisinya harus apa adanya dan harus dikembalikan ke negara. Sering barang-barang itu harus menunggu berbulan-bulan untuk diambil dan akhirnya menumpuk di gudang jadi sarang nyamuk dan kecoa.
Sedangkan kalau fasilitas, sarana, dan prasarana dibiayai dari duit sumbangan orang tua, barang yang rusak bisa dijual ke tukang loak, dipreteli untuk diambil bagian yang masih berfungsi, atau dialihfungsikan jadi benda lain.
Jadi salah satu fungsi dan tugas komite sekolah adalah menggalang dana untuk mencukupi biaya pendidikan di satuan pendidikan.
Akan tetapi, mungkin, karena merasa punya wewenang mengumpulkan sumbangan dan posisinya yang sejajar dengan kepala sekolah (sebagai mitra), muncul oknum komite yang lantas merasa punya kuasa untuk memaksakan idenya. Pun merasa berhak menetapkan syarat dan ketentuan bagi peserta didik dan orang tuanya.
Cobalah Googling dengan kata kunci "komite sekolah menahan ijazah" kita akan menemukan sederet berita tentang komite sekolah yang menahan ijazah SEKOLAH NEGERI-SMA dan SMK. Padahal sekolah negeri dibiayai negara (walau sering tidak cukup).Â
Sumbangan yang dikumpulkan komite sekolah bersifat sukarela alias hanya ditujukan bagi yang mampu dan mau. Kalau orang tuanya miskin atau kaya tapi pelit, komite tidak berhak memaksa.Â
Kalau memaksa namanya jadi pungutan, bukan sumbangan. Sekolah negeri tidak boleh memungut satu perak pun untuk penyelenggaraan pendidikan seperti yang tercantum dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 dan Permendikbud Nomor 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Pada Pasal 3 ayat 1 bagian b Permendikbud Nomor 75/2016 tertulis:
menggalang dana dan sumber daya pendidikan lainnya dari masyarakat baik perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri maupun pemangku kepentingan lainnya melalui upaya kreatif dan inovatif.
Dari situ jelas tertafsir bahwa pencarian dana tidak boleh memaksa dan boleh diupayakan secara kreatif dan inovatif, seperti minta sponsor dari orang tua yang punya bisnis, misalnya, atau dari toko sekitar sekolah dan bank dengan imbal balik yang tidak merugikan sekolah dan peserta didik.
***
Di banyak sekolah negeri, keberadaan komite sangat membantu untuk pendanaan, pengawasan, dan peningkatan mutu pendidikan. Pun di banyak kelas, paguyuban sangat membantu soal penyediaan kebutuhan kelas dan pembelajaran. Semua itu bagian dari pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan.Â
Yang jadi soal, kalau ada oknum komite sekolah dan oknum paguyuban kelas yang kebablasan menjalankan fungsi dan tujuannya, maka yang dikorbankan paling utama adalah anak-anak yang belajar di sekolah itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H