Kemandirian anak tidak muncul dalam semalam seperti legenda candi Prambanan. Kemandirian muncul karena anak terbiasa melakukannya dengan kesadaran sendiri.
Anak yang Mandiri Itu Seperti Apa, Sih?
Karena anak-anak saya masih belajar di SD, maka saya menukil buku Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (2004) karangan Singgih Gunarsa yang mengatakan bahwa kemandirian anak usia 6-12 tahun adalah seputar sekolah dan pelajaran (termasuk teman-temannya) karena kehidupan anak usia ini masih berkisar di dunia sekolah.
Psychology Today menginformasikan bahwa anak yang mandiri adalah anak yang yakin kalau mereka kompeten dan mampu mengurus diri sendiri, mengeluarkan ide, dan membuat keputusan untuk dirinya sendiri.Â
Psikolog parenting Jim Taylor, Ph.D menegaskan anak mandiri itu yang utama jiwa dan pikirannya. Mereka mengerti instruksi yang diberikan kepadanya dan bertanggung jawab menyelesaikan tugas yang diberikan secara maksimal. Anak yang mandiri juga tidak haus akan pengakuan dan jarang melakukan sesuatu hanya untuk diperhatikan orang lain.
Namun banyak dari kita yang lupa kalau membuat anak jadi mandiri itu butuh proses yang tidak secepat bikin brownies.Â
Mereka perlu bimbingan dan contoh perilaku dari orang tua atau orang terdekatnya untuk mencapai kemandirian sesuai porsi usianya.
Outing Class dan Kemandirian
Bulan ini kelas anak kedua saya mengadakan outing.
Rencananya, sesuai program tahun ajaran baru yang disosialisasikan kepada orang tua, outing kelas 2 hanya mengunjungi tempat pembuatan gerabah di Kecamatan Borobudur yang jaraknya bertetangga dengan sekolah anak kami. Nyatanya outing class tersebut juga mengunjungi candi Borobudur.
Ternyata, biro wisata memaksakan bundling ke candi Borobudur dengan alasan sudah satu kesatuan paket dengan outing ke pembuatan gerabah.
Walau ada tiga museum di dalam kompleknya, candi Borobudur bukan tujuan yang tepat buat anak kelas 2 karena jarak antarmuseum dan spot edukasinya berjauhan, kecuali kunjungan ke candi Borobudur itu murni piknik bukan outing class.
Kalau outing dan piknik dicampur bisa mengaburkan esensi dari outing class yang bertujuan menguatkan pembelajaran siswa.
Membuat-anak-jadi-mandiri juga jadi alasan pemilihan makan siang berupa prasmanan di rumah makan dekat tempat pembuatan gerabah alih-alih nasi kotak. Pemilik biro meyakinkan dengan mengambil makanan sendiri di prasmanan anak akan dilatih antre, tertib, berani, dan tidak tergantung orang tua.
Nanti akan dibantu pelayan dari rumah makan juga, katanya. Yakin?! Itu anak kelas 2 yang usianya baru 8 tahun.
Anak tidak bisa menahan lapar lama-lama seperti remaja dan orang dewasa. Makanya untuk makan siang biasanya ada nasi kotak yang bisa dibagikan lebih cepat sehingga anak tidak perlu sampai gelisah menunggu antrean.
Orang dewasa saja tidak suka antrean panjang, apalagi anak yang harus menunggu antrean 60 teman-temannya mengambil makanan.
Kemandirian apa yang ingin dicapai melalui outing class?Â
Saya bertanya kepada beberapa pendidik tingkat SD, apa, sih, sebenarnya manfaat outing class?Â
Saya simpulkan bahwa outing class dapat meningkatkan kemampuan anak dalam menyerap materi di sekolah, mendekatkan siswa dengan alam, meningkatkan fokus dan antusias murid dalam belajar, serta dapat membangun suasana belajar yang aktif, interaktif, dan menyenangkan.
Hal yang sama tertulis di situs ayoguruberbagi.kemdikbud.go.id di mana guru-guru menyampaikan tujuan outing class adalah untuk mendukung dan menunjang pembelajaran di kelas. Melatih kemandirian tidak disebut oleh para guru dalam tujuan dan hasil outing class seperti yang dimuat di situs tersebut.
Kemandirian yang Dipaksakan
Di tempat saya tinggal di Magelang ada pendidik yang sering diundang ke seminar parenting dan acara edukasi sekolah, namanya Kak Damar (walau sebenarnya dia sudah bukan kakak-kakak karena anaknya sudah SD). Dibanding para pendidik lain yang pernah saya hadiri seminarnya, Kak Damar ini "cuma" lulusan sarjana, tapi saya paling suka caranya mengedukasi orang tua yang out of our mind.
Satu yang paling saya ingat Kak Damar bilang, "Kita tidak harus sepakat dengan psikolog atau ahli parenting, kita hanya perlu sepakat dengan suami/istri untuk menerapkan pola asuh dan kemandirian yang ideal bagi anak kita."
Betul, makanya saya dan suami tidak sepakat dengan keputusan biro wisata yang memberi makan prasmanan untuk anak kelas 2 dengan alasan melatih kemandirian. Lebih ideal nasi kotak untuk anak kelas 2 dibanding prasmanan.
Secara umum ada beberapa keadaan yang membuat anak tertempa jadi mandiri. Anak SD yang dari luarnya kelihatan mandiri hanya karena dia bisa menyetrika seragamnya sendiri, mengerjakan PR tanpa disuruh, dan menyiapkan apa-apanya sendiri belum tentu mandiri jiwa dan pikirannya, seperti kata Jim Taylor, Ph.D.
1. Kondisi ekonomi. Keadaan yang membuat anak terpaksa mandiri tidak sesuai usianya adalah kondisi ekonomi keluarga.
Kedua orang tua si anak bekerja dan tidak mampu membayar pengasuh atau pekerja rumah tangga. Mau tidak mau anak harus mengurus kebutuhannya sendiri, bahkan kebutuhan adik-adiknya bila dia punya adik.
Anak SD yang seperti ini, terutama perempuan, berpotensi besar kehilangan masa kanak-kanak karena tidak bisa lagi bertindak sebagai anak-anak yang penuh keceriaan tanpa beban hidup.
Karena dibebani urusan orang dewasa dan bertindak layaknya orang dewasa, pikirannya jadi cepat "matang" dan si anak dewasa sebelum waktunya.Â
2. Masa lalu orang tua. Keadaan lain yang membuat anak dipaksa mandiri sebelum waktunya adalah orang tua yang bercermin pada masa lalu.
Dulu kelas 2 SD aku sudah bisa masak nasi sendiri. Dulu belum ada listrik aku tetap belajar pakai lampu minyak. Dulu gak dibantu orang tua aku bisa ngerjain PR sendiri.
Orang tua seperti ini menerapkan apa yang dilakukannya di masa lalu kepada anaknya di masa sekarang. Padahal anak jaman now tidak butuh bisa masak nasi sejak SD karena kebutuhan hidup mereka beda dengan jaman dulu.
Anak zaman sekarang lebih butuh orang tua yang melek internet supaya bisa mendampingi dan memberi pengertian atas efek buruk penggunaan medsos.
3. Gaya hidup dan perilaku orang tua. Orang tua yang mengidap FOMO (fear of missing out/takut ketinggalan tren) cenderung ingin anak mereka ikut hal yang sedang viral.
Misalnya membelikan anak es krim Mixue karena viral banget murah dan gedenya. Padahal anak penginnya es krim Aice karena ada bentuk yang lucu seperti jagung.
Hal sama terjadi pada orang tua yang medsos-minded karena lebih mementingkan memfoto dan mengepos konten daripada mengetahui kebutuhan batin, keinginan, dan isi pikiran anak terhadap hal yang mereka temui di hari itu.
***
Anak yang dipaksa mandiri lebih cepat dari usianya akan mengalami kekosongan dalam hati dan jiwanya.
Kekosongan itu akan terasa di masa dewasa yang bisa membuat mereka tidak berani mengambil keputusan.
Kekosongan itu muncul karena dia harus mengatur hidupnya sendiri sejak dini tanpa ada orang disampingnya yang melihatnya bicara, mendengarkan idenya, dan membimbingnya membuat keputusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H