Kalau Anda mampir ke rest area jalan tol, atau makan siang di stasiun dan bandar udara lalu menemukan rumah makan UMKM (bukan restoran) yang cita rasa makanannya lezat, berarti Anda mujur.
Saya katakan mujur karena amat sangat langka rumah makan UMKM, di tempat yang disebut diatas, yang menyediakan makanan dengan rasa yang lezat, minimal enak. Kalaupun ada yang rasa makanannya enak, pelengkap dan tampilannya yang kurang.
Padahal, gerai UMKM diprioritaskan mengisi Tempat Istirahat dan Pelayanan (TIP) di seluruh jalan tol di Indonesia. Melansir laman BPJT Kementerian PUPR, jumlah tenant UMKM 76% dan non-UMKM cuma diberi porsi 24% dari seluruh tenant yang ada di TIP.Â
Itu berarti UMKM diistimewakan agar bisa menjual makanan, jajanan, dan produk khas daerahnya untuk dibeli orang dari daerah lain.
Saya pernah membeli bolen apel di toko oleh-oleh rest area wilayah Nganjuk arah Jakarta yang ketika dibuka di jalan ternyata sudah berjamur. Karena bukan tipe orang yang -apa-apa difoto terus posting di medsos, saya langsung buang bolen apel tersebut tanpa memfotonya lebih dulu.
Bukan cuma di tol Trans Jawa, di stasiun dan bandar udara juga sama. Hampir setiap rumah makan UMKM tidak menyajikan makanan dengan cita rasa enak.Â
Para pengelola rumah makan UMKM mungkin merasa jalan tol, stasiun, dan bandara bukan tempat orang mencari makan enak, tapi supaya perut terisi saja. Jadi, walau cita rasa masakan cuma sekadarnya, mereka yakin tetap laku juga.
Iya, tetap laku, tapi tidak heran kalau keluarga yang membawa anak akhirnya memilih restoran cepat saji yang sudah terkenal. Pertimbangannya, cita rasanya sudah akrab di lidah dan harganya sudah familier di kantong. Kalau tidak ke resto cepat saji, pilihan lainnya adalah beli pop mi.
Biaya Sewa, Harga, dan Rasa Makanan
Menurut Ikhsan Ingratubun, Ketua Umum Asosiasi UMKM, seperti dikutip dari Harian Jogja, harga sewa tempat di rest area (TIP) besarnya Rp3.000.000-Rp3.500.000 per bulan. Pengelola tol juga menyediakan jalan kecil nontol khusus untuk pengantaran barang dan pergi pulang karyawan.
Ikhsan mengatakan harga sewa segitu mahal karena pemilik tenant harus menggunakan jalan tol bila sedang mengangkut banyak barang. Itu berarti ada biaya yang harus dikeluarkan lagi.
Mungkin faktor uang sewa dan transportasi juga jadi pertimbangan untuk tidak menyajikan rasa makanan yang enak. Makanan enak butuh bumbu lebih, yang kalau dibeli banyak-banyak bisa mengurangi margin laba.
Andai benar demikian, lantas apa yang diunggulkan kalau kita punya usaha rumah makan, tapi rasa makanannya tidak enak?
Lokasi rumah makan yang "cuma" Â terletak di rest area, stasiun, atau bandara, sebenarnya tidak bisa jadi alasan menyajikan makanan yang tidak enak, karena pengunjung yang datang semuanya bayar.Â
Itu artinya pengunjung yang makan berhak dapat kelezatan sesuai yang mereka bayar. Harga makanan dan minuman di tempat-tempat itu juga tidak murah.
Ciri Khas Rumah Makan UMKM di Tol, Stasiun, dan Bandar Udara
1. Cita rasa makanan sekadarnya. Topping dan garnish masakan juga sering tidak lengkap, terutama pada makanan berkuah seperti soto.
2. Lebih banyak menyediakan minuman saset daripada racikan sendiri. Apapun minumannya, kecuali jus, semua dibuat dari seduhan saset.
Jarang ada rumah makan UMKM di tol, stasiun, dan bandara yang menyediakan wedang jahe, misalnya, atau kopi dari racikan sendiri. Mungkin untuk menghemat biaya dan kepraktisan penyajian.
3. Pelayanan tidak ramah. Akan kita temui lebih banyak pelayan yang tidak senyum daripada yang ramah. Kadang juga mereka jutek dan melayani kita seperti terpaksa.Â
Mungkin mereka lelah. Tapi, tidak ada pekerjaan yang tidak bikin lelah, bukan? Bahkan menulis di Kompasiana sekadar mengisi waktu pun lelah karena harus blogwalking kalau mau dapat banyak views.
4. Daftar harga sering ditutup. Mengetahui harga makanan dan minuman adalah hak pengunjung sebagai konsumen seperti yang tercantum pada Pasal 4 dan Pasal 10Â UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Daftar harga yang ditutup mungkin karena telah terjadi perubahan harga, tapi pemilik terlalu sibuk untuk mencantumkan harga yang baru, jadi dibiarkan kosong saja.
Melihat hal itu, rumah makan UMKM jadi tampak tidak niat jualan dan hanya mengandalkan keistimewaaan karena diberikan porsi lebih besar untuk mengisi tempat-tempat publik.
Kalau begitu, jangan salahkah pengunjung yang lagi-lagi memilih makan di resto cepat saji terkenal daripada rumah makan UMKM.Â
UMKM sudah diistimewakan, tapi malah menyajikan cita rasa makanan yang asal-asalan. Toko oleh-oleh pun sama saja. Malah menjual oleh-oleh yang jamuran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H