Contohnya, bila sekolah merenovasi atap kelas yang bocor, maka genting-genting lama yang dibeli dari dana BOS, walau sudah somplak dan pecah, harus dikembalikan ke negara. Pun kursi yang patah atau laptop yang mati total harus dikembalikan.
Lain halnya kalau barang itu dibeli dari uang orangtua. Sekolah boleh menjual rongsokan dari barang yang sudah rusak dan uangnya masuk kas sekolah. Tidak menuh-menuhin ruangan dan jadi sarang nyamuk. Uangnya juga bisa digunakan untuk keperluan sekolah lagi.
Kadang-kadang ada sekolah yang memberi properti yang sudah rusak ke petugas kebersihan atau penjual kantin untuk dimanfaatkan. Entah dijual ke tukang loak atau dipreteli suku cadangnya. Hal yang begitu lebih bermanfaat daripada teronggok berbulan-bulan hanya untuk menunggu diambil negara.
Sumbangan yang digalang komite dari orang tua/wali hanya setahun sekali. Jumlahnya jauh lebih murah dibanding sekolah swasta.
Kebutuhan Digital Menyesuaikan Tantangan Zaman
Selain studio digital dan kelengkapannya, Anda pasti tidak percaya kalau sekolah (negeri) juga butuh drone untuk mengambil foto dan gambar dari udara.
Pun sudah banyak yang menerapkan sekolah bilingual. Artinya, kegiatan belajar-mengajar sudah menggunakan dua bahasa, Indonesia dan Inggris.
Kenapa sok gaya pakai drone dan sekolah bilingual?
Karena sekolah-sekolah negeri sudah harus bersaing dengan swasta supaya kelak lulusan mereka bukan cuma jago kandang.
Lagipula sekarang eranya digital, pendidikan juga harus mengikuti sesuai zamannya.
Semua itu tidak cukup hanya dibiayai dari BOS. Kemdikbud harus membagi dana BOS ke jutaan sekolah se-Indonesia, maka alokasinya ke tiap sekolah hanya sekadar cukup untuk kebutuhan dan aktivitas belajar-mengajar saja.
Pendidikan dan Investasi Anak
Anak yang belajar di sekolah unggulan punya kesempatan lebih besar untuk mengembangkan potensi non-akademiknya karena fasilitas dan kegiatan yang lebih lengkap daripada sekolah non-unggulan.