Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pindah Domisili dan Titip KK di PPDB Zonasi pada Sekolah Berlabel Unggulan

15 Juni 2022   14:55 Diperbarui: 15 Juni 2022   19:07 17882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Link pengumuman PPDB Jakarta 2022 jenjang SD-SMA(KOMPAS.com/Zulfikar)

Jika mengacu pada tujuan diberlakukannya sistem zonasi, label sekolah (negeri) unggulan mestinya tidak ada lagi karena seleksi penerimaan peserta didik baru (PPDB) bukan berdasarkan tes masuk dan nilai, melainkan jarak rumah dan usia.

Namun, sistem zonasi baru diberlakukan sejak 2016 dan diterapkan di tahun ajaran 2017/2018.

Sementara itu, citra sekolah unggulan sudah terbentuk secara sistematis sejak puluhan tahun lalu. Sangat wajar bila label unggulan di satu sekolah tidak seketika lenyap hanya karena mereka tidak lagi menerima peserta didik berdasarkan seleksi akademis.

Pindah Domisili dan Titip Kartu Keluarga

Seorang mantan carik (sekretaris desa) yang sekarang bekerja di dinas pendidikan Kabupaten Magelang pernah mengatakan kalau banyak anak memilih sekolah -yang kebetulan unggulan- di kecamatan lain karena sekolah itu yang paling dekat rumah. Sekolah lain yang satu kecamatan jaraknya malah lebih jauh dari rumah si anak.

Gedung SMAN 1 Muntilan. SMA terbaik di Kab Magelang dan Top 100 nasional berdasarkan peringkat LTMPT 2022 (foto dok. SMAN 1 Muntilan)
Gedung SMAN 1 Muntilan. SMA terbaik di Kab Magelang dan Top 100 nasional berdasarkan peringkat LTMPT 2022 (foto dok. SMAN 1 Muntilan)

Alasan lainnya karena mutu sekolah yang ada di dekat tempat tinggal si anak tidak bagus. Makanya mereka pilih sekolah yang agak jauh, tapi mutunya bagus.

Apa kriteria sekolah bagus dan tidak bagus? Salah satunya dengan sering menang di kejuaraan tingkat kecamatan dan kabupaten. Sekolah yang cuma punya piala seiprit, apalagi tidak punya, dianggap bukan sekolah bagus. 

Sekolah tidak bagus alias non-unggulan bukan berarti tidak laku. Peserta didik di sekolah mereka banyak juga, tapi kemampuan akademik peserta didiknya jauh di bawah sekolah unggulan.

Itu fakta menyedihkan dan bikin miris, tapi nyata.

Masih menurut pak mantan carik, cara yang banyak dilakukan orang tua supaya si anak bisa belajar di sekolah unggulan adalah dengan pindah domisili atau titip kartu keluarga (KK).

Maksudnya, setahun sebelum PPDB orang tua si anak mengontrak rumah di dekat sekolah. Dengan begitu alamat pada kartu keluarga pun berubah. Kenapa setahun, tidak enam  bulan sebelumnya?

Karena syarat PPDB mewajibkan tanggal dibuatnya KK minimal setahun jika peserta didik memilih mendaftar jalur zonasi. 

Selain pindah domisili, cara lain yang dilakukan orang tua adalah memindahkan nama anak ke kartu keluarga kerabat yang rumahnya dekat dengan sekolah tujuan.

Itu dilakukan supaya saat mendaftar, alamat rumah si anak tercatat dekat dengan sekolah dan peluang diterima dari jalur zonasi makin besar. Namun, bila orang tua memutuskan memindahkan nama anak ke KK kerabat, mereka harus melakukannya setahun sebelum PPDB supaya KK perubahan milik kerabat sudah tercatat berumur setahun.

Soal pindah domisili dan titip KK yang diceritakan pak mantan carik ternyata benar.

Saya bicara sendiri dengan seorang ibu yang anaknya gagal masuk ke SD yang sama dengan anak sulungnya. Si anak kalah zonasi walau rumahnya cuma berjarak 600 meter dari sekolah. 

Si ibu mengatakan ada teman satu TK anaknya yang usianya sama-sama 6 tahun 2 bulan, tapi anak itu diterima padahal si ibu tahu kalau teman anaknya sehari-hari bertempat tinggal di kecamatan lain yang jaraknya 3 kilometer dari SD tersebut.

Ternyata, masih cerita si ibu, teman anaknya itu tercatat pada KK di alamat ruko yang berada dekat sekolah. Rupanya teman si anak menumpang KK pada kerabatnya yang punya ruko dekat SD.

Dari sisi umur, anak si ibu memang "kemudaan" karena usia prioritas diterima di sekolah negeri adalah 7 tahun keatas. Secara hukum juga tidak ada yang salah dengan memindahkan nama anak ke KK kerabat-selama prosedurnya benar-, tapi secara etika tentulah tidak fair.

Kenapa orang sampai berbuat segitunya demi menyekolahkan anak ke sekolah berlabel unggulan? 

Sekolah Unggulan

Tujuan dari diberlakukannya sistem zonasi adalah pemerataan kualitas pendidikan dan memenuhi hak semua anak Indonesia mendapat pendidikan yang setara.

Yang jadi soal, kenapa tidak para guru yang ditingkatkan kompetensinya? Kenapa juga bukan fasilitas pendidikan di sekolah yang ditambah. Kenapa malah anak-anak berbakat akademis yang disebar ke sekolah minim fasilitas? Hampir semua orang tua yang punya anak cerdas pasti enggan anaknya belajar di sekolah yang bahkan tidak punya ruang komputer.

Ruang komputer termasuk dalam standar sarana dan prasarana yang disyaratkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Malahan Asesmen (dulu Ujian Nasional) di negara kita sudah berbasis komputer, namanya ANBK atau Asesmen Nasional Berbasis Komputer.

Walau ingin dihilangkan sedemikian rupa melalui PPDB sistem zonasi, stempel sekolah unggulan itu justru diberikan oleh pemerintah sendiri dengan cara:

  1. Menerapkan sistem akreditasi sampai A Plus.
  2. Menetapkan sebuah sekolah jadi sekolah model (sekolah rujukan).
  3. Menyeleksi guru dan sekolah penggerak.

Sekolah negeri yang menyandang tiga titel diatas otomatis jadi sekolah unggulan karena sudah memenuhi delapan standar nasional pendidikan. Sekolah itulah yang mutunya paling baik. Maka amat wajar jadi incaran anak-anak berotak encer untuk menerima pendidikan.

Jalur Zonasi, Prestasi, Afirmasi, dan Pindahan

Saat PPDB sistem zonasi diberlakukan di tahun ajaran 2017/2018, porsi untuk jalur zonasi besarnya 80% dari kapasitas bangku. Kemudian terbit Permendikbud No. 44 Tahun 2019 yang menyatakan pada tahun ajaran 2022/2023 kuota zonasi diturunkan jadi minimal 50%.

Banyak sekolah unggulan memanfaatkan Permendikbud ini dengan mengurangi kuota zonasi yang tadinya 80% jadi 55%. kuota zonasi dialihkan ke jalur prestasi yang tadinya jadi 15% jadi 20%.

Permendikbud yang baru juga membolehkan kuota jalur prestasi dapat ditambah maksimal 30% jika ada sisa kuota.

Dengan begitu lebih banyak anak-anak berotak encer yang diterima di sekolah unggulan. Jika kelak mereka menelurkan prestasi, maka label unggulan di sekolah itu juga terus menempel sebagai sekolah yang melahirkan peserta didik berbakat.

Jalur prestasi adalah jalur penerimaan khusus calon peserta didik yang nilai Asesmennya paling tinggi atau punya prestasi akademik dan non-akademik (misal atlet, juara olimpiade sains dsb). Sedangkan jalur zonasi memprioritaskan peserta didik yang usianya paling tua dan rumahnya paling dekat sekolah. Sementara itu, kuota jalur pindahan diprioritaskan untuk anak-anak guru dan tenaga kesehatan.

Cara Mengajar dan Menerima Pelajaran

Pada dasarnya semua guru tidak pernah membedakan peserta didik. Namun, saya pernah bertanya pada beberapa guru sekolah negeri SD dan SMP. Mereka mengakui kalau mengajar anak berotak encer dengan yang biasa-biasa saja sangat berbeda.

Kalau di dalam satu kelas separuh peserta didiknya cerdas dan separuh lainnya biasa-biasa, guru dan peserta didik sama-sama butuh waktu untuk saling menyesuaikan.

Peserta didik yang biasa-biasa saja kerap ketinggalan mempelajari materi dibanding teman-temannya yang berotak encer. Di lain sisi, peserta didik berotak encer harus  menunggu teman-temannya yang biasa-biasa saja mengerti satu materi sebelum lanjut ke materi berikutnya.

Kalau sudah begitu, gurulah yang harus lebih kreatif mencari cara supaya dalam satu kelas semua peserta didik  bisa menyerap materi tanpa merasa terdiskriminasi.

Urusan guru ini juga belum selesai. Masih banyak guru honorer, tapi kebutuhan guru ASN tidak juga dipenuhi. Menurut Kemendikbud-Ristek yang dilansir kompas.com, sampai tahun 2024 nanti Indonesia masih kekurangan 1,3 juta guru. 

Mau secanggih apapun PPDB sistem zonasi, kalau tenaga pendidiknya saja tidak cukup, bagaimana mau meningkatkan dan meratakan mutu pendidikan? Meratakan dan meningkatkan kualitas pendidikan sebenarnya tidak ribet, cuma butuh kemauan dan usaha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun