Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Juru ketik di emperbaca.com. Penulis generalis. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Pengalaman Kerja di Start-up Jadul Tanpa PHK dan Resign Sebelum Membesar

5 Juni 2022   13:33 Diperbarui: 5 Juni 2022   19:45 3588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pekerja startup. (Sumber gambar: unsplash.com/@socialcut)

Pernah kerja di start-up atau pengin kerja di start-up? Pasti karena gajinya besar, kan? Apa tidak takut kena PHK karena start-up dikenal hobi bakar-bakar uang?

Start-up 2008

Zaman dahulu kala, saya melamar kerja lewat Jobstreet di start-up bernama Brandtology yang mengkhususkan diri pada riset pasar online dan analisa media sosial. 

Brandtology berdiri dan berbasis di Singapura sejak 2008. Saat gabung tahun 2009 saya belum mengerti tentang start-up karena istilah itu baru booming setelah tahun 2010. 

Menurut Techforid, istilah start-up sudah ada sejak 1999, tapi baru populer di Indonesia setelah penggunaan internet meningkat mulai 2010. 

Salah satu ciri sebuah usaha disebut sebagai start-up adalah operasionalnya menggunakan internet dan website. Betul, start-up tempat saya kerja juga beroperasi penuh di dalam jaringan internet. 

Awalnya saya kerja dari rumah (remote working). Enam bulan berikutnya saya bersama tiga dari tujuh orang staf Indonesia dipanggil ke Singapura untuk bekerja dari kantor. Tiga staf lain asal Palembang, Jakarta, dan Bekasi tetap bekerja dari rumah masing-masing.

Bukan cuma kami, para remote worker dari Bangkok, Manila, Kuala Lumpur, dan Shanghai juga diminta work from office. Maka kami yang tadinya cuma akrab dan bercanda lewat Skype dan MSN, kini jadi bertemu muka.

Bukannya tambah akrab, kami malah canggung. Selama bekerja satu kantor kami malahan tidak banyak berinteraksi. 

Bulan pertama bekerja dari kantor interaksi lebih banyak dilakukan lewat pesan instan dan email, sama seperti saat kami masih bekerja remote. 

Mungkin itu sebab suasana canggung terus-terusan mendominasi. Kami yang sama-sama dari Indonesia juga tidak berani saling ngobrol karena kuatir dikira kenapa-kenapa oleh staf dari negara lain.

Aneh banget, ya? Iya, aneh, tapi lama-lama akrab juga. Tim Indonesia bahkan akrab dengan salah satu foundernya, Kelly Choo, karena sebelum laporan dikirim kepada klien, harus disetujui olehnya lebih dulu.

Gaji dan Tunjangan

Dibanding start-up masa kini yang dikenal memberi gaji lebih besar daripada perusahaan mapan, gaji kami di start-up jadul itu bisa dibilang alakadar.  Tanpa THR Lebaran, Natal, bonus akhir tahun, dan lainnya yang biasa diberikan oleh start-up di Indonesia masa kini.

Jangankan tunjangan, cuti melahirkan untuk remote worker pun hanya diberikan satu bulan. Staf yang baru melahirkan boleh cuti lebih dari sebulan sampai puas, tapi dengan status unpaid leave.

Gaji team leader (setara supervisor) dengan anak buahnya hanya berselisih Rp800rb-Rp1juta saja. Kami dibayar dengan mata uang rupiah yang langsung ditransfer ke rekening masing-masing. 

Tidak heran turnover di start-up itu tinggi. Tim remote working dari negara lain bolak-balik ganti personel hampir tiap bulan.  Namun, tim Indonesia betah saja bekerja dengan take home pay minim, termasuk saya. Selama tiga tahun, hanya dua orang di tim kami yang resign.

Satu rekan saya yang master degree dari UI bahkan masih bekerja di sana sampai sekarang sejak dia gabung tahun 2010. Kini dia sudah kembali bekerja remote dari rumahnya di Jakarta.

Etos Kerja dan Hustle Culture

Ilustrasi bekerja dari rumah (diolah dari Canva).
Ilustrasi bekerja dari rumah (diolah dari Canva).

Jam kerja dimulai dan berakhir sesuai zona waktu di kota tempat para staf remote tinggal, tidak mengikuti zona waktu Singapura. Staf remote yang tinggal di Kuala Lumpur mulai kerja satu jam lebih awal dari staf di Jakarta, tapi lebih cepat juga mengakhiri jam kerjanya.

Rapat dilakukan via Skype dan kebanyakan berlangsung pada pukul 13.00 waktu Singapura supaya pekerja di zona waktu yang lebih lambat, telah makan siang lebih dulu sebelum rapat.

Walau jam kerjanya berbeda sesuai zona waktu di mana staf tinggal, tidak ada hustle culture. Staf yang masih bekerja di zona waktu berbeda boleh kirim email ke staf yang sudah selesai bekerja, tapi email itu tidak bakalan dibaca dan dibalas sebelum jam kerja dimulai esok harinya.

Hustle culture adalah kondisi dimana kita bekerja terus-menerus bahkan ketika sudah tidak berada di kantor. Sebelum tidur cek kerjaan, bangun tidur buka email lagi, di kantor kerja sungguh-sungguh, sampai rumah masih uplek-uplek dengan kerjaan kantor. 

Pelaku hustle culture di kantor kami cuma founder dan co-founder yang seolah bekerja tanpa henti, online dan offline.

Staf dari negara-negara lain yang bekerja dari kantor, senangnya, tidak ada yang berlagak workaholic atau sok lembur. Semuanya pulang tenggo (teng langsung go) pukul 17.45 waktu Singapura. Bedanya, staf lain jajan-jajan dulu sebelum kembali ke apartemen, tim Indonesia langsung pulang saking sungguh-sungguh mengirit uang makan demi bisa pulang ke Indonesia bawa banyak uang.

Uang Makan

Bagaimana cara mengirit uang makan? Uang makan yang disediakan kantor per hari sebesar 19 dolar Singapura, cukup untuk makan 3 kali sehari di rumah makan sekelas warteg. 

Ada tempat makan yang murah-meriah, tapi lokasinya lumayan jauh dari apartemen dan kantor, jadi tidak efisien karena harus mengeluarkan biaya MRT.

Bila gaji diberikan dalam mata uang rupiah langsung ke rekening, uang makan diberikan tunai per bulan dalam mata uang dolar Singapura.

Sebelum bersedia bekerja secara remote lalu diminta bekerja dari kantor, kami sudah tahu berapa duit yang akan kami terima. Jadi, kami sangat sadar dan satu sama lain tidak pernah mengeluhkan kecilnya take home pay. 

Karena itu kami masing-masing bawa mi instan, beras, sarden, abon, dan penyedap rasa. Tidak banyak. Kalau banyak-banyak kuatir dicurigai di bandara dikira penyelundup. 

Bekerja dari kantor start-up itu tidak selamanya, cuma setahun. Setelah setahun semua staf diminta pulang ke negara masing-masing untuk bekerja kembali secara remote.

Diakuisi Isentia

Beberapa bulan sebelum saya resign, sudah ada desas-desus sesama staf kalau Brandtology akan dibeli Isentia dari Australia karena prospek dan valuasinya yang cerah.

Proses akuisisi itu betul berjalan setelah saya resign. Saya resign bukan karena gajinya kecil, tapi karena anak pertama saya sudah berusia enam bulan dan butuh perhatian ekstra dari ibunya.

Kini start-up tempat saya pernah bekerja itu masih beroperasi. Mungkin sudah tidak lagi jadi start-up karena sudah membesar selama 14 tahun dan berubah nama jadi Isentia Brandtology. 

Teman saya bilang sekarang cukup disebut sebagai Isentia saja karena sudah melebur jadi satu bagian dan kesatuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun