Sepupu suami saya kemarin lusa meninggal setelah lima hari sesak napas karena kehabisan oksigen.
Tidak ada virus Corona di tubuhnya. Hasil rontgen paru-parunya pun menunjukkan tidak ada masalah. Gadis 19 tahun itu telah mengalami perlengketan usus sejak Februari 2021 yang berakhir dengan kelainan asam lambung yang membuatnya sesak napas.
Rumah sakit di Purworejo lalu merujuknya ke RS di Magelang. Namun, karena takut di-covid-kan, orang tuanya urung membawanya ke Magelang. Setelah oksigennya habis, RS menyuruh mereka membeli sendiri karena stok RS diutamakan untuk penderita Covid.
Ternyata di Purworejo sudah tiada lagi stok oksigen. Jangankan isi ulang, tabung siap pakai pun tidak ada. Jadi dia dirawat di rumah hanya menggunakan infus dan inhaler asma.Â
Sebenarnya di lokapasar masih ada yang menjual tabung oksigen meski harganya selangit. Sayang kami tidak tahu soal kondisi si sakit sehingga tidak bisa membelikannya oksigen. Terakhir kami hanya tahu kondisinya membaik usai operasi usus, ternyata ada komplikasi yang menyebabkan dia sesak napas.
Soal dicovidkan ini bagi orang kota tidak masuk akal, namun di tempat kami nyata adanya.
Di awal Corona baru merebak dan belum meledak seperti sekarang, sepupu ibu mertua saya sakit empedu dan oleh puskesmas di rujuk ke RS.
Setibanya di RS dia ditawari agar dirawat sebagai pasien Covid dan bila bersedia akan menerima sejumlah kompensasi. Dia menolak lalu pindah ke RS Dr. Sardjito dengan biaya sendiri, tidak lagi menggunakan BPJS karena berobat bukan ke RS rujukan.
Anggota kelompok tani dimana suami saya jadi anggotanya juga pernah bercerita bahwa adik iparnya telah menderita TBC bertahun-tahun sebelum Corona datang.Â
Ketika diopname di RS wilayah Kabupaten Magelang, dia diperlakukan sebagai pasien Covid. Padahal telah ada rekam medis bahwa dia TBC, juga tidak pernah dites apapun yang membuktikan dia punya virus Corona.
Sempat terjadi keributan antara keluarga dengan RS karena keluarga dilarang melakukan komunikasi dengan pasien dengan alasan pasien masih diisolasi.
Keluarga yang merasa wong ndeso tidak bisa apa-apa ketika adik mereka meninggal dimakamkan dengan protokol Covid.
Lalu di salah satu desa, masih di Kabupaten Magelang, ada 30 warga yang positif Covid. Sembilan dari 30 warga yang yang merasa dicovidkan oleh Kades melakukan tes usap antigen dengan biaya sendiri ke RS Aisyiah.Â
Hasilnya ke-9 warga itu negatif. Mereka protes ke Kades kenapa didaftarkan sebagai penderita Covid-19 padahal mereka negatif.
Kades berdalih dapat laporan dari bidan yang pernah memeriksa mereka. Karena data sudah terlanjur masuk ke Satgas jadi di desa mereka penderita Covid tetap dihitung 30 orang.
Dua puluh satu orang lain yang dicovidkan Kades akhirnya pasrah di karantina karena tidak punya duit untuk tes usap antigen mandiri.
Banyaknya cerita soal dicovidkan membuat orang desa takut ke rumah sakit karena kuatir sakit mereka berubah jadi Covid. Saya mendengar sendiri cerita dari para korban, separuh cerita lain saya dapat dari suami.
Bagi orang desa Covid itu serasa kutukan karena tidak semua tetangga menerima andai mereka kena Covid. Sebagian dikucilkan, rumah mereka diblokade, dan tidak diberi bantuan apapun.
Tetangga saya ada yang dicovidkan oleh tokoh masyarakat dusun hanya karena dia pernah menginap di rumah kakaknya yang masih satu kecamatan dengan kami.
Kakaknya baru datang dari Jakarta dan memang sakit, tapi sakitnya bukan Covid karena dari puskesmas setempat sudah melakukan tes.
Tapi, tetangga saya tetap kena imbasnya karena dianggap membawa virus. Dia disuruh karantina mandiri. Rumahnya diguyur karbol dan dipagar. Dia tidak bisa keluar dari rumahnya sendiri.Â
Salah satu kerabat tetangga saya itu lalu melakukan cross-check ke puskesmas untuk menanyakan apa benar saudaranya positif Covid karena tokoh masyarakat dan kroninya bilang bahwa puskesmaslah yang menyuruh mereka melakukan karantina kepada si tetangga.
Ternyata puskemas tidak tahu-menahu soal karantina itu. Pihak puskesmas lalu melakukan tes antigen pada tetangga saya yang dikucilkan. Hasilnya tetangga saya dan tiga anggota keluarganya tidak ada yang positif Covid.
Trauma dengan pengucilan itu, kini tetangga saya sudah pindah ke kecamatan lain. Rumahnya di dusun sini dibiarkan kosong dan sesekali dibersihkan oleh kerabatnya yang masih warga sini juga.
Kembali ke soal oksigen. Kakak ipar almarhumah adik saya berpulang pada 7 Juli kemarin karena sulit dapat ICU.
Seminggu lamanya dia dirawat di IGD sementara keluarganya mencari ketersediaan ICU di RS di Jabodetabek. Setelah dapat ICU di RS Kartika Pulomas Jakarta Timur, oksigen yang menopang hidupnya ternyata habis.Â
Keterlambatan pasokan oksigen membuatnya tidak bisa bertahan dan akhirnya tutup usia.
Umur manusia memang di tangan Allah, namun manusia wajib berusaha sembuh, sekaligus wajib menjaga diri dari penyakit berbahaya yang dapat menulari dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H