Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pertahanan Siaran Radio dari Gempuran Podcast dan Streaming Musik

4 Juli 2021   10:27 Diperbarui: 6 Juli 2021   12:01 1786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Podcast, dalam bahasa Indonesia kita kenal sebagai siniar atau siaran serial, sudah ada sejak 2004.

Saat itu Adam Curry dan Dave Winer memulai siaran mereka berupa audioblogging alias ngeblog dalam bentuk suara seperti penyiar radio. Meski Adam dan Dave yang pertama memulai, yang mengenalkan istilah podcasting adalah Ben Hammersley di dalam artikel yang ditulisnya di suratkabar The Guardian.

Demam podcast dimulai sejak Elon Musk, pendiri Tesla dan SpaceX, mengajak Vladimir Putin mengobrol di Clubhouse. Sejak itu pengguna iPhone, termasuk di Indonesia, tergila-gila mendengar siaran dan obrolan di aplikasi Clubhouse.

Selain Clubhouse yang melejit, podcast dapat juga didengarkan melalui aplikasi seperti Castbox, Google Podcast, Podbean, atau Anchor. Sedangkan mendengar musik sekaligus podcast tersedia di platform streaming seperti Spotify, Joox, atau Noice.

Itu sebab pelarangan 42 lagu asing diputar sebelum pukul 22.00 oleh KPI sia-sia, karena banyak orang tidak lagi mendengar musik kekinian lewat radio, tapi streaming.

Sekilas, podcast mirip dengan radio karena yang kita dengar adalah ocehan penyiarnya, namun daya jangkau radio dibatasi oleh frekuensi dan wilayah, sedangkan podcast dapat menjangkau seluruh dunia karena menggunakan internet.

Jumlah pendengar radio sempat turun drastis pada 2014, berdasarkan data Nielsen, karena kalah saing dengan internet dan orang lebih banyak mendengar musik dari MP3.

Namun keadaan membaik pada 2016, masih dari Nielsen, karena milenial ternyata suka mendengar radio lewat ponsel mereka. 

Jumlah pendengar terbanyak berasal dari Gen X (kelahiran 1965-1980) yang menganggap radio sebagai teman.

Ilustrasi: jacobsmedia.com
Ilustrasi: jacobsmedia.com

Teman Setia

Gen X pernah mengalami masa emas bersama radio dimana ada rasa bahagia ketika request lagu dan salam yang ditujukan untuk seseorang disampaikan oleh penyiar.

Pendengar juga dapat berinteraksi (kadang curhat) lewat telepon dan pesan singkat dengan penyiar yang berakhir dengan pemutaran lagu favorit.

Salah satu sebab radio masih bertahan karena dianggap sebagai teman setia oleh para pendengarnya, terutama saat mereka kesepian.

Radio Internet

Radio FM kini banyak yang merambah ke jalur radio internet, dikenal juga sebagai streaming radio atau e-radio, yaitu siaran radio yang ditransmisikan melalui internet.

Siaran radio internet yang ditransmisikan oleh radio konvensional tetap bernaung dibawah PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional). Jika radio internet murni beroperasi melalui internet, mereka tidak bernaung dibawah organisasi apapun karena belum ada wadah khusus untuk pengelola radio internet.

Dengan begitu, pendengar radio konvensional tetap dapat mendengar penyiar favorit mereka dimanapun berada melalui internet.

Pendengar di Kendaraan Bermotor

PT Shell Indonesia pada 2017 mengalokasikan 40-50 persen dari total belanja iklan mereka di jaringan radio karena banyak orang yang berkendara sambil mendengarkan radio.

Alasan lain karena radio dapat mengemas produk yang sifatnya teknis menjadi lebih humanis dan mudah dicerna oleh masyarakat luas.

Ya, menyetel radio saat berada di kendaraan bermotor memang masih jadi favorit terutama untuk mendengar berita.

Tren pendengar radio meningkat lagi di 2020 karena pandemi memaksa orang untuk lebih banyak berada di rumah.

Survei Nielsen mengungkap naiknya pendengar radio karena:

Khalayak menganggap informasi dari radio paling dapat dipercaya daripada berita online dan medsos.

Data dari Radio Advertising Expenditure (Radex) yang diterbitkan PRSSNI juga mengungkap naiknya tren pendengar radio menambah pemasukan iklan.

Realisasi belanja iklan periode Januari-Oktober 2020 mencapai Rp947 miliar terjadi pada 20% dari 580 radio anggota PRSSNI yang dimonitor.

Satu hal lagi, sama seperti media massa lain, radio masih diminati karena tiap radio punya kekhasannya sendiri. Ada radio dakwah, radio dangdut, radio berita, sampai radio yang memutar musik jadul.

Ciri khas itu yang membuat pendengar tetap setia mendengar radio, entah dari perangkat radio jadul atau telepon seluler.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun