Seburuk apapun karakter orang itu, Anda tetap harus membangun personal branding untuknya sebagai pribadi yang kompeten dan kredibel di bidangnya, serta sayang keluarga.
Ketika media sosial masih dirajai Facebook, saya pernah dipercaya satu konsultan humas dan komunikasi untuk membangun personal branding seorang pelatih olahraga.
Tugas saya menangani personal branding, alias membantu membangun citra positif seseorang dan karir mereka supaya "berdaya jual", karena saya adalah tenaga lepas. Komunikasi, kehumasan, dan branding untuk lembaga, institusi, dan corporate ditangani oleh karyawan tetap.
Demi membangun citra diri yang positif untuk si pelatih, saya berusaha keras membujuknya untuk memberikan akses ke akun medsosnya.
Saat jadi admin, saya utamakan menjawab komentar dan pertanyaan yang berhubungan dengan dunia olahraga, berkebalikan dengan kebiasaannya selama ini yang jarang merespon kalau ada interaksi tentang olahraga yang dilatihnya.
Segitunya sampai harus jadi admin medsos?!
Alasannya karena sepengamatan saya, interaksi akun pelatih olahraga ini dengan follower dan anggota grupnya mayoritas berasal dari pertanyaan ceceremet para perempuan. Interaksi substansial dari penggemar olahraga lelaki sangat minim direspon olehnya.
Melihat dari akun medsosnya yang demikian, ditambah intensnya kami berkomunikasi, saya jadi bisa membaca kepribadiannya.
Orangnya supel dan periang, tapi mudah tersinggung. Genit, suka dikelilingi perempuan cantik, dan senang dipuja-puji karena pekerjaannya sebagai pelatih.
Hal yang membuat saya mesem-mesem, bila umumnya pria mata keranjang royal terhadap perempuan, dia tidak.
Kok tahu?
Karena saya melakukan "investigasi" kecil-kecilan terhadap empat perempuan muda yang pernah berhubungan dengannya. Mereka hanya ditraktir makan, diajak jalan-jalan ke mal, dibelikan baju dan kosmetik, dan diisikan pulsa.
Saya bahkan "menyelidiki" istri dan anak-anaknya, yang setelah saya selami, makin membuat jengkel padanya dan nyaris saya lepas pekerjaan mengawal personal branding untuknya.
Memangnya ada hubungan antara personal branding dengan kehidupan pribadi seseorang sampai harus melakukan "investigasi"?
Tergantung. Karena si pelatih ingin citra positifnya dibangun dari berbagai sisi, maka saya kenali juga keluarganya untuk saya tampilkan sisi-sisi humanis si pelatih dengan keluarganya.
Apa yang saya lakukan untuk membangun personal branding baginya yang berkebalikan dari karakter aslinya?
1. Mengelola unggahan dan interaksi di media sosial. Unggahan tidak harus melulu seputar cabang olahraga. Saya selingi dengan hal kekinian, yang lucu, atau berhubungan dengan kemanusiaan sehingga follower tidak bosan.
Kadang-kadang saya mengunggah foto-foto istri dan anak-anaknya saat tidak satu frame dengannya, untuk menampilkan kesan bahwa dia adalah suami dan ayah yang "everything for my family".
Menjawab komentar warganet adalah keharusan, walau hanya beberapa saja, baik yang pro atau kontra. Saya beri "Like" jika ada komentar yang benar-benar bermutu atau merasa perlu diberi "Like" untuk menghargai follower.
Memfollow-balik warganet secara acak untuk meningkatkan kegairahan pada akun itu, sekaligus membuktikan si empunya adalah pribadi yang tidak egois hanya mau follower banyak, tapi tidak mau memfollow siapapun.
2. Membuatkan website. Selain berisi foto-foto kegiatannya saat melatih dan bertanding, situs itu juga saya isi dengan biografi singkat dirinya, cerita semasa sekolah, dan kisah awal mula dia terjun ke dunia olahraga.
Tidak cuma cerita dan foto, terdapat juga ulasan tentang teknik-teknik olahraga yang dia kuasai, juga cuplikan berita-berita olahraga dari semua cabang yang sedang hits.
3. Bekerjasama dengan penerbit untuk membuat buku. Karena dia adalah pelatih yang lumayan dikenal, tidak susah melakukan pendekatan ke penerbit mayor untuk menerbitkan bukunya.
Mengapa perlu membuat buku?
Buku dapat digunakan sebagai rekam jejak intelektual bahwa si penulis telah menghasilkan karya dan mau berbagi ilmu.
Penulis buku juga cenderung punya citra yang baik, meski bukunya tidak ada yang beli karena minat baca di Indonesia super-duper jeblok.
4. Mendorongnya untuk say hello dengan para pentolan suporter. Makan siang dengan pentolan suporter juga pernah saya buat meski harus membawa suporter perempuan yang good-looking.
Populer atau tidak suatu cabang olahraga pasti punya suporter. Suporter adalah energi tambahan bagi atlet dan klub. Maka menjalin komunikasi dengan mereka atas nama pribadi tidak masalah.Â
Waktu itu saya bicara lebih dulu dengan manajemen klub apakah boleh jika ada makan siang atas nama pribadi si pelatih dengan pentolan suporter.Â
Berkaitan dengan hal-hal diatas, apakah saya juga dapat melakukannya untuk personal branding saya? Tentu!
Tapi mendorong diri sendiri untuk personal branding seperti itu ternyata sulit. Saya tidak suka memfollow balik orang lain jika merasa isi medsos orang itu tidak sejalan dengan saya.
Pun membuat website atau blog, rasanya sudah lelah jika harus menulis dan mengisi konten untuk blog.
Menulis buku pun karya saya ditampilkan atas nama orang lain karena saya tidak suka publikasi.
Untuk personal branding di Kompasiana saja saya tidak konsisten. Jumlah artikel saya dalam sebulan paling banyak 17 biji. Lebih sering hanya 10 saja.
Memberi rating (vote) dan membaca artikel-artikel Kompasianer lain juga tidak sering.Â
Padahal rajin keliling memberi vote adalah koentji, supaya kita dikenal Kompasianer lain sehingga kalau dapat K-Reward gede, orang tidak bertanya-tanya, "Siapa sih nih orang, K-Rewardnya gede mulu tapi ga pernah kelihatan nge-vote."
Oh ya, walaupun memakai jasa konsultan, orang yang hendak didongkrak brandingnya tidak bisa hanya duduk manis. Dia harus melakukan sendiri aktivitas pencitraan yang tidak bisa diwakilkan, bahkan jika citra itu hanya untuk ditampilkan di dunia maya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI