Sejak dua minggu lalu anak-anak perempuan usia SD di seputaran desa kerap menanyakan apakah saya sudah menjual poster Taehyun, Taeyong, dan entah-siapa-lagi nama idola K-Pop lain yang mereka sebut, karena mereka akan membelinya kalau ada.
Mengapa repot-repot beli? Print saja dari Google lalu pajang di kamar. Macam-macam pose bisa dicari sesuai selera.Â
Mereka menjawab, "Kalau print kurang keren, kertasnya tipis oglek-oglek, dan ditempel juga ga keren karena bentuknya bukan poster."
Bukan hanya para penyanyi K-Pop yang mereka gilai, minuman dalgona, mocktail, dan rice bowl juga laris manis dibeli mereka, terutama pada akhir pekan atau tanggal merah.Â
Walaupun ada smoothie dan jus, tetapi yang paling disukai anak-anak dan remaja adalah dalgona dan mocktail.
Well, mocktail memang bukan minuman khas Korea. Racikan mocktail saya buat dari Sprite, Fanta, Coca cola, atau soda tawar dicampur dengan sirup aneka rasa ditambah sari kelapa, selasih, mini boba, dan kadang dihias dengan selembar daun mint.
Sederhana dan harga jualnya cukup Rp 5000 saja per cup. Jadi jangan bayangkan mocktail seperti yang dijual di mal-mal karena yang ini menyesuaikan dengan kantong orang desa.
Mocktail awalnya dibuat khusus untuk Shirley Temple, bintang film cilik AS era 1930-an yang film-filmnya dahulu sering kita tonton di TVRI.Â
Restoran-restoran dan hotel di Beverly Hills dan Hawaii menyatakan bahwa mereka kerap menyediakan minuman non-alkohol untuk Shirley ketika dia datang bersama orang tuanya. Minuman itu lantas diberi nama Shirley Temple.Â
Lama-lama minuman Shirley Temple berubah menjadi mocktail yang menandakan minuman itu mirip seperti cocktail namun tanpa alkohol.Â
Konon, aktris Shirley Temple pernah dua kali mengajukan gugatan terhadap perusahaan yang memakai namanya untuk mengkomersialkan minuman tersebut. Meski begitu, orang-orang di negeri Paman Sam masih banyak yang menyebut mocktail dengan The Shirley Temple (for kids).
Selain pembeli cilik yang menanyakan poster bintang K-Pop, ada juga beberapa pembeli remaja yang menanyakan apa saya menjual Korean Cream Cheese Bread dan Korean Garlic Bread.Â
Haa?! Mana mungkin warung kecil begini jual makanan ke-Korea-korea-an seperti itu.
Bisa saja, sih, saya jual makanan begituan, tapi kalau yang beli hanya 4-5 orang nanti balik modalnya bagaimana. Orang jualan kan pasti cari untung.
Hal yang paling menarik perhatian saya adalah, orang-orang di sini kerap mengirit uang untuk belanja harian di tukang sayur. Sampai-sampai tahu, tempe, dan sayuran yang harganya sudah murah sering mereka tawar sampai miring semiring-miringnya.Â
Pun demikian untuk jajanan penjual keliling seperti cilok, es dungdung, dan bakso sering mereka tawar sampai "jongkok", tetapi untuk jajanan bermerek, kekinian dan kebarat-baratan (atau ke-Korea-korea-an) mereka mau saja keluar duit melebihi belanja harian di penjual sayur keliling.
Hal serupa juga terjadi di toko sebelah. Di toko milik tetangga dusun saya, roti yang paling laris justru roti keluaran Sari Roti, terutama roti sobek seharga Rp 15.500 bukan roti kampung rumahan seharga Rp 1000-Rp2000.Â
Sales yang menitipkan Sari Roti di warung tersebut malahan tidak percaya kalau roti dagangannya laris manis, dipikirnya Sari Roti mahal untuk ukuran orang kampung.Â
Si pemilik toko sering minta tambah jumlah roti dari si sales, tetapi tidak dipenuhi karena sales-nya tidak juga mau percaya Sari Rotinya laku keras.
Fenomena di atas mungkin termasuk disorientasi ekonomi, saya katakan. Ekonomi keluarga terabaikan demi memenuhi tren yang datang dari media sosial.Â
Bagaimana tidak terabaikan kalau belanja untuk makan sekeluarga ditawar serendah-rendahnya, tapi untuk jajan (yang hanya bisa dimakan satu orang) mereka rela keluar uang lebih mahal.
Di Instagram banyak sekali makanan-makanan yang diviralkan oleh para influencer yang asalnya dari drama Korea atau rumah makan dan tenama yang mereka endorse.
Anak-anak dan remaja (juga ibu-ibu) kebanyakan senang berselancar di Instagram. Hasilnya ya itu tadi, keinginan untuk membeli poster idola K-Pop, menggandrungi dalgona, dan mencicipi Korean Bread karena ada keinginan untuk memiliki hal yang sedang hits termasuk mencicip makanan kekinian dengan harga terjangkau.
Saya, sih, senang saja dagangan saya laku, tapi kalau secara tidak langsung membuat mereka melakukan disorientasi ekonomi terus-terusan, kan ga asyik juga.Â
Maka itu rice bowl yang saya jual harganya juga Rp 5000 menyesuaikan dengan kantong orang kampung. Nasinya banyak namun dengan ayam sedikit, taburan rumput laut sedikit, dan telur orak-arik sedikit, ditambah selada dan dua potong timun untuk garnish (dimakan juga enak, kok).Â
Sedikit-sedikit tidak apa, yang penting, bagi orang kampung, murah, cita rasanya enak, dan bisa membuat perut kenyang. Saya pun bisa bayar cicilan KUR yang saya pakai untuk memodali warung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H