Selain pembeli cilik yang menanyakan poster bintang K-Pop, ada juga beberapa pembeli remaja yang menanyakan apa saya menjual Korean Cream Cheese Bread dan Korean Garlic Bread.Â
Haa?! Mana mungkin warung kecil begini jual makanan ke-Korea-korea-an seperti itu.
Bisa saja, sih, saya jual makanan begituan, tapi kalau yang beli hanya 4-5 orang nanti balik modalnya bagaimana. Orang jualan kan pasti cari untung.
Hal yang paling menarik perhatian saya adalah, orang-orang di sini kerap mengirit uang untuk belanja harian di tukang sayur. Sampai-sampai tahu, tempe, dan sayuran yang harganya sudah murah sering mereka tawar sampai miring semiring-miringnya.Â
Pun demikian untuk jajanan penjual keliling seperti cilok, es dungdung, dan bakso sering mereka tawar sampai "jongkok", tetapi untuk jajanan bermerek, kekinian dan kebarat-baratan (atau ke-Korea-korea-an) mereka mau saja keluar duit melebihi belanja harian di penjual sayur keliling.
Hal serupa juga terjadi di toko sebelah. Di toko milik tetangga dusun saya, roti yang paling laris justru roti keluaran Sari Roti, terutama roti sobek seharga Rp 15.500 bukan roti kampung rumahan seharga Rp 1000-Rp2000.Â
Sales yang menitipkan Sari Roti di warung tersebut malahan tidak percaya kalau roti dagangannya laris manis, dipikirnya Sari Roti mahal untuk ukuran orang kampung.Â
Si pemilik toko sering minta tambah jumlah roti dari si sales, tetapi tidak dipenuhi karena sales-nya tidak juga mau percaya Sari Rotinya laku keras.
Fenomena di atas mungkin termasuk disorientasi ekonomi, saya katakan. Ekonomi keluarga terabaikan demi memenuhi tren yang datang dari media sosial.Â
Bagaimana tidak terabaikan kalau belanja untuk makan sekeluarga ditawar serendah-rendahnya, tapi untuk jajan (yang hanya bisa dimakan satu orang) mereka rela keluar uang lebih mahal.
Di Instagram banyak sekali makanan-makanan yang diviralkan oleh para influencer yang asalnya dari drama Korea atau rumah makan dan tenama yang mereka endorse.