Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Penulis - Ghostwriter

Juru ketik di emperbaca.com. Generalis. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kronik Orangtua di Sekolah, Separuh Offline Separuh Online

20 Oktober 2020   15:12 Diperbarui: 20 Oktober 2020   19:14 1010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekolah anak laki-laki saya menerapkan "separuh online separuh offline". Yang dimaksud di sini bukanlah si anak bergantian antara belajar tatap muka di sekolah dengan belajar dalam jaringan (online) di rumah, melainkan orangtua harus datang ke sekolah untuk menyerahkan buku tugas dan LKS. 

Materi pelajaran tetap diberikan via YouTube dan WhatsApp, tapi untuk tugas dan penilaian harian orangtua harus menyerahkannya ke sekolah.

Tiga bulan pertama masa sekolah di tahun ajaran 2020/2021 semua penilaian harian menggunakan Google Docs. Namun beberapa orangtua protes karena sulit menggunakannya dan ada yang kesulitan dengan waktu mengerjakan yang terbatas sedangkan ponsel yang hanya satu-satunya itu dibawa si bapak bekerja.

Karena itulah, sejak tengah semester lalu buku, LKS, dan tugas prakarya dikumpulkan ke sekolah sesuai hari yang diminta guru pelajaran yang bersangkutan.

Seringnya, wali kelas minta orangtua datang hari Senin, sedangkan guru agama minta hari Rabu, lalu guru bahasa Inggris minta hari Jumat. Kenapa tidak disatukan saja semua tugas kumpul hari Sabtu, misalnya? 

Karena guru-guru di sekolah anak saya punya kesibukan berbeda-beda. Sesekali memang semua guru kompak minta tugas dikumpulkan di hari yang sama, tapi selebihnya berbeda hari.

Meski sekolah "libur", guru-guru tetap masuk Senin-Sabtu seperti biasa, namun jam kerjanya hanya sampai pukul 12.00 saja. Kadang guru-guru harus ikut rapat bersama dinas pendidikan, kadang ada pertemuan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), kadang rapat di sekolah, dan sering juga memeriksa hasil belajar siswa di buku dan LKS.

Bagi banyak orangtua, model "harus ke sekolah dengan hari yang tidak tentu waktunya" begini lebih banyak susahnya.

Bolak-balik ke sekolah itu makan waktu dan tenaga, terutama untuk para ibu. Suka atau tidak, para ibu harus mandi dulu, pakai skincare, lalu pakai bedak, lipstik, dan pensil alis. 

Lha kok mau ke sekolah aja ribet banget, to? Lah Iyo, di sekolah itu 80% ibu-ibunya memang rapi, wangi, dan cantik. Karena sayang sudah pakai lipstik maka banyak juga yang malas pakai masker.

Bukan cuma soal dandan. Orangtua yang bekerja pun repot karena harus minta tolong kerabat untuk mengantar tugas ke sekolah anak. Kalau si kerabat ora mudeng dengan instruksi guru, maka ke-oramudengan itu menular juga ke anak dan orangtuanya.

Tapi ada positifnya juga, orangtua jadi mudah kalau mau konsultasi dengan guru, misal, bertanya tentang matematika, bahasa Jawa, atau seni musik.

Guru seni musik pernah kena "demo" karena memberi tugas bermain pianika untuk lagu di buku Tema tanpa memberikan notasinya. Pun pernah kena protes karena sang guru memberi contoh lagu dengan piano, sementara siswa-siswi menggunakan pianika.

Apakah sang guru musik dipecat? Tidak, meski beliau guru honorer, bukan PNS, namun hak kerjanya dilindungi oleh UU Cipta Kerja, eh, oleh sekolah sepanjang kerjanya bagus.

Lalu, kenapa orangtua harus berkonsultasi soal pelajaran bahasa Jawa? Wong Jowo kok ra iso boso Jowo.

Percayalah, seperti halnya bahasa Indonesia terasa sulit untuk orang Indonesia, bahasa Jawapun susah sekali teorinya untuk orang Jawa, terutama kromo hinggil dan aksara honocoroko. 

Bisa dibilang pelajaran bahasa Jawa adalah salah satu mata pelajaran tersulit yang bikin orangtua senewen dan pusing karena jawabannya tidak bisa dicari di Google dan YouTube. Hemm~.

Saya pernah mengadu lewat Twitter soal banyaknya PR sekolah ini ke Dinas Pendidikan Kabupaten Magelang dan meminta supaya semua sekolah di kabupaten diseragamkan saja memakai kurikulum darurat. Tetapi, dinas menjawab... ah, saya terus terang tidak mengerti apa maksud jawaban dari dinas pendidikan itu.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Meski demikian, saya angkat topi karena dinas terkait sangat responsif menjawab keluhan dan masukan dari warga.

Sebelumnya, satu bulan sekali wali kelas mengajar tatap muka berkeliling ke rumah siswa (home visit) secara berkelompok, namun ada oknum orangtua yang minta home visit seminggu sekali dan disetujui. Jadilah orangtua pontang-panting menyesuaikan jam kerja mereka dengan jadwal home visit yang lokasinya bergantian dengan anggota kelompok.

Sekarang home visit dihentikan sementara karena ada peningkatan kasus positif Covid-19.

Guru dan kepala sekolah sebetulnya sudah menerima banyak keluhan soal tugas yang bejibun. Tetapi, karena sekolah tetap menggunakan Kurikulum 2013 (K13) maka tiada jalan selain menuntaskan materi sesuai kurikulum. Kenapa demikian? 

Saya menduga, sekolah anak saya adalah sekolah model yang menjadi acuan untuk lima sekolah di kecamatan ini. Juga menyandang status sebagai sekolah unggulan standar nasional (entah status ini masih relevan atau tidak karena sudah diberlakukan sistem zonasi), jadi kepala sekolah mungkin enggan menerapkan penyederhanaan kurikulum.

Saat saya bertanya ke wali kelas, beliau mengatakan jika diterapkan kurikulum darurat maka akan ada penyesuaian untuk guru, orangtua, dan sekolah, nanti ribet dan bisa terjadi kegaduhan, kata beliau. Hemm~.

Yah, dimasa pandemi ini orangtua harus "kembali ke bangku sekolah" bersama anak-anak mereka. 

Anggap saja belajar lagi, toh belajar tidak ada ruginya malah mengasah otak juga melatih kesabaran, kesabaran, dan kesabaran membimbing anak bersekolah di rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun