Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Jumlah Penulis Bertambah tapi Pembaca Berkurang

14 Oktober 2020   22:13 Diperbarui: 14 Oktober 2020   22:18 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
classroomclipart.com

Judul diatas saya ambil dari kesimpulan  saat sesi Zoom meeting Rabu pagi (14/10) bersama para penyunting dan karyawan penerbit buku yang berkantor di Yogya.

Sedari dulu minat baca di Indonesia memang rendah.

Pada Maret 2016, Central Connecticut State University mengungkap hasil riset bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, Padahal, masih menurut riset tersebut, infrastruktur Indonesia untuk mendukung minat baca berada di atas negara-negara Eropa.

Survei UNESCO pada 2019 pun mengungkap hal serupa, Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara di dunia pada level literasi baca.

Tetapi, para pegiat literasi meyakini bahwa minat baca orang Indonesia cukup tinggi. Kurangnya akses, terutama di Indonesia timur, membuat kebiasaan membaca belum jadi budaya.

Kurangnya buku bacaan dan perpustakaan membuat anak-anak tidak punya kesempatan untuk membaca. Di sekolah-sekolah atau daerah yang punya perpustakaan, minat bacanya tinggi, terutama di pulau Jawa.

Selain akses dan ketersediaan buku, harga buku yang mahal juga jadi faktor orang malas baca buku. Buku hanya dibeli oleh orang yang sangat senang baca atau orang yang sangat menghargai karya tulis/sastra.

Sebagian orang yang senang baca tapi berkantong pas-pasan terpaksa membeli buku bajakan baik versi cetak maupun elektronik. Kalau tidak mau beli yang bajakan, para kantong pas-pasan ini biasanya saling tukar-pinjam dengan teman atau kerabat.

Kualitas buku bajakan sudah pasti jelek. Kertas tipis, huruf kecil-kecil dengan penjilidan yang tidak rapi dan mudah lepas. Meski ada "penerbit" yang menawarkan buku "KW Super", yang namanya bajakan tetaplah bajakan sebagus apapun kualitasnya, dan melanggar hukum.

Kenapa sih harga buku mahal banget?

Dalam sebuah buku yang dihitung bukan hanya biaya cetak dan royalti penulis, tapi ada pajak, biaya distribusi, pra-produksi (termasuk menggaji penyunting dan layouter), marketing-promosi, dan jika buku akan dipajang di toko buku maka ada biaya lain yang akan dibebankan ke harga jual sebuah buku.

Hal paling besar yang membuat minat baca makin melemah adalah maraknya platform berbagi video dan media sosial.

Orang Indonesia lebih senang menonton video daripada membaca.

Menurut survei We Are Social, pada tahun 2020 ada 175,4 juta pengguna internet di Indonesia. Dalam sehari orang Indonesia menghabiskan waktu 8 jam untuk mengakses internet mengalahkan negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, Belanda, Prancis, Australia bahkan Amerika dan Tiongkok.

Apa saja yang dilihat di internet selama 8 jam itu? Media sosial dan aplikasi berbagi video. Meski internet menyediakan banyak informasi dan ilmu bermanfaat namun orang enggan membacanya karena membaca dianggap membosankan dan buang waktu.

Mereka hanya mengandalkan informasi yang datang dari medsos dimana informasi hanya beredar sepotong-sepotong dan lebih banyak hoaks.

Oke, lalu kenapa penerbit masih  menerbitkan buku kalau jumlah peminat baca rendah?

Jawabannya adalah karena "tugas" penerbit ya menerbitkan buku, kalau tidak namanya bukan penerbit. Pembeli buku masih banyak, terutama kalau ada bazar atau pameran buku, penerbit bisa panen.

Tapi dunia perbukuan sadar minat baca rendah salah satunya karena harga buku.

Untuk memangkas harga, banyak penerbit kini menjual bukunya langsung di akun medsos dan e-commerce milik mereka. Mereka juga menitipkan ke toko-toko buku online milik pelapak di lokapasar ketimbang menjualnya lewat toko buku.

Meski minat baca jongkok tak mau berdiri, jumlah orang yang gemar menulis meningkat. 

Penyunting di penerbit tempat saya ikut rapat dalam jaringan mengatakan dia pernah dapat 50 naskah dalam sehari. Sayang sekali hanya satu naskah yang dia baca dengan tekun. Naskah lainnya terpaksa masuk recycle bin karena pelbagai hal.

Selama wabah Corona melanda penerbit itu memang banjir kiriman naskah novel serta kumpulan cerpen dan puisi.

Tapi, bukankah penerbit dan perbukuan melesu akibat pandemi? Tentu saja, siapa sih yang tidak.

Banjirnya kiriman naskah bisa berarti bertambah banyaknya orang yang menyukai literasi, atau karena bingung mau apa di masa pandemi ini selain menulis.

Yang pasti bertambahnya orang yang senang menulis diharapkan, sedikit demi sedikit, dapat meningkatkan minat baca. Karena orang yang akan menulis hampir pasti dia akan membaca lebih dulu.

Tapi membaca postingan di medsos tidak dihitung sebagai minat baca karena informasinya tidak utuh dan dapat dimanipulasi. Ah, yang benar? Begitulah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun