Hal paling besar yang membuat minat baca makin melemah adalah maraknya platform berbagi video dan media sosial.
Orang Indonesia lebih senang menonton video daripada membaca.
Menurut survei We Are Social, pada tahun 2020 ada 175,4 juta pengguna internet di Indonesia. Dalam sehari orang Indonesia menghabiskan waktu 8 jam untuk mengakses internet mengalahkan negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, Belanda, Prancis, Australia bahkan Amerika dan Tiongkok.
Apa saja yang dilihat di internet selama 8 jam itu? Media sosial dan aplikasi berbagi video. Meski internet menyediakan banyak informasi dan ilmu bermanfaat namun orang enggan membacanya karena membaca dianggap membosankan dan buang waktu.
Mereka hanya mengandalkan informasi yang datang dari medsos dimana informasi hanya beredar sepotong-sepotong dan lebih banyak hoaks.
Oke, lalu kenapa penerbit masih  menerbitkan buku kalau jumlah peminat baca rendah?
Jawabannya adalah karena "tugas" penerbit ya menerbitkan buku, kalau tidak namanya bukan penerbit. Pembeli buku masih banyak, terutama kalau ada bazar atau pameran buku, penerbit bisa panen.
Tapi dunia perbukuan sadar minat baca rendah salah satunya karena harga buku.
Untuk memangkas harga, banyak penerbit kini menjual bukunya langsung di akun medsos dan e-commerce milik mereka. Mereka juga menitipkan ke toko-toko buku online milik pelapak di lokapasar ketimbang menjualnya lewat toko buku.
Meski minat baca jongkok tak mau berdiri, jumlah orang yang gemar menulis meningkat.Â
Penyunting di penerbit tempat saya ikut rapat dalam jaringan mengatakan dia pernah dapat 50 naskah dalam sehari. Sayang sekali hanya satu naskah yang dia baca dengan tekun. Naskah lainnya terpaksa masuk recycle bin karena pelbagai hal.