Kalau saya menonton televisi dan baca media massa termasuk media arus utama, media komunitas, dan media sosial ramai mempertanyakan:
Mengapa masih ada kantor yang buka? Mengapa masih ada karyawan yang bekerja? Mengapa masih banyak warga yang lalu-lalang di jalan, ada antrean di KRL, dan ada warga yang boncengan motor?Â
Jelas masih ada karena Jabodetabek khususnya, memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan presiden sudah mengatakan Indonesia tidak akan memberlakukan lockdown.
Namanya pembatasan ya memang hanya dibatasi bukan dilarang. Ada kantor yang memang masih meminta karyawannya masuk kantor, seperti tenaga IT yang mengurus server, petugas kebersihan di gedung, atau sekadar piket jaga kantor.
Berboncengan motor juga boleh asal mereka keluarga yang tinggal satu alamat.
Ada pula wacana supaya KRL berhenti beroperasi selama masa PSBB. Kalau transportasi umum berhenti beroperasi berarti mengabaikan hak warga yang butuh transportasi untuk perjalanan antarkota yang urgent (berangkat kerja, misalnya).
Masyarakat tidak dilarang keluar wilayah PSBB, hanya saja dibatasi untuk hal yang benar-benar penting. Warga Ciputat (Tangsel) masih boleh ke Lebak Bulus (Jaksel), warga Kalimalang (Jaktim) juga masih boleh ke Jati Asih (Bekasi), pun sebaliknya.
Kalau lockdown sama sekali tidak boleh ada masyarakat yang keluar atau masuk wilayah karantina. Jadi penghentian operasional KRL tidak tepat, toh jam operasionalnya juga sudah dikurangi.
Lalu kalau dikatakan Jabodetabek memberlakukan lockdown (karantina wilayah) lokal tidak pas juga.
Definisi karantina adalah sistem yang mencegah perpindahan orang dan barang selama periode waktu tertentu untuk mencegah penularan penyakit. Sedangkan menurut KBBI karantina berarti tempat penampungan yang lokasinya terpencil guna mencegah terjadinya penularan penyakit.
Maka itu media arus utama yang punya redaktur bahasa biasanya menulis kata lockdown lokal dengan tanda kutip karena memang tidak ada lockdown lokal betulan, redaksi hanya menggunakannya untuk kepraktisan atau membuat judul lebih menarik.Â
Kalau di media sosial "lockdown" jelas hanya untuk lucu-lucuan dan hiburan.
Saya tidak tahu apakah yang disajikan media soal PSBB disamakan dengan lockdown itu berasal dari pemerintah daerah atau persepsi mereka sendiri.Â
Kalau berasal dari sumber di pemerintahan daerah ada dua kemungkinan. Pemdanya yang asal sebut "lockdown" supaya kelihatan serius berwibawa atau benar-benar mengira PSBB itu sama dengan lockdown. Tapi kalau berasal dari wartawan yang meliput di lapangan tentu tidak boleh karena media tidak boleh mencampuradukkan opini dengan fakta.Â
Penyamaan PSBB dengan lockdown ini saking sudah lamanya berlangsung kita jadi menganggap PSBB ya lockdown. Warga dusun pun ikut me-"lockdown" kampungnya tapi mereka sendiri masih keluar-masuk sesukanya tanpa pakai masker.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H