Mohon tunggu...
Aji Mufasa
Aji Mufasa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Engineer | Agropreneur | Industrial Designer

"Hiduplah dengan penuh kesadaran"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Demo Dokter dan Nakes Geger! Alasan Penolakan RUU Kesehatan Omnibus Law

10 Mei 2023   20:00 Diperbarui: 10 Mei 2023   20:47 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada hari Senin, tanggal 8 Mei 2023, lima organisasi kesehatan, yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menggelar aksi demonstrasi di Patung Kuda, Jakarta Pusat. 

Aksi ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari Surat Edaran Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia nomor 3192/PB/A.6, yang diterbitkan pada 1 Mei 2023, yang memerintahkan organisasi untuk melakukan aksi damai nasional dengan isu Stop Pembahasan RUU Kesehatan (Omnibus Law).

Alasan dari aksi demonstrasi ini adalah sebagai bentuk penolakan terhadap RUU Kesehatan dalam Omnibus Law yang kontroversial. Menurut para organisasi kesehatan tersebut, RUU Kesehatan Omnibus Law dapat mengancam keberlangsungan profesi dan kesejahteraan para nakes di Indonesia. 

Oleh karena itu, para organisasi kesehatan tersebut meminta agar pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law dihentikan dan alternatif solusi lain yang lebih baik dapat dicari untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan akses layanan kesehatan di Indonesia.

Apa itu RUU Kesehatan Omnibus Law?

Sebelum lanjut kita harus tahu dulu Apa itu RUU Kesehatan Omnibus Law, Menurut Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas, RUU Kesehatan Omnibus Law bertujuan untuk menggabungkan 13 UU yang berkaitan dengan kesehatan dan menciptakan kerangka regulasi baru bagi sektor kesehatan di Indonesia. 

Rancangan undang-undang ini juga bertujuan untuk meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan, meningkatkan kualitas kesehatan, dan menurunkan biaya kesehatan di Indonesia. 

Selain itu, RUU Kesehatan Omnibus Law juga akan membentuk badan asuransi kesehatan nasional yang bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Meskipun demikian, RUU Kesehatan Omnibus Law tetap menuai kontroversi di kalangan dokter dan nakes, karena mereka khawatir bahwa rancangan undang-undang ini akan mengancam keberlangsungan profesi dan kesejahteraan mereka di masa depan.

Alasan Penolakan RUU Kesehatan Omnibus Law?

IDI melakukan aksi demo menolak RUU Kesehatan Omnibus Law dengan beberapa alasan. Pertama, menurut IDI, RUU Kesehatan Omnibus Law sejak awal pembentukannya bermasalah karena tidak taat asas dan prematur. 

Kedua, RUU Kesehatan Omnibus Law masih banyak batang tubuh/pasalnya saling kontradiktif dan tidak selaras dengan naskah akademiknya. Hal ini menunjukkan bahwa RUU Kesehatan Omnibus Law dilakukan secara terburu-buru dan tidak mencerminkan partisipasi publik yang sesungguhnya.

Ketiga, IDI juga mengkritik bahwa secara filosofis, yuridis dan sosiologis RUU Kesehatan Omnibus Law tidak lebih baik dari UU yang sudah ada dan akan dihapuskan. Keempat, RUU Kesehatan Omnibus Law bersifat diskriminatif dan potensial terjadinya kriminalisasi terhadap Dokter dan Tenaga Kesehatan. Terakhir, RUU Kesehatan Omnibus Law tidak hanya menghilangkan kewenangan Organisasi Profesi tetapi juga menghilangkan eksistensi organisasi profesi.

Oleh karena itu, IDI dan para nakes yang bergabung dalam aksi demo tersebut menuntut agar RUU Kesehatan Omnibus Law dihentikan dan solusi lain yang lebih baik dan partisipatif dapat dicari untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan akses layanan kesehatan di Indonesia.

Isi RUU Kesehatan Omnibuslaw 2023

Dikutip dan Dilansir oleh detik.com dari situs Kementerian Kesehatan (Kemkes) RI, Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. Mohammad Syahril mengatakan bahwa melalui RUU Kesehatan ini, pemerintah mengusulkan tambahan perlindungan hukum untuk dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lainnya ketika memberikan pelayanan kepada masyarakat.

"Pasal-pasal perlindungan hukum ditujukan agar jika ada sengketa hukum, para tenaga kesehatan tidak langsung berurusan dengan aparat penegak hukum sebelum adanya penyelesaian diluar pengadilan, termasuk melalui sidang etik dan disiplin," tutur dr. Syahril, dilansir Minggu (7/5/2023)

Menurut Syahril, terdapat beberapa pasal baru perlindungan hukum yang diusulkan pemerintah, seperti perlindungan hukum bagi peserta didik, hak menghentikan pelayanan jika mendapatkan tindak kekerasan, dan perlindungan hukum pada kondisi tertentu seperti wabah.

Dan dikutip dari laman resmi kemenkes, Sejumlah pasal yang diatur dalam RUU Kesehatan sudah terdaftar dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang diajukan pemerintah ke DPR. Pasal-pasal tersebut nantinya akan dimasukkan ke dalam RUU Kesehatan yang sedang dibahas. Berikut adalah daftar pasal-pasal tersebut:

Pasal 322 ayat 4 

Pasal ini perihal perlindungan hukum yang diusulkan pemerintah. Di mana pasal ini merupakan pasal baru yang mengatur penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Sehingga, para tenaga kesehatan tidak langsung berurusan dengan aparat penegak hukum, melainkan diselesaikan melalui sidang etik dan disiplin terlebih dahulu atau menggunakan mekanisme keadilan restoratif.

Pasal 208 E Ayat 1 Huruf a 

Pasal yang mengatur tentang perlindungan untuk Peserta Didik yang memberikan pelayanan kesehatan berhak memperoleh bantuan hukum dalam hal terjadinya sengketa medik selama mengikuti proses pendidikan.

Pasal 282 Ayat 2 

Pasal yang mengatur Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat menghentikan pelayanan kesehatan. Jika mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai sosial budaya, termasuk tindakan kekerasan, pelecehan, dan perundungan.

Pasal 408 Ayat 1 

Pasal ini mengatur terkait Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang melaksanakan upaya Penanggulangan KLB dan Wabah berhak atas pelindungan hukum dan keamanan serta jaminan kesehatan dalam melaksanakan tugasnya. Selain pembaharuan terhadap pasal-pasal tentang perlindungan hukum bagi Tenaga Kesehatan, RUU Kesehatan juga menuai kontroversi. Salah satunya, pasal yang mengatur bahwa rokok termasuk jenis narkotika.

Ada dua pasal yang mengatur tentang rokok. Adapun, pasal-pasalnya sebagai berikut:

Pasal 154

Pasal ini mengatur bahwa rokok merupakan zat adiktif, di mana hasil tembakau bersama dengan narkotika dan psikotropika. Hal tersebut membuat rokok sebagai jenis dari narkotika.

Pasal 157

Selain mendefinisikan hasil tembakau sebagai kategori narkotika, RUU Kesehatan juga mengatur kawasan yang melarang untuk merokok. Aturan tersebut tertuang dalam pasal 157, pasal ini mengatur kawasan mana saja yang memberlakukan larangan merokok.

Penutup

Akan tetapi yang menjadi persoalan. Menurut saya, sebagai sebuah undang-undang yang berkaitan dengan kesehatan, RUU Kesehatan Omnibus Law memiliki implikasi yang sangat besar terhadap kehidupan dan kesehatan masyarakat. 

Oleh karena itu, sangat penting bahwa pembahasannya dilakukan secara transparan dan melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk masyarakat, organisasi profesi, dan ahli kesehatan. Sayangnya, sebagian besar proses pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law dinilai tidak transparan dan kurang melibatkan partisipasi publik yang memadai.

Sebagai konsekuensinya, para nakes dan organisasi profesi kesehatan melakukan aksi protes dan menolak RUU Kesehatan Omnibus Law tersebut. Mereka berpendapat bahwa RUU tersebut tidak hanya menghilangkan kewenangan organisasi profesi tetapi juga memiliki potensi untuk memicu kriminalisasi terhadap dokter dan tenaga kesehatan. 

Selain itu, para nakes dan organisasi profesi juga menyatakan bahwa RUU Kesehatan Omnibus Law tidak lebih baik dari UU yang sudah ada dan justru memiliki banyak kelemahan dan kontradiksi dalam isi pasal-pasalnya.

Dalam hal ini, saya berpendapat bahwa pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law yang tidak transparan dan minim partisipasi publik memicu ketidakpercayaan dan ketidakpuasan masyarakat. 

Oleh karena itu, pemerintah perlu membuka ruang dialog yang lebih luas dan melibatkan berbagai pihak terkait dalam proses pembahasan RUU tersebut. Dengan cara ini, kebijakan yang dihasilkan dapat lebih representatif dan memenuhi kebutuhan masyarakat secara lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun