Selain mendefinisikan hasil tembakau sebagai kategori narkotika, RUU Kesehatan juga mengatur kawasan yang melarang untuk merokok. Aturan tersebut tertuang dalam pasal 157, pasal ini mengatur kawasan mana saja yang memberlakukan larangan merokok.
Penutup
Akan tetapi yang menjadi persoalan. Menurut saya, sebagai sebuah undang-undang yang berkaitan dengan kesehatan, RUU Kesehatan Omnibus Law memiliki implikasi yang sangat besar terhadap kehidupan dan kesehatan masyarakat.Â
Oleh karena itu, sangat penting bahwa pembahasannya dilakukan secara transparan dan melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk masyarakat, organisasi profesi, dan ahli kesehatan. Sayangnya, sebagian besar proses pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law dinilai tidak transparan dan kurang melibatkan partisipasi publik yang memadai.
Sebagai konsekuensinya, para nakes dan organisasi profesi kesehatan melakukan aksi protes dan menolak RUU Kesehatan Omnibus Law tersebut. Mereka berpendapat bahwa RUU tersebut tidak hanya menghilangkan kewenangan organisasi profesi tetapi juga memiliki potensi untuk memicu kriminalisasi terhadap dokter dan tenaga kesehatan.Â
Selain itu, para nakes dan organisasi profesi juga menyatakan bahwa RUU Kesehatan Omnibus Law tidak lebih baik dari UU yang sudah ada dan justru memiliki banyak kelemahan dan kontradiksi dalam isi pasal-pasalnya.
Dalam hal ini, saya berpendapat bahwa pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law yang tidak transparan dan minim partisipasi publik memicu ketidakpercayaan dan ketidakpuasan masyarakat.Â
Oleh karena itu, pemerintah perlu membuka ruang dialog yang lebih luas dan melibatkan berbagai pihak terkait dalam proses pembahasan RUU tersebut. Dengan cara ini, kebijakan yang dihasilkan dapat lebih representatif dan memenuhi kebutuhan masyarakat secara lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H