Mohon tunggu...
Yan Okhtavianus Kalampung
Yan Okhtavianus Kalampung Mohon Tunggu... Penulis - Narablog, Akademisi, Peneliti.

Di sini saya menuangkan berbagai pikiran mengenai proses menulis akademik, diskusi berbagai buku serta cerita mengenai film dan lokasi menarik bagi saya.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Perjalanan Studi Doktoral: Transisi yang Keras

19 Maret 2024   09:45 Diperbarui: 19 Maret 2024   10:05 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Ini adalah seri kedua dari cerita perjalanan studi Doktoral saya di Inggris. Untuk tulisan sebelumnya bisa dilihat di sini)

Situasi terancam akan gagal itu, makin diperumit dengan ketidakmampuan saya untuk mengerti  British English.

Selama ini, saya belajar bahasa Inggris dengan mengandalkan buku dan YouTube. Saya membaca buku bahasa inggris dan menonton kuliah virtual yang tersedia gratis di media sosial tersebut.

Memang saya mengekspos diri saya dengan American English. Karena pergaulan saya selama ini dengan teman-teman yang kuliah di Amerika. 

Selain itu, memang rasanya American English yang dominan di Indonesia. Mulai dari film, lagu sampai bahasa dunia akademik, orang cenderung ke English versi itu.

Pertemuan virtual di antara para mahasiswa baru dan dosen. Sumber: dokpri
Pertemuan virtual di antara para mahasiswa baru dan dosen. Sumber: dokpri

Momen ketika saya masuk ke ruang virtual untuk mengikuti "Induction meeting", bahasa gaulnya "Ospek" untuk mahasiswa baru sungguh berkesan. 

Saya terpaku diam tidak bisa merespon apa-apa ketika saya mendengar dosen-dosen bicara dalam British English a la Inggris Utara, yang sangat asing di telinga (ternyata English ada banyak macam gaess).

Selama pertemuan itu, hampir semua pembicaraan yang ada, tidak bisa saya mengerti. Itu momen yang sangat melelahkan secara mental. 

Pertemuan jam 10 malam sampai 1 malam (karena perbedaan waktu Inggris-Indo) ditambah dengan situasi asing yang benar-benar asing sungguh menguras energi.

Malam itu saya tidur nanti bangun jam 4 sore besoknya. Saya sendiri kaget.

Efek negatifnya bagi mental saya adalah saya jadi tidak berani untuk bicara dalam forum manapun. Bahkan saat pertemuan konsultasi bertiga dengan kedua pembimbing, saya sering diam dan manggut2 saja. 

Saya mengalami stress yang berkepanjangan.

Tiap kali mengikuti pertemuan manapun di ruang virtual. Saya mengalami kelelahan mental yang terasa berat. Karena saya terus merasa tertekan, tidak mengerti dengan apapun yang ada di situ.

Situasi yang menekan ini membuat saya serba salah. Saya ingin bergabung dengan komunitas akademik Leeds, tapi saya tidak mampu. Sementara saya sendiri tidak punya teman diskusi di Bitung, tempat saya tinggal. 

Akhirnya penelitian saya mandeg alias jalan di tempat. Atau lebih tepatnya menjadi makin tidak jelas.

Ini diperkeruh dengan Kota Bitung yang seringkali hilang signal internet. Puncaknya ialah ketika bulan Desember 2020 saya melaksanakan pertemuan konsultasi dengan para pembimbing, yang seyogyanya dilaksanakan sekali dalam tiap bulan. 

Saat saya baru masuk ruang virtual, listrik mati dan signal internet hilang. 

Koneksi terputus.

Saya betul-betul merasa tersesat dan rupanya hal yang sama dialami juga oleh kedua pembimbing. Di tengah studi yang kacau, pertemuan yang cuma sebulan sekali dan tidak bisa di atur ulang jadwalnya karena kesibukan mereka, harus terbuang sia-sia.

Saya merasa kacau waktu itu. Yang diperparah dengan semua harus kutanggung sendiri. Semua orang tidak bisa mengerti apa yang saya alami karena mereka pikir saya pintar. Superhero. Padahal saya hancur di dalam.

Berbagai pikiran berkecamuk dalam pikiran saya.

Ketakutan gagal studi. 

Ditambah rasa kecewa yang luar biasa karena bukan seperti ini studi di Luar Negeri yang saya bayangkan selama ini. Nama saja kuliah PhD di Inggris tapi saya hanya terjebak di Kota Bitung, tanpa sesungguhnya bisa menikmati fasilitas yang dibayarkan sangat mahal itu. 

Saya terus-menerus merasa rugi sekali. Untuk sekedar informasi, mahasiswa Non-Eropa itu biaya studinya sekitar empat kali lipat dari mahasiswa Eropa, walaupun di program yang sama.

Rasa sangat sedih. Karena saya tahu, satu-satunya cara keluar dari kemelut ini adalah saya berangkat sendiri ke Leeds. Saya tidak mau meninggalkan keluarga saya. 

Meninggalkan istri saya yang sampai kini terus kelelahan secara mental dan fisik mengurus anak kami sendirian di masa pandemi ini. Meninggalkan anak saya yang belum setahun umurnya itu. Sedih sekali.

Rasa kacau dan terasing sekali. Karena harus menanggung semua ini sendiri.

Malam itu saya menangis sejadi-jadinya tanpa bisa bicara banyak. Istri saya juga menangis melihat saya. 

Anak kami yang masih beberapa bulan itu juga ikutan menangis karena melihat kami menangis. Kami hanya berpelukan untuk meredam kepahitan hidup ini.

Semua sangat buram.

-----------

Setelah saat ini saya merenungkan kejadian itu, ada satu hal yang saya sadari soal kesenjangan pendidikan Inggris dan Indonesia. Yaitu "well-being".

Keterasingan yang saya alami saat itu saya sadari karena pergumulan saya itu tidak dianggap krusial oleh orang Indonesia. Rasa depresi saat studi itu bukanlah persoalan berarti bagi orang Indonesia.

Sepanjang saya studi dari S1 sampai S2, persoalan studi itu ditanggung sendiri oleh mahasiswa. Paling tinggi kalau masalah finansial, ya pergi curhat ke pimpinan kampus. Kalau masalah mental, itu urusan mahasiswa sendiri. Apalagi saat pandemi begini.

Bagi orang Indonesia, punya masalah mental itu artinya KAMU LEMAH !

Sangat berbeda dengan sistem di Inggris. Semua perangkat diarahkan untuk hanya sekedar "say Hi", mengecek keberadaan kita. Mulai dari staf admin pascasarjana, mentor studi (Dosen Pembimbing Akademik kalau di Indo), senior PhD, rekan sejawat sampai dosen pembimbing.

Di Indonesia, saya tidak pernah bisa membayangkan ada Dosen Pembimbing yang bersedia mendengar curhatan kita.

"Well-being" mahasiswa itu sangat diutamakan oleh kampus di Inggris. 

----------------

Lanjut cerita, kondisi mental yang pelik itu mendorong kami sekeluarga untuk membuat  keputusan yang nekat. Yang waktu itu tidak didukung oleh banyak orang.

Bersambung.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun