Ibarat memakan buah simalakama. "dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati." Kebijakan yang musykil tapi harus dilakukan. Itulah kebijakan menaikkan tarif PPN sebesar 1% dari 11%.
Namun beberapa data indikator menunjukkan, daya beli yang mengalami tekanan. Dari deflasi yang terjadi lima bulan belakangan, indeks manufaktur yang mengalami kontraksi, Indeks Pejualan Riil yang terkoreksi dan konsumsi rumah tangga yang melambat di kuartal III 2024.
Dalam kondisi demikianlah, rencana menaikkan PPN 12% mendapat penolakan keras dari masyarakat. Pasalnya, momentum menaikkan PPN 12% belum tepat. Disaat ekonomi menunjukkan gejala run-down.
Namun bila perluasan basis penerimaan melalui PPN tak dilakukan, beban fiskal kian berat. Sementara APBN dituntut mengakomodasi berbagai program prioritas pemerintah Prabowo yang membutuhkan anggaran besar.
Ibarat pepatah, "You can't have your cake and eat it too." Kita tak bisa mendapatkan semua yang diinginkan tanpa mengorbankan sesuatu. Dalam politik anggaran, jika perluasan basis penerimaan melalui PPN tidak dilakukan, maka berat bagi pemerintah memenuhi tuntutan anggaran besar untuk program prioritas tanpa menambah beban fiskal.
Agar kebijakan fiskal menjadi ekspansif, maka konsolidasi fiskal diperlukan. Memperbesar basis penerimaan, agar ruang fiskal tetap feasible untuk mendorong belanja produktif dan tak bergantung pada hutang.
Menaikan pajak PPN adalah bagian dari konsolidasi fiskal. Karena semakin kecil deviasi antara belanja dan penerimaan, ketergantungan pada utang dapat diminimalisasi.
Demikianpun, menaikkan PPN juga dalam rangka menyelaraskan tarif pajak dengan standar internasional. Sebagai contoh, PPN di negara-negara OECD PPN sudah dikisaran 19%. Kendatipun PDB perkapita Indonesia termasuk paling rendah.
Dengan PDB per kapita yang lebih rendah dibandingkan negara OECD, daya beli masyarakat Indonesia cenderung lebih lemah. Peningkatan PPN dapat membebani konsumen, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Tarif PPN yang terlalu rendah dapat menciptakan kesenjangan fiskal dan membatasi kemampuan negara untuk membiayai pembangunan. Selain itu, kenaikan PPN juga dalam rangka meningkatkan keberlanjutan fiskal jangka panjang.
Namun bila konsolidasi fiskal tak dilakukan melalui jalur PPN, maka kemungkinan, keterbatasan ruang fiskal terjadi. Pemerintah sulit melakukan investasi. Pertumbuhan ekonomi menjadi stagnan
Kendatipun, PPN merupakan pajak yang paling tak adil. Dikatakan tak adil karena PPN bersifat regresif. Artinya proporsi pajak terhadap pendapatan seseorang menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan.
Sementara orang dengan pendapatan rendah cenderung menghabiskan sebagian besar atau seluruh pendapatannya untuk konsumsi, sehingga mereka terkena PPN pada proporsi yang lebih besar dibandingkan kelompok berpendapatan tinggi.
Sebagai contoh, Jika seseorang dengan pendapatan Rp.2 juta per bulan menghabiskan Rp1,8 juta untuk konsumsi, maka hampir seluruh pengeluarannya dikenakan PPN.
Sementara itu, seseorang dengan pendapatan Rp20 juta hanya menghabiskan Rp.10 juta untuk konsumsi. Dengan pengeluaran yang lebih rendah sebagai persentase dari pendapatan, beban PPN terhadap total pendapatan orang tersebut lebih kecil.
PPN tidak memperhitungkan kemampuan ekonomi individu. Berbeda dengan pajak penghasilan yang biasanya progresif (semakin tinggi pendapatan, semakin besar tarif pajaknya).
Akibatnya, PPN menjadi beban yang sama besar secara nominal bagi semua orang, tetapi lebih berat bagi kelompok rentan secara ekonomi. Di sinilah letak ketidakadilannya.
Namun jenis pajak PPN lah yang merupakan jenis pajak yang mudah dipungut. Dan tak memberatkan fiskus. PPN menggunakan sistem self-assessment. Wajib pajak (perusahaan atau pelaku usaha) sendiri yang menghitung, memungut, dan menyetor pajak kepada negara. Hal ini mengurangi beban administratif pemerintah.
Karena secara administrasi mudah dipungut oleh fiskus, kebanyakan negara cenderung mengandalkan konsumsi sebagai basis ekonomi. Hal ini perlu didiversifikasi agar penerimaan negara tidak hanya bertumpu pada konsumsi, tetapi juga pada produksi yang menciptakan nilai tambah.
Kado tahun baru 2025
Pemerintah memiliki kepekaan yang tinggi pada kebijakan PPN. Berbagai tuntutan dan kritik di dengar dan dikalibrasi. Akhirnya PPN 12% secara umum dianulir. PPN 12% hanya dibebankan pada barang mewah yang ada dalam PPnBM.
Dari sumber pimpinan KomisiXI DPR RI, Misbakun, ia katakan PPN barang mewah ini hanya mampu mengerek penerimaan Rp.3,2 triliun pada APBN 2025 dan kehilangan potensi penerimaan Rp.75 triliun bila PPN naik menjadi 12%.
Dengan penerimaan PPnBM yang kecil, maka konsolidasi fiskal yang diharapkan tidak optimal. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mendiversifikasi penerimaan pajak selain pajak konsumsi
Melalui digitalisasi core tax system, basis pajak diharapkan semakin meningkat. Sumber basis pajak lain seperti pajak minuman berpemanis, pajak karbon, pajak plastik dan pajak digital perlu dioptimalkan.
Dari sini (diversifikasi penerimaan pajak), bila diestimasi secara kasar, total potensi penerimaan bisa mencapai sekitar Rp156-256 triliun per tahun. Dengan ini akan memperkuat daya fiskal.
Dengan rasio pajak terhadap PDB yang mentok 9% atau 10%, rasanya potensi basis pajak RI masih sangat luas. Bila PDB 2025 sekitar Rp.23.000 triliun, artinya ada sekitar Rp.20.930 triliun potensi basis pajak yang belum tersedot ke dalam ekonomi
Namun, tak semua potensi ini dapat langsung diserap, karena sebagian PDB berasal dari sektor informal, sulit dipajaki secara langsung. Pengelakan pajak (tax evasion) dan penghindaran pajak (tax avoidance) masih menjadi tantangan besar. Butuh kerja keras pemerintah dan menempuh cara-cara konvensional, bertumpu pada pajak konsumsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H