Malam ini, depan stasiun Palmerah senggang. Hanya auman sirine aparat. Pagar-pagar gedung dikunci mepet-mepet
Para jawatan DPR berkerumun. Tak bisa pulang. Para pendemo masih ngotot. Bedil aparat dengan gas air mata terus ditembak
Puing-puing pagar baja gerbang DPR berserak. Roboh. Setelah diamuk pendemo. Sampah berjejal. Aparat wara wiri depan gedung DPR
Letupan senapan air mata mengharu biru. Lida api, merekah di udara. Gas air mata kemana-mana
Tak ada penjual gorengan, cakwe, mi ayam atau nasi goreng. Sate Madura pun tak ada.
Gara-gara kepentingan politik bapa dan anak, mas Miun penjual nasi goreng kehilangan pendapatan semalam. Begitu pula para pedang lainnya
Tak seperti biasa, jalan depan stasiun Palmerah penuh sesak para jawatan. Atau ojek yang ngetem. Malam ini tak setupun mereka ada di tempat biasa.
Di bawah tangga jembatan gantung Palmerah kosong melompong. Bocah-bocah penjual tisu pun raib. Bahkan tiga ekor kucing yang biasa memelas di anak tangga pun pupus dari penglihatan
Sejak pagi saya sudah tiba di gedung DPR. Ternyata tak diizinkan masuk. Akhirnya diajak senior makan bakso lapangan tembak. Karena lapar yang menjadi-jadi, saya tak makan bakso, tapi iga goreng es kelapa
Tadinya pikir setelah makan, masa sepi dan boleh diizinkan masuk gedung DPR, ternyata nyanda bisa. Kami makan lagi rujak giling, sembari menunggu kapan boleh masuk gedung DPR.
Baru jam dua siang boleh masuk. Itupun melipir lewat gedung Manggala yang berkelok-kelok bagai labirin. Akhirnya masuk juga ke dedung DPR.
Saya baru pulang pukul 22.15 WIB. Langit Senayan didedai gas air mata polisi. Kami keluar dari gedung DPR lewat Manggala Wanabakti-Kementerian Kehutanan
Sejak siang para pendemo tongkrongi gedung DPR. Menunggu Rapat paripurna RUU Pilkada
RUU yang menui kontroversi. Ditengarai syarat kepentingan dinasti Jokowi. Demi mengamini politik kebencian Jokowi yang keukeuh ingin menjegal lawan-lawannya.
Kenapa pula politik kebencian dan saling menggunting itu mengorbankan konstitsi dan demokrasi? Apalagi seumua ini semata-mata demi kepentingan Jokowi, anak dan menantu?
Sehari sebelumnya, MK menerima JR tentang threshold syarat Pilkada. Demikian juga batas usia Cakada. Keputusan MK itu bikin geger satu republik
MK merileksasi threshold Pilkada dari threshold 20% menjadi electoral threshold 10%. Kondisi politik memanas dengan batas electoral threshold minimal 10% dari suara sah.
Semua bertepuk tangan. MK mengembalikan nobility-nya, setelah skandal paman Usman. Ini penebusan dosa MK. Mengobati luka batin rakyat yang masih memar
Baru saja rakyat bersorak, gayung politik bersambut. Anasir-anasir politik bekerja. Baleg DPRRI hendak mensiasati putusan MK. Semua ini demi apa? Demi Jokowi?
Bermacam-macam logika mentereng diucap. Katanya UU Pilkada itu open legal policy. Jadi kembali ke DPR sebagai law maker
Tapi tak semua rakyat itu pandir. Ada pre-text di balik pembahasan kilat RUU Pilkada. Ada asbabul wurud-nya. Dan asbabul wurud dari RUU Pilkada ini adalah menangkal putusan MK yang notabene tak sejalan dengan syahwat politik istana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H