Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Gula RI Tak Semanis Dulu

19 April 2021   17:27 Diperbarui: 20 April 2021   06:25 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persis jelang lohor, pukul 11.40 WIB (19/4), saat matahari bertengger secara presisi di atas ubun-ubun, BPS meng-enounce, impor gula sepanjang Maret 2021, terkerek 0,63% (m-t-m).

Terjadi impor 711.535 ton dengan nilai US$ 303,31 juta selama Maret 2021. Impor dari India memimpin. Disusul Brazil, Australia, Thailand dan terakhir Vietnam. Untung saja bukan impor dari Timor Leste. Sungguh ajaib kalau itu terjadi.

Salah? Tidak juga. Toh trade balance kita surplus Maret 2021. Lagi pula menurut keterangan pemerintah, impor gula demi penuhi permintaan sepanjang ramadan dan lebaran ini yang diperkirakan tinggi.

Persoalan apakah import terus, itu lain perkara. Pula bukan soal remeh. Dus, gula adalah komoditas pokok kedua setelah beras. Maka perkara rantai pasokan gula, juga alangkah gentingnya.

Impor tak akan terjadi, manakala satu Indonesia ini, setengahnya diabet kronis. Sudah tentu berpikir-pikirlah pemerintah, karena defisit BPJS akan bengkak, ketimbang alokasi devisa untuk impor gula.

Meskipun tempo di debat Capres 2019, soal impor pangan ini tak direken presiden Jokowi sama sekali. Meski cuma memicing mata dan mencolek dengan jari kelingking, Indonesia bisa dibikin surplus produk pangan. Perkara dipenuhi atau tidak, namanya juga janji politik.

Dalam politik, terkadang "janji politik" cuma micin, biar enak. Maka berbusa-busa janji politik dituturkan, jangan ditelan tanpa aral, seperti menelan cendol. Atau seumpama kadal mencengam agas.

Setidaknya lepeh saja dulu dengan sedikit mendilak. Bila sudah sepi, segeralah muntahkan, karena janji politik terkadang pahit. Enaknya sedikit, itu pun dengan micin. Ada juga yang mengkal dan rata-rata sepat. Bila dipaksa telan, bisa rusak lambung.

Lain soal bila raw sugar hilang di pasar. Lain soal bila impor gula rafinasi (refined/GKR) untuk industri, lalu bocor ke ritel. Siapa yang kurang ajar di sini, cukup tahu sama tahu saja.

Tak usah banyak cincong. Kalaupun cincong tetap percuma. Tak ada yang gubris. Rantai mafianya sudah sedemikian akut. Apalagi juga jual beli kuota impor juga tak terelakkan

***

Belum sepekan ini, ketua umum PAN mewanti-wanti, agar kurangi tabiat impor untuk penuhi rantai pasokan domestik. Maka sepatutnya, industri pangan dari hulu (upstream) hingga hilir (downstream), dibenahi. Biar terus siaga dalam siklus momentum dengan demand side yang tinggi dengan produksi sendiri.

Jangan sampai jumlah penduduk RI yang besar, dengan tingkat konsumsi yang tinggi, cuma jadi pasar bagi negara importir. Kalau bisa penuhi sendiri dengan produksi dalam negeri lebih baik. Bukan berarti anti impor. Sama sekali tidak demikian.

Regulasi juga perlu di benahi, semuanya menjurus pada peningkatan produksi nasional. Kalau di hulunya diganggu-ganggu, atau di hilirnya juga dibikin onar, maka tempeleng saja sesekali. Jangan sampai ada akal-akalan spekulan biar impor.

Lantas apakah seumur-umur, kita akan terus impor gula? Hanya gara-gara ukuran rendemen tebu selalu under target. Juga under quality untuk Industri atau konsumsi. Semua karena, perusahan gula domestik, rata-rata warisan VOC.

Kualitas tebu bagus, tapi bila mesin pabriknya tua bangka, warisan Belanda, apa iya bisa memeras tebu dengan rendemen yang mumpuni? Kalau demikian faktanya, maka hingga dua hari jelang kiamat sekalipun, produksi gula selalu di bawah rata-rata kebutuhan nasional.

Rendemen tebu RI saat ini di kisaran 7%.-8%. Sementara di Thailand atau Vietnam, randemen tebunya sudah 14%-14%. Maka meski mereka negara kecil yang tak direken, tapi menjadi importir gula untuk RI. Kenapa? Karena industri gulanya bagus dari hulu hingga hilir.

***

Apa yang tersisa di balik kejayaan industri gula dikala tahun 1930? Cuma hantu balau. Konon di beberapa tempat PG warisan kolonial, kini menjadi tempat hantu. Seperti di PG Kartasana-Brebes dan PG warisan kolonial di tempat lain.

Sebagai contoh, sekarang PG Kartasana, akan dialih fungsi dengan perusahaan yang lebih profitable. Driver alat berat yang pernah hendak menggusur salah satu bagunan disitu untuk alih fungsi, tiba-tiba mati dalam hitungan hari. Tanpa sebab.

Sakit selesma pun tidak. Sakit yang berat-berat seperti serangan jantung juga tidak. Tapi tiba-tiba bininya sudah janda ditinggal mati. Itu yang disebut misteri.

Dari ujung ke ujung kampung sekitar PG Kartasana, tersiar kabar, upayah menggusur bangunan PG Kartasana, adalah bentuk perbuatan tidak senonoh terhadap tata krama Ratu Selatan yang tengah ekspansi.

Konon PG Kartasana, telah diduduki Ratu Selatan. Proses ambil alih secara gaib tiada yang tahu. Maka secara ujuk-ujuk satu kampung sekitar PG Kartasana, menjadi kikuk pada hawa mistik di situ.

Yang tersisa dari PG Kartasana, atau PG Jatibarang, adalah cerobong asapnya menjulang menuding langit. Menyisakan bumbungan kenangan kolonialisme dan manisnya gula Indonesia. Berikut lori tua dan lokomotif karat bermandikan tanah dan sulur-sulur.

Selebihnya adalah cerita hantu. Dari hantu lokal, hingga none-none Belanda yang konon sering gentayangan. Apakah misteri serupa, yang membuat, rendemen gula RI selalu buruk di mata menteri perdagangan?

Tak kalah misterinya, seumur-umur, pasca swasembada pangan era Orba dan menjadi importir gula terbesar dunia pada 1930, Indonesia tekuk dengan produk gula impor. Ujung pangkal soalnya dimana, tiada yang tahu secuil pun. Kalau saja tahu, tentu tak begini keadaannya.Misteri !

Maka tersiarlah kabar, holding PTPN I hingga XII. Tujuannya apa? Demi konsolidasi aset. Bila profiling bisnisnya jempolan, maka otomatis reting kredit jadi manis. Bisa dapat modal/dana segar untuk produksi aneka produk pangan termasuk swasembada gula. Baik modal negara dari PMN atau dengan menerbitkan surat utang.

Namun seiring waktu, BPK malah bilang, bukan sembuh dari penyakit, PTPN holding malah tambah bengek. Holding PTPN itu, ternyata bukan solusi untuk peremajaan mesin pabrik gula. Bukan pula meningkatkan kualitas rendemen tebu nasional. Boro-boro on going swasembada. PTPN memang BUMN tua yang dhuafa dan kadung penyakitan

Maka tempo belum lama ini, ketum PAN mencak-mencak soal kedaulatan dan ketahanan pangan RI yang tak awas dan getas. Sudah pasti dia tahu duduk perkaranya, dari hulu hingga hilir. Termasuk perkara industri gula.

Tidak berlebihan, bila pak presiden akan memanggil ketum PAN dalam tempo yang tak begitu lama, sekedar urun rembuk soal kemana arah politik pangan RI. Setujukah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun