Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bank Konvensional Oto-Reject dari Aceh?

8 April 2021   14:21 Diperbarui: 8 April 2021   19:15 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menkeu, Srimulyani berpakaian syar'i saat isi kuliah umum di Universitas Syah Kuala, Banda Aceh (foto : Twitter/Kemenkeu dan Ditjen Bea Cukai)

Tanpa tedeng aling-aling, bank Mandiri dan bank Panin akan hengkang dari Nanggroe Aceh Darussalam. Pagi buta, berita itu yang nongol di TV dua hari lalu (6/4). Bisa jadi disusul bank konvensional lain. Apa duduk perkaranya?

Sebelumnya saya jadi ingat, kala pasar syariah yang digelar di Depok waktu lalu. Alat tukarnya dinar/dirham. Tanpa tedeng aling-aling, pelaksananya langsung diciduk. Pasalnya, dinar/dirham bukan alat tukar resmi sesuai UU RI.

Meski di luarnya, tak sedikit yang ngenyek, sementara bitcoin, crypto money, atau transaksi dollar US,Singapura dan lain, bebas tanpa suatu aral. Lantas kenapa pasar syariah Depok tempo lalu dikriminalisasi hanya karena alat tukarnya dinar/dirham?

Kenapa pertanyaan begitu menyeruak di publik? Karena memang belakangan, blok-blok sistem sosial itu menganga di masyarakat. Masyarakat menjadi amat parokial. Terbelah dalam segmen-segmen primordial yang ruwet. Diskusi syariah dan konvensional, masuk di tengah keruwetan sosial seperti itu. Setidaknya sampai disini kita faham. 

Jauh sebelumnya, instrumen pembiayaan syariah juga sudah getol dikampanyekan. Termasuk cash wakaf. Seperti Cash Wakaf Linked Sukuk Ritel (CWLS) dan CWLS ritel. Demi menggalang cash wakaf, sampai-sampai Menkeu rela pakai hijab demi suksesnya instrumen pembiayaan syariah, menimbang pasar potensi di Indonesia.  

Sebagai citizen journalism gurem, tulisan ini tak punya urusan apapun dengan yang syariah vis a vis konvensional. Atau negara dan outsider (syariah) secara opposite. Murni, tulisan ini hanya ingin menangkap public discourse yang terjadi di luar sana. Setidak-tidaknya tetek bengek di luar sana itu menjadi bahan perbincangan secara knowledgeable.

Pemda NAD telah meregulasi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dengan Qanun. Tiada lain demi tegaknya syariat Islam di bumi NAD. Dan barang tentu kesejahteraan rakyat Aceh menjadi acuan. Demikian pula, demi terlepas dari gurita sistem keuangan riba.

Dengan hal dimaksud, maka lembaga keuangan seperti bank konvensional yang tak punya unit syariah dipersilahkan hengkang dari Aceh. Mau tak mau mesti, tanpa kecuali.  

 Bisa jadi menyerempet ke lembaga keuangan non bank, seperti asuransi dan lembaga pembiayaan. Fintech lending atau start-up pembiayaan juga akan kena sapu, bila tak punya unit layanan syari'ah digital.

Hal dimaksud, sesuai dengan peraturan perundangan, Qanun No. 11 Tahun 2018 tentang LKS. Ketentuannya mewajibkan seluruh lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh ikut ketentuan Qanun dimaksud, paling lama tiga tahun sejak diundangkan.

Dulu PT Bank Mandiri (persero), punya unit syariah, namun kini sudah holding menjadi BSI. Entahlah bank Panin? Tapi kalau mau hengkang, berarti tak punya unit syariah. Atau enggan mengoperasikan unit syariah.  

Sejak 2020, atas dasar Qanun No. 11 Th 2018 tentang LKS, maka bank Mandiri sudah melakukan inbreng, Pelepasan Hak dan Akta Pemasukan ke Dalam Perusahaan berupa Aset Tetap Tidak Bergerak (ATTB) yang berlokasi di Aceh kepada BSM.

Dus, delapan kantor cabang bank Mandiri konversi menjadi BSM. Nasabah dipersilahkan tutup rekening dan disarankan pindah ke BSM. Terkecuali yang tinggal di luar Aceh dan masuk keukeuh punya rekening di bank Mandiri.

Ke depan, NAD akan menjadi pintu gerbang daerah, untuk ekonomi nasional, dengan sistem syariah. Selain secara garis besar, Indonesia menjadi pasar ekonomi syariah yang menjanjikan sebagai the biggest Muslim country in world.

***

Dari data OJK, tingkat literasi keuangan di Aceh itu 32%. Itu artinya, dari total penduduk Aceh, baru 32% saja yang paham keuangan. Namun inklusi keuangannya 72%. Artinya, ada 72% rakyat aceh yang sudah berurusan dengan keuangan.

Lantas bagaimana dengan literasi dan inklusi keuangan syariah di Aceh? literasi keuangan syariah di Aceh ternyata hanya 21%, sementara tingkat inklusinya 41%, Lantas bagaimana ini?

Dari data OJK, dapat dilihat, bahwa tingkat literasi keuangan syariah di Aceh masih rendah (21%) begitupun tingkat inklusinya, baru 41%. Artinya tidak lebih dari setengah penduduk Aceh yang berinteraksi dengan keuangan syariah.

Dengan tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah yang masih rendah di Aceh, maka ini menjadi tantangan pemerintah NAD. Sementara, pembangunan ekonomi, tidak lepas dari peran intermediasi sektor keuangan sebagai infrastruktur pentingnya.

Disaat yang sama, lembaga keuangan konvensional mau tak mau harus hengkang dari NAD dengan sejumlah catatan. Tidak bisa tidak suatu ekonomi itu bergerak, tanpa peran intermediasi perbankan.

Intinya, Aceh daerah kaya. Namun dari struktur ekonominya, perputaran uang lebih cenderung keluar dari NAD ketimbang masuknya. Dari data BI pada tahun 2018, misalnya, Ada dana Rp.8 triliun yang dikeluarkan BI ke perbankan, yang kembali Rp.5 triliun.

Ada Rp.3 triliun yang keluar. Jumlah tersebut makin besar, manakala data transaksi non tunai disertakan (dihitung) akibat transaksi ke luar. Transfer dana keluar Aceh untuk transaksi bisnis antara pelaku usaha di Aceh dengan pihak di luar Aceh

 Kemiskinan di Aceh masih jadi soal penting. Menjadi faktor, sebagian besar uang APBA tidak berputar di Aceh. Tapi keluar akibat ketergantungan Aceh terhadap pasokan barang dari luar.

Lagi-lagi, meski Aceh itu kaya, namun kebutuhan pembiayaan konsumtif Aceh masih tinggi. Sebaliknya pembiayaan sektor produktif masih rendah. Uang keluar dari Aceh untuk pasokan kebutuhan juga tinggi.

Qanun LKS adalah pintu gerbang kebangkitan ekonomi Aceh. Dengan adanya pembiayaan syariah yang lebih adil (berdasarkan musyarakah dan mudharabah ), pembiayaan dari hulu hingga hilir sektor produktif bisa berlangsung lebih cepat.

 Dengan, sektor produktif tumbuh menggeliat di Aceh, maka efek keistimewaan Aceh bisa dirasakan lebih konkret. Bukan sekedar kertas kosong politik otonomi khusus yang bubble regulasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun