Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gotong Royong: Oase Ditengah Duka Korban Merapi

8 Juli 2011   12:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:50 1260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gotong-Royong: sebuah Konsep Sosio-Kultural

Gotong royong adalah istilah yang menunjukkan kebersamaan dalam melakukan sesuatu. Paul Michael Taylor dan Lorraine V. Aragon menyatakan bahwa gotong royong is cooperation among many people to attain a share goal.[1] Kebersamaan dalam konteks hubungan social menunjukkan relasi yang dilakukan masyarakat dengan merujuk pada ciri seperti rukun (mutual adjustment) atau tolong menolong (reciprocal assistance). Dalam bahasa jawa, terdapat istilah gugur gunung yang dapat disepadankan dengan gotong royong. Kedua istilah tersebut dalam tulisan tersebut adalah interchangeable yaitu sepadan dan saling menggantikan.

Gugur gunung mempunyai makna kerja social yang harus dilakukan secara bersama-sama untuk menyelesaikan kerja yang berat seolah-olah seperti meruntuhkan gunung. Menilik namanya, gugur gunung berarti menghancurkan gunung. Mustahil jika seseorang diri mampu merobohkan gunung yang besar. Istilah gugur gunung memberi inspirasi dan spirit kepada orang banyak agar tidak silau terhadap pekerjaan yang sangat berat. Pepatah ini mungkin dapat dipersamakan dengan ungkapan, berat sama dipikul ringan sama dijinjing, sebuah ungkapan luhur yang menekankan kebersamaan.[2]

Dalam kehidupan masyarakat (jawa), gotong royong merupakan konsep moral dalam berinteraksi. Sebagai konsepsi moral, menginspirasi kegiatan social kemasyarakat untuk saling membantu atau berbagi beban dalam mengatasi kesulitan. Gotong royong as a tool of social problem solver menjadi dominan untuk menjaga kohesi social. Ikatan social terbentuk saat melakukan kegiatan bersama dengan motivasi saling membantu, meringankan beban anggota masyarakat yang membutuhkan uluran bantuan.

Gotong royong memiliki sifat ketersalingan (reciprocality), dimana anggota masyarakat saling menyadari keterkaitan dan ketergantungan satu dengan yang lainya. Ketersalingan disini juga dapat dimaknai dalam perspektif prinsip tabur-tuai, anggota masyarakat yang sudah mengulurkan bantuan pada suatu saat didepan akan memperoleh balasan dari uluran tangan yang pernah dilakukan. Namun tidak harus demikian karena terdapat social wisdom yaitu keiklasan dalam mengulurkan tangan ketika melakukan gotong royong.

Keiklasan inilah yang menjadi ‘jaminan’ lahirnya kerukunan sebagai manifestasi nilai keharmonisan dalam masyarakat. Ketersalingan dalam gotong royong dan kemungkinan anomaly prinsip tabur-tuai tetap menjamin terjadinya kerukunan dan tolong menolong dalam sebuah masyarakat. Iklas menjadi nilai yang mendorong tidak hanya untuk melakukan gotong-royong, tetapi juga menjadi ‘jaring pengaman’ untuk ditidak melakukan ‘balas dendam’ ketika ada anggota masyarakat tidak melakukan gotong royong.

Tulisan ini menjadi refleksi dari aksi atau kiprah Salatiga Peduli dalam memberikan bantuan kepada korban letusan Merapi. Refleksi bersumber pada para pihak yang menjadi pelaku atau relawan Salatiga Peduli. Informasi yang dihasilkan dari proses wawancara atau berbagi cerita pada beberapa kesempatan membentuk rangkaian pemikiran yang dituangkan dalam tulisan ini. Kiprah relawan Salatiga Peduli merupakan inspirasi dari tulisan ini, dan untuk itulah tulisan ini didedikasikan kepada relawan Salatiga Peduli dan semua pihak yang sudah secara iklas memberikan bantuan baik materi dan non materi untuk menjadi ‘obor’ gugur gunung tetap menyala sebagai jiwa bangsa.

Erupsi Merapi, Momentum Melakukan Gotong Royong

Setiap bencana selalu memproduksi penderitaan. Didalam penderitaan mencuat kesedihan atau duka cita yang dialami oleh korban bencana. Pada saat erupsi Merapi, kegemparan yang terjadi diikuti dengan munculnya korban dipihak masyarakat penghuni lereng Merapi disetiap sisi. Kegemparan yang diakibatkan dari guguran pijaran lava panas, melambungnya awan panas meluncur ke pemukiman penduduk. Panic menjadi keniscayaan, bayangan dan kenyataan kehilangan harta benda dan nyawa tersajikan secara nyata dan dekat didepan penghuni lereng Merapi.

Dampak erupsi Merapi yang menimbulkan kerugian bagi penghuni lereng Merapi atau penduduk yang berada tidak jauh dari puncak Merapi antara lain, mengungsi adalah sebuah pilihan mutlak apabila tidak hendak berhadapan dengan maut. Pertama, gempa menjadi salah satu indikator awal dari bencana. Ketika bumi bergerak maka penghuni yang berpijak diatasnya akan terserak, rumah berderak mengancam penghuni didalamnya, pohon tumbang dapat menimpa rumah, tanah longsor mampu merubah kontur tanah dengan potensi merobohkan rumah.

Kedua, luncuran lava pijar yang tidak hanya melalui ‘jalur’ konvensional pada letusan tahun 2010 menjadi ancaman serius. Terbentuknya jalur baru menggulirkan lava pijar yang mengarah ke tempat yang belum terantisipasi. Ketiga, awan panas atau yang dikenal dengan sebutan ‘wedhus gembel’ menyebar lebih luas jangkauannya daripada lava pijar. Penyebaran yang dibantu angin dengan panas yang terkandung didalamnya menjadi ‘amunisi’ bencana yang memporakporandakan pemukiman di lereng Merapi.

Awan panas atau wedhus gembel membuktikan dirinya menjadi ancaman yang melahirkan korban erupsi Merapi. Pemukiman di lereng Merapi seperti glagah rejo atau bale rante menjadi saksi dan bukti keganasan awan panas. Aneka tanaman/pohon, rumah penduduk, hewan peliharaan di wilayah glagah rejo atau bale rante hangus terbakar alias gosong. Sampai saat ini bukti keganasan awan panas masih tercecer seperti [1] masih tegaknya pohon yang sudah berubah menjadi arang alias arang berdiri, [2] jejak puing rumah yang tersapu awan panas berupa hangus pada bagian tertentu atau reruntuhan rumah yang tidak mampu menahan rapuhnya tiang-tiang penyangga yang hangus terbakar, [3] bangkai hewan peliharaan.

Di wilayah glagahrejo dan bale rante yang penduduknya mayoritas beternak sapi perah dapat dipastikan ternak tersebut gosong terbakar. Bau menyengat daging gosong adalah jejak pertama kekejaman awan panas yang dapat diindera pasca erupsi Merapi. Bahkan jauh setelah pasca Merapi, jejak itu masih nampak berupa tulang belulang dari sapi perah. Mudah ditemukan tengkorak sapi yang berserakan di tanah dapat mengimajinasi situasi saat awan panas menyapu-hanguskan benda yang berada dilereng Merapi.

Dampak erupsi diatas menghasilkan penderitaan, derita yang mensubyekkan manusia berhadapan dengan kuasa alam. Subyek manusia menjadi obyek dengan erupsi Merapi, bertransformasi sebagai korban merupakan bagian dari proses yang tidak terhindarkan. Penghuni di wilayah lereng Merapi yang dilewati lava pijar atau lahar dingin dan awan panas adalah korban. Sebagai korban, mereka mengalami kehilangan aneka harta benda. Kehilangan mengakibatkan berkurangnya harta kekayaan dan atau kemampuan untuk mempertahankan kehidupannya.

Berkurangnya kemampuan ekonomi individu mengancam eksistensinya baik secara personal maupun social. Kehilangan rumah yang hangus terbakar dan roboh memperbesar kesempatan untuk tidak berdaya memenuhi kebutuhan dasar. Kehilangan hewan ternak (khususnya sapi perah) menambah beban dari kehilangan rumah, karena hewan ternak menjadi sumber mata pencarian. Sebagai mata pencarian, hewan ternak adalah sumber ekonomi bagi keluarga penduduk yang menjadi korban erupsi. Sehingga kehilangan hewan ternak untuk sementara dan berpotensi permanen akan menggerus kemampuan ekonomi untuk mempertahankan kehidupan.

Kemampuan ekonomi yang menurun pasca bencana mengancam eksistensi dan keberlangsungan kehidupan korban bencana. Ketika harta benda (rumah dan hewan peliharaan) dan kondisi lingkungan tempat tinggal mengalami kehancuran maka itu akan membawa perubahan. Perubahan yang terjadi begitu cepat mengakibatkan individu atau komunitas warga tergagap untuk mengantisipasi perubahan. Ketergagapan yang tidak segera ditopang oleh pihak lain akan semakin memperpuruk atau memperlambat proses adaptasi terhadap perubahan.

Rumah yang hancur akan menimbulkan kesulitan bagi warga untuk menghadapi kondisi lingkungan. Dan kemampuan untuk membangun kembali rumah tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di sisi yang lain sumber mata pencarian seperti hewan ternak atau ladang juga meniada karena terjangan awan panas atau lahar. Kehancuran tempat tinggal (rumah dan hewan ternak) dan ancaman bencana lanjutan menjadi akumulasi penurunan kemampuan ekonomi warga yang menjadi korban bencana Merapi.

Ketergagapan untuk mengantisipasi perubahan akibat erupsi Merapi mencipta derita, keterpurukan baik secara ekonomi, social maupun psikologi. Pada titik ini pendampingan dalam bentuk uluran tangan dari sesama menjadi penting untuk menopang kehidupan, sekaligus membesarkan hati para korban bencana. Karena ditengah bencana atau pasca bencana, kepanikan tidak hanya bersifat individual tetapi juga komunal. Kepanikan inilah yang dapat menghambat proses pemulihan pasca bencana untuk kembali menata kehidupan baik secara individual maupun komunal.

Relawan Sebagai Agen Gotong Royong

Tergagap dan terpuruk ketika erupsi Merapi terjadi dialami oleh penduduk lereng Merapi yang terkena dampak letusan. Tergagap karena bencana yang dapat serba mendadak meski dapat diprediksi dan diantisipasi. Penduduk harus mengungsi, meninggalkan tempat tinggal dan harta bendanya dan kemudian mengetahui bahwa yang ditinggalkan sudah mengalami perubahan. Hancur atau mati adalah perubahan yang terjadi pasca bencana erupsi Merapi.

Perubahan itulah yang membentuk ketergagapan, meski bersifat sementara karena mampu menguasai diri. Tetapi perubahan membawa dampak signifikan bagi keberlangsungan kehidupan, karena perubahan yang terjadi karena erupsi Merapi berkaitan dengan kesinambungan kehidupan baik dari aspek social maupun individual. Kedua aspek tersebut saling terkait, dimana pemulihan dari keterpurukan secara individual pasca erupsi akan mempengaruhi kondisi social dimana individu tersebut berada.

Misalnya rumah yang hancur di daerah Glagahrejo atau Balerante diterjang awan panas, apabila tidak segera didirikan lagi maka kehidupan social di kedua daerah tersebut tidak akan ‘berdenyut’. Padahal pasca erupsi kemampuan ekonomi warga merosot drastic dengan kehilangan harta benda, sehingga pemulihan tempat tinggal atau membangun rumah mengalami kesulitan. Dititik inilah keterpurukan warga menjadi nyata. Dan kebutuhan atas bantuan dalam berbagai bentuk akan membantu atau menopang warga dalam mengatasi kesulitan atau keterpurukan.

Bantuan menjadi penting tidak hanya sebagai wujud solidaritas social. Secara obyektif-faktual, kondisi pasca erupsi Merapi sangat memprihatinkan. Meski pemerintah sudah mengemukakan janji untuk membantu, tetapi masalah yang bersifat kekinian tidak dapat menunggu proses birokratis pencairan bantuan. Spontanitas warga yang didasarkan pada solidaritas social mampu memberi pertolongan seketika dan berkesinambungan sebagaimana dilakukan salah satunya adalah komunitas Salatiga Peduli.

Salatiga Peduli merupakan relawan yang berasal dari kota Salatiga dan sekitarnya, mengulurkan tangan membantu korban erupsi Merapi disekitar daerah Glagahrejo dan Balerante. Relawan adalah agen gotong royong, yang bergerak berdasarkan empati, peduli dan solidaritas atas penderitaan. Kehadiran mereka tidak hanya sekedar memberi bantuan, tetapi mendampingi korban dalam proses pemulihan dari keterpurukan. Pendampingan inilah yang menjadi pembeda dari pemberi bantuan an sich, yang sekedar mengumpulkan bantuan dan menyalurkannya kepada korban.

Pemberi bantuan an sich datang membawa bantuan yang berhasil mereka kumpulkan, menyerahkan bantuan disertai dengan adegan ‘narsis’ berupa foto dan atau liputan media. Relawan adalah individu atau kumpulan individu yang hadir, tinggal bersama membantu, menggorganisasi bantuan dan menyalurkan bantuan. Kehadiran relawan seperti yang ditunjukkan oleh Salatiga Peduli adalah manifestasi gugur gunung atau gotong royong yang komprehensif. Membantu dengan totalitas, itulah gambaran dari relawan.

Totalitas dalam hal energi, waktu, tenaga, pikiran dilibatkan dalam proses gotong royong membantu korban erupsi Merapi. Mereka berkorban dengan satu tujuan membantu, bekerja bersama dengan anggota relawan lain dan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Tujuan bersama ini adalah memulihkan kembali para korban pasca erupsi Merapi. Pemulihan kembali ini dilakukan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki (kelompok) relawan. Membantu memulihkan kondisi korban erupsi Merapi adalah bagian dari keguyuban yang bisa ditunjukkan. Karena aktor utama tetap individu dan komunitas dimana individu tersebut berada. Mendampingi atau menemani mereka pulih dari keterpurukan dari kehilangan harta benda menjadi bentuk membesarkan hati untuk tetap berjuang mengatasi segala keterbatasan.

Relawan dalam berkegiatan bekerja bersama dengan warga. Kerjasama menjadi hakekat dari gotong royong atau gugur gunung. Dalam bekerja bersama, relawan berproses bersama warga baik dengan tinggal bersama atau secara teratur melakukan ‘kunjungan’ ke lokasi yang dibantu. Relawan Salatiga Peduli melakukan gugur gunung[3] dengan melakukan kunjungan secara rutin pada setiap hari minggu. Kunjungan dilakukan sejak bulan Desember 2010 sampai dengan tulisan ini dibuat masih dilakukan. Kegiatan yang dilakukan yang unik dan mungkin perdana dilakukan dalam konteks bantuan kepada korban bencana Merapi adalah membantu membangun rumah warga di daerah Glagahrejo dan Baleranto, dan memberi bantuan rumput untuk pakan ternak.

Keunikan bantuan terletak pada pihak yang melakukan bantuan yaitu relawan Salatiga Peduli. Salatiga peduli bukan organisasi atau lembaga swadaya masyarakat, mereka adalah kumpulan warga yang peduli setiap kali terjadi bencana.[4] Peduli dengan melakukan bantuan dari apapun yang bisa mereka lakukan untuk membantu. Kumpulan warga dengan kesamaan motivasi, bersepakat untuk membantu para korban bencana. Bantuan tenaga adalah pilihan utama dari relawan, berkaitan dengan latar belakang para relawan yang memiliki keterbatasan dari aspek ekonomi.

Relawan Salatiga Peduli memberikan bantuan 1 minggu sekali, pada hari minggu dengan melakukan apa saja yang bisa dilakukan sesuai dengan kebutuhan korban bencana. Yang paling menonjol dan unik dari kegiatan kerelawanan Salatiga Peduli adalah pertama, membangun rumah semi permanen dan memberi pakan ternak.[5] Kedua, mereka datang berombongan pada setiap minggu (pagi).[6] Pembangunan rumah semi permanen merupakan sebuah keharusan kebutuhan dari warga disekitar Glagahrejo dan Balerante. Awan panas merobohkan rumah warga, tempat penampungan tidak menyamankan mereka untuk tinggal dan gelisah untuk bisa kembali ke rumah mereka.

Pembangunan rumah (semi permanen) dan pemberian pakan ternak menjadi bagian berproses kerelawanan Salatiga Peduli dalam mengorganisir bantuan. Rumah yang terdiri dari bagian-bagian tertentu, tentunya kebutuhan untuk mendirikan rumah adalah beragam seperti genteng, paku, ‘tembok’[7], bambu, lampu penerangan dan paku (lihat tabel dibawah)

Daftar Bantuan SP

Jenis bantuan

Banyaknya

Lokasi sasaran

Asal aktor relawan

Keterangan sasaran

2truk 3/4

Kemiri

SP+Secang

Rangka/tiang gardu pandang

Bambu

1truk

Balerante

SP

Usuk

2truk

Srumbung

SP

Rangka rumah

6truk

Srumbung

Srumbung

Rumput

1truk+1pick up

Srumbung

SP

Hewan

13jeep+?

Bendan+Ngargasuka

Kel Jeep+ SP

Hewan

5truk+1pick up

Dukuh Soka+Ngargasoka

SP

Hewan

Kepang

35ribu,15rb,20rb

Balerante

Komunitas Ngipik+SP

Beli dr pengrajin

Lampu

1000 TL 40watt

KRB, darmini: 500 unt Banjarsari, Sambungrejo, balerante, KTL n KTkdl @250

SP-Budi Roso

Penerangan

Genteng

1 truk

Gardu pandang, darmini, bendan, KTL, KTKd

GKJ Dipo, Warga salatiga, DPU+SP, Dinas pasar + SP, P Darman+ SP

Atap

Kabel listrik

1250m tilpun bekas

Balerante: KTL, KTKidul

SP+tata kota

Pemenuhan kebutuhan penerangan

Sembako

375 dr tata kota

Banjarsari+balerante

TK obor+ SP, relawan karang duwet

30an KK

55paket dr toko obor

Cepogo

100paket

Uang

1jt untuk kabel

KTKidul-Kipli

SP+

Penerangan

10jt

Camp: banjarsari, glagaharjo

TP

Paku

3karton

Balerante+glagaharja

Mulyadi+SP

3karton

B+ghrja+KTL

Binajaya

3karton

B+ghrja+KTKd

Sebelah Binajaya

2karton-cash

Bakso

3000mangkok

Bawukan

SP+PPB

Skali makan

Valet

100 kotak+papan kotak

Banjarsari, gardu pandang

GP

TV+speaker+teropong

1set

Banjarsari

Tentara Pelajar

TP

Sumber: wawancara dengan coordinator Salatiga Peduli, Santo pada tanggal 6 Juli 2011

*SP: Salatiga Peduli, eks TP: Tentara Pelajar

Membangun rumah ditengah keterbatasan relawan Salatiga Peduli adalah sebuah ‘keajaiban’. Keajaiban dimaksud adalah keterkaitan proses mencari sumbangan/bantuan dan aksi membangun rumah itu sendiri. Relawan Salatiga Peduli bukan termasuk kalangan ‘the haves’, mereka mempunyai kepedulian dan solidaritas yang tinggi. Sehingga keinginan untuk membangun rumah bagi korban bencana adalah sebuah kemewahan. Kepedulian dan solidaritas yang mendorong untuk bahu membahu, menghayati hakekat gugur gunung untuk mencapai tujuan bersama yaitu mengulurkan bantuan, meringankan penderitaan korban erupsi Merapi.

Proses mencari bantuan/sumbangan untuk memperoleh bahan-bahan membangun rumah menarik untuk dikemukakan. Upaya memperoleh bantuan tersebut terkandung potensi mengorganisir bantuan yang berasal dari sumber donator yang berbeda. Kemampuan menggorganisir bantuan menjadi kekuatan yang dimiliki oleh Salatiga Peduli. Kekuatan yang berguna untuk mewujudkan kebutuhan rumah bagi korban Merapi. Mengorganisir bantuan tidak hanya sekedar meminta bantuan dengan mengatasnamakan bencana Merapi, tetapi memanfaatkan berbagai sumber daya yang dimiliki para relawan Salatiga Peduli.

Kemampuan mengorganisir bantuan yang akan digunakan untuk membantu korban Merapi meliputi pertama, membujuk (lobby). Bahwa tidak semua warga yang peduli mau mengulurkan tangan memberikan bantuan dalam bentuk barang atau materi. Untuk memperoleh barang yang sesuai dengan kebutuhan bantuan yang dikehendaki yaitu membangun rumah, relawan Peduli Salatiga melakukan pendekatan kepada pihak-pihak yang mempunyai barang. Pendekatan dan bujukan dilakukan agar mau memberikan bantuan, tidak hanya pemberian tetapi juga meminta keringanan harga (discount).

Kedua, brokering atau perantaraan.[8] Salatiga Peduli memainkan peran perantaraan yang menjembatani antara pihak yang membutuhkan dengan pihak yang memiliki sumber daya yang dibutuhkan. Perantaraan yang mempunyai fungsi transformasi, yaitu bantuan yang berdiri sendiri menjadi bentuk yang menggunakan aneka bantuan ke bentuk utuh seperti rumah. Salatiga Peduli dengan melakukan pendekatan dan bujukan ke pemilik sumber daya yang dibutuhkan untuk kemudian disalurkan ke korban erupsi Merapi.

Ketiga, kepercayaan(trust). Menjalankan peran perantaraan membutuhkan kepercayaan. Dan kepercayaan terbangun, selain faktor kedekatan juga faktor pengalaman. Salatiga Peduli memiliki pengalaman untuk mengorganisir bantuan pada saat bencana gempa Jogjakarta. Rekam jejak yang membentuk pengalaman dalam berkerelawanan membentuk kepercayaan dari pihak pemberi bantuan. Dalam kepercayaan terdapat faktor integritas dari Salatiga Peduli dalam mengelola bantuan, dan ini memudahkan pihak-pihak yang peduli dalam mengulurkan bantuan dan meminta pertanggung-jawaban.

Keempat, jejaring (network). Salatiga Peduli hanya mencakup kota Salatiga dan sekitarnya, dan bukan merupakan organisasi formal tetapi lebih cenderung sebagai komunitas dengan kesamaan kepentingan. Sehingga dalam menghimpun bantuan hanya mengoptimalkan jejaring local kota Salatiga, baik individu maupun korporasi, swasta maupun pemerintah. Jejaring yang dimiliki baik dalam kapasitas sebagai individu dari para relawan Salatiga Peduli maupun dari hasil pengalaman pada saat membantu korban gempa Jogjakarta digunakan untuk memperkuat program bantuan pada korban erupsi Merapi.

Jejaring dalam radar Salatiga Peduli adalah pihak pertama yang dihubungi ketika Salatiga Peduli membutuhkan bantuan. Bahkan dalam menyalurkan bantuan, misalnya dalam pembangunan rumah korban erupsi Merapi, Salatiga Peduli memanfaatkan jejaring dari relawan lain seperti dari Klaten dan Jogjakarta. Jejaring antar relawan menjadi sinergi dalam bersolidaritas untuk membantu korban dan semakin memperkokoh kerelawanan dalam membantu atau saling bertukar bantuan.

Kelima, nilai atau keutamaan (value).Kepedulian, solidaritas, dan kemauan berkorban adalah nilai yang dimiliki oleh relawan Salatiga Peduli. Nilai-nilai tersebut mungkin dimiliki oleh relawan ditempat atau organisasi lain. Tetapi karakteristik Salatiga Peduli terletak pada [1] kemauan untuk berkesinambungan dalam membantu, [2] mengorganisir bantuan secara mandiri sekaligus menyalurkan dan [3] kemauan untuk ‘turun gunung’ membantu secara aktual para korban. Kemauan berkorban nampak pada sifat kesinambungan, yaitu bahwa relawan bukan berasal dari golongan ekonomi ‘kuat’ bahkan mereka sendiri dalam keseharian mempunyai kesulitan untuk mempertahankan kehidupannya.

Dengan komitmen dan ketulusan yang kuat, melupakan diri sendiri dan bergiat dalam kerja social secara terus untuk periode tertentu. Mengesampingkan kepentingan diri sendiri dilakukan dengan menyisihkan waktu di hari libur (minggu) untuk dapat membantu korban, berarti meniadakan waktu beristirahat setelah bekerja selama satu minggu. Para relawan Salatiga Peduli tidak sekedar meminta bantuan dan menyalurkan, tetapi diri merekalah adalah sejatinya bantuan itu sendiri. Mereka ‘turun gunung’ mengambil bagian, menyingsingkan lengan untuk membangun rumah bagi korban Merapi.

Keenam, kemandirian. Salatiga Peduli mampu menunjukkan bahwa pemberian atau penyaluran bantuan dapat dilakukan oleh masyarakat tanpa menunggu komando atau perintah dari pemerintah. Kemandirian menunjuk pada inisiatif yang dimiliki relawan Salatiga Peduli untuk bergegas tanpa menunggu dalam membantu sesama yang terkena dampak bencana. Salatiga Peduli bergerak tanpa ‘sponsor’, namun dalam berproses memberikan bantuan memperoleh dukungan (sponsor) dari komponen masyarakat lainnya seperti komunitas jeep, komunitas trail, atau eks Tentara Pelajar. Artinya bahwa kegiatan Salatiga Peduli menjadi pelopor dalam setiap bencana dan memperoleh dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini membentuk jejaring yang sinergis dalam mengoptimalkan peran kerelawanan.

Ketujuh, kampanye-publikasi. Pengorganisasian dalam bentuk kampanye atau publikasi bukan merupakan kesengajaan atau sebuah desain strategis yang dilakukan secara sadar oleh Salatiga Peduli. Kampanye ini adalah ‘bonus’ sebagai bentuk apresiasi media (cetak) atas tindakan kerelawanan Salatiga Peduli. Sebenarnya kampanye-publikasi disini adalah liputan media yang memotret ‘kisah’ dan kiprah Salatiga Peduli dalam membantu korban erupsi Merapi. Liputan tersebut dimaknai sebagai publikasi karena dengan liputan tersebut mengundang ketertarikan (calon) donatur yang memiliki kepedulian tetapi belum tahu kemana harus mewujudnyatakan kepedulian dalam bentuk bantuan.

Kampanye publikasi inilah yang kemudian juga meningkatkan jejaring bagi Salatiga Peduli. Jejaring yang memperkokoh solidaritas dan kerelawanan yang sudah dilakukan. Kokohnya solidaritas memperluas cakupan pemberian bantuan, dan memoptimalkan jenis bantuan yang dapat dilakukan oleh Salatiga Peduli. Komponen masyarakat yang berada diluar kota Salatiga, tetapi masih memiliki keterkaitan secara historis dengan kota Salatiga mengetahui keberadaan dan kiprah Salatiga Peduli. Dari publikasi inilah, cakupan Salatiga Peduli meluas yaitu Salatiga tidak hanya dalam pengertian penduduk kota Salatiga dan sekitarnya yang peduli, tetapi warga kota Salatiga di perantauan atau individu yang pernah tinggal di Salatiga.

Kedelapan, ikatan historis. Sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu kekuatan Salatiga Peduli adalah keterikatan historis, yaitu dalam hal pengalaman memberikan bantuan pasca gempa Jogjakarta. Para relawan Salatiga Peduli terdiri dari relawan yang berpengalaman melakukan kerja-kerja social pada saat gempa Jogjakarta. Ketika Merapi meletus, panggilan hati yang didorong oleh empati dan solidaritas menyatukan mereka untuk kembali melakukan aksi serupa.

Ikatan historis juga terjadi ketika gema kiprah Salatiga Peduli terdengar atau terdeteksi oleh warga kota Salatiga yang berada diperantauan atau warga yang pernah tinggal di Salatiga. Mereka mengulurkan bantuan melalui Salatiga Peduli, seperti yang dilakukan oleh pihak pemberi bantuan yang dimintai tolong oleh Salatiga Peduli. Pemberi bantuan ‘berani’ dan yakin mengulurkan bantuan juga karena terdapat ikatan historis masa lalu. Dimana mereka melihat Salatiga Peduli dapat dipercaya dan berintegritas untuk menyalurkan bantuan kepada korban bencana.

Gotong Royong adalah Jiwa Bangsa

Erupsi Merapi sudah berlalu, tetapi dampak masih hadir dan belum dapat pulih seperti sedia kala. Bangunan rumah semi permanen yang dibangun baik oleh Salatiga Peduli maupun pihak lain masih ada. Entah sampai kapan pemulihan akan berlangsung, tetapi semangat penduduk lereng merapi tetap berkobar. Mereka berjuang mengatasi keterbasan dan melawan keterpurukan pasca bencana. Memungkasi tulisan dilakukan dengan sajak sebagai berikut;[9]

mereguk sisa sedih peninggalan perilaku alam @balerante lereng merapi

'kemarahan' masih dpt diindera, ketangguhan penghuninya ditunjukkan dg tetap berkarya

membangun kehidupan utk melanjutkan perjalanan meski tetap harus berhadapan dg gagahnya merapi

tak menyurutkan langkah, namun seolah mensuri teladani utk tetap gagah menjalani kehidupan

berpantang menyerah dg ganasnya alam.

saat kaki menjejak bumi balerante lereng merapi

mendung menggelayut,

menebar gerimis

angin semilir, meniup-goyangkan rerumputan

seolah hendak mengajak menari, diiringi suara dendang palu yg mengalun merdu

kering yang bersisa, sudah mulai diselimuti rimbun hijau pepohonan

menunaskan asa, melahirkan harapan bagi manusia yang tangguh berjuang mengatasi kesulitan

tak menyerah atas alam yang tak bisa diprediksi

Gotong royong menjadi pengisi jiwa para korban untuk bersemangat melanjutkan karya. Semangat gotong royong akan selalu hadir, menjadi oase bagi setiap penderitaan yang ditimbulkan oleh bencana. Kepedulian dan solidaritas adalah bagian dari jiwa bangsa, dimiliki sejak ratusan tahun yang lalu bahkan sebelum Indonesia merdeka. Salatiga Peduli memberi suri teladan kepada bangsa ini untuk peduli dan mengambil peran ditengah serba kekurangan yang dimiliki baik secara personal maupun komunal. Semangat para relawan mengobarkan semangat untuk tetap berjuang mengatasi keterbatasan yang sedang dialami oleh warga di lereng merapi. Dan nilai-nilai kerelawanan yang ditunjukkan oleh Salatiga Peduli dapat menginspirasi warga bangsa lain, ketika bencana terjadi dan membutuhkan uluran tangan dari sesama warga bangsa lainnya.

[1]http://en.wikipedia.org/wiki/Gotong_royong diakses pada tanggal 21 Juni 2011.

[2]http://www.jogjatrip.com/id/encyclopedia/detail/334/gugur-gunung diakses pada tanggal 6 Juli 2011.

[3] Salatiga Peduli menggunakan istilah ini dalam setiap kegiatan yang dilakukan untuk membantu korban Merapi. Sehingga istilah gugur gunung menjadi representasi gambaran dari kegiatan dan kontekstualisasi dari tindakan gotong royong.

[4] Salatiga Peduli mengawali kiprah kerelawanannya saat terjadi gempa Jogjakarta. Mereka melakukan kegiatan gugur gunung membantu para korban gempa pada setiap hari minggu dari pagi sampai malam hari.

[5] Pakan ternak dimaksud adalah rumput untuk makanan sapi.

[6] Kedatangan relawan dalam bentuk rombongan menjadi penegasan bahwa bantuan yang diberikan merupakan bentuk dari gugur gunung.

[7] Tembok disini menggunakan tanda kutip, karena bukan tembok sebenarnya melainkan anyaman bambu yang disebut kepang.

[8] Perlu dilakukan klarifikasi atas istilah brokering untuk menghindarkan persepsi negative. Brokering dalam hal ini adalah perantaraan antara kedua belah pihak, antara yang membutuhkan dengan pihak yang mempunyai kebutuhan yang dibutuhkan. Salatiga Peduli memainkan peran perantaraan untuk memperoleh bantuan yang dibutuhkan oleh korban Merapi. Dalam hal ini bisa dipahami bahwa Salatiga Peduli adalah penyalur bantuan, yaitu menyalurkan bantuan dengan memanfaatkan bantuan untuk mendukung pembangunan rumah. Perantaraan juga memuat proses ‘perubahan’ dari bantuan yang hanya menjadi salah satu kebutuhan menjadi bentuk lain yaitu rumah.

[9] Sajak ini dibuat pada tanggal 18 Juni 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun