Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengarusutamakan Kejujuran dalam Penegakan Hukum

3 Maret 2011   05:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:07 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penegakan hukum Indonesia mengarah pada kondisi yang menegasi dengan cita hukum. Hukum dipakai sebagai 'kekerasan' yang dilegitimasi negara untuk menciptakan ketertiban dari setiap bentuk tindakan yang berpotensi melahirkan chaos. Kekerasan yang dilegitimasi lahir karena otoritas negara yang diberikan oleh rakyat. Negara menjadi pemilik tunggal kedaulatan dan mempunyai kewenangan untuk mengemanasi tujuan diadakannya negara.


Legitimasi negara untuk melakukan kekerasan juga mengatasnamakan hukum. Dalam hal ini hukum menjadi lingkaran proses menjadi-adakan legitimasi,yaitu dasar keberadaan legitimasi untuk melakukan tindakan represif bagi warga negara sekaligus menjadi alat dalam mengatur-batasi kekerasan yang diperbolehkan. Tugas negara untuk menegakkan hukum dapat mengalami distorsi baik dari aspek substansi (hukum) dan manusia yang menjadi aktor dalam penegakan hukum.


Substansi hukum memuat isi dan proses hukum yang memedomani setiap bentuk penegakan hukum . Dan aktor hukum adalah pihak yang mengerakkan hukum dari teks pasal atau ketentuan yang mati menjadi dinamis dalam gerak untuk menghidupkan isi dan proses hukum. Substansi dan aktor menjadi penting dan tidak terpisahkan. Hukum tanpa keduanya tidak akan mengada, dan keberadaannya menjadi tidak ada. Ada tetapi meniada, hukum sirna dalam keadaannya yang ada.


Distorsi tugas negara mengakibatkan kekerasan berada diluar hukum, dan melampauinya menjadi syahwat kanibalisme terhadap manusia lainnya (homo homini lupus) mendominasi penegakan hukum. Kekerasan yang dilegitimasi berubah menjadi kebiadaban atas nama hukum dan mendegradasi hakekat kemanusiaan. Hukum hanya sekedar menjadi alat dan melupakan tujuan keberadaan hukum yaitu keadilan, kepastian dan ketertiban.


Cita hukum mungkin tetap eksis dalam jargon-jargon yang disampaikan oleh pemegang otoritas kedaulatan. Jargon 'demi menciptakan atau menjadi kepastian dan ketertiban masyarakat' menjadi mantra untuk menunjukkan bahwa aparat penegak hukum telah menegakkan hukum sesuai dengan hukum. Pertanyaannya  adalah apakah penegakan hukum sudah berkeadilan? Apakah dalam penegakan hukum sudah dilakukan tidak hanya berdasarkan hukum, tetapi juga jujur dalam proses bekerjanya system hukum?


Hukum sudah bekerja, dengan system yang dibangun dalam dan oleh hukum, aparat penegak hukum menjadi aktor utama meski bukan aktor tunggal. Aktor lain selain aparat penegak hukum adalah pembuat undang-undang (legislative), dan dalam lingkup tertentu hakim juga merupakan pembuat atau pembentuk hukum selain juga sebagai aparat penegak hukum. Aktor-aktor tersebut mempunyai peran penting dalam membentuk wajah hukum dan mewarnai hukum. Wajah dan warna hukum dapat ramah atau garang, gelap pekat atau terang bercahaya.


Keramahan hukum tidak menjadikan hukum menjadi lembek atau tak berdaya, tetapi hukum menyapa para pencari keadilan dengan wajah tulus untuk memberikan keadilan. Hukum tidak hanya ramah bagi mereka yang mampu memberi harga bagi nilai hukum yang ditawarkan oleh penegak hukum korup. Tetapi juga melempar senyum yang menyejukkan hati bagi para pelanggar hukum, meski dirinya tetap tertimpa kekerasan berbentuk sanksi hukum yang diberikan hakim. Namun sering ditemukan bahwa hukum menjadi garang atau buas bagi mereka yang tidak mampu memuaskan syahwat rakus yang berspiritkan hedonisme bagi aparat penegak hukum.


Hukum tidak seharusnya bersifat trasaksional. Watak transaksional hanya mengemuka saat pembentukan di lembaga legislatif. Proses di lembaga politik meniscayakan terjadinya tukar-menukar kepentingan. Tetapi ketika sudah diundangkan maka hukum harus tampil sebagagi hukum yang tidak memihak. Keberpihakan hukum hanya kepada keadilan. Bahkan mengatasnamakan hukum untuk ketertiban dan kepastian, namun mengingkari keadilan maka yang tersisa dari hukum adalah kekerasan yang terlegitimasi.


Hukum di Indonesia terjebak pada watak transaksional yang mewujud dengan istilah korupsi. Hukum memiliki nilai diluar nilai utamanya yaitu keadilan. Nilai tersebut identik dengan harga, dimana hukum dikonstruksikan sebagai komoditas yang diberi nilai tertentu. Dalam hal ini hukum menjadi alat tukar (transaksional) yaitu (penafsiran) pasal dan ayat yang mengemuka pada 'putusan' penegak hukum ketika hendak menegakkan hukum dengan pihak yang (diduga) melanggar hukum. Bertemunya dua kepentingan yang bersimpangan, menempatkan hukum menjadi komoditas dalam pasar penegakan hukum.


Aneka Warna Hukum yang Tidak Beraturan adalah Sebuah Keteraturan


Transaksi hukum memberi warna hukum Indonesia, tidak hanya hitam-putih dalam pengertian baik-buruk atau benar-salah. Melainkan lebih berwarna dengan kedinamisannya yang sering beraneka warna sesuai harga pasar dari komoditas yang bernama hukum. Karut-marut hukum Indonesia tidak lagi bisa diberi warna abu-abu, melainkan aneka warna yang tak beraturan sesuai dengan selera pengemban hukum yang korup. Selera pengemban hukum akan sangat kontekstual tergantung tingkat kepangkatan, jelajah kewilayahan, kualitas kasus, atau atas permintaan pembeli hukum.


Aneka warna hukum tidak beraturan seolah bertolak belakang dengan hukum yang seharusnya menciptakan keteraturan. Ketidakberaturan tersebut terkait dengan aneka distorsi yang dilakukan aparat penegak hukum. Distorsi penegakan hukum dengan memanfaatkan menempatkan hukum sebagai komoditas. Hukum diolah sedemikian rupa, menjadi 'produk' siap jual untuk ditawarkan kepada pembeli (distorsi) hukum. Bahkan pembeli dapat 'memesan' bahkan 'pesan antar' hukum (delivery order) sesuai dengan paket distorsi yang biasanya tersedia.


Ketidakberaturan terjadi tidak hanya dalam hal substansi hukum, tetapi juga aktor pengemban hukum. Substansi hukum dalam proses politik di lembaga politik mengalami tahap traksaksional kepentingan antar kelompok politik dengan aneka kelompok yang mempunyai kepentingan terhadap hukum yang sedang dibuat. Pun demikian, dalam hal pembentukan hukum oleh hakim setali tiga uang. Hakim 'bermain mata' dengan aparat penegak hukum (kejaksaan atau advokat) dan 'pencari keadilan' agar mengakomodasi kepentingan 'pemesan' hukum dapat diakomodasi dalam putusan hakim.


Aktor pengemban hukum menjadi budak dari ego yang bersyahwat hedonisme dan pelayan dari kepentingan pembeli hukum. Mereka menjual 'roh' hukum untuk memuaskan syahwat hedonisme, memulur-mungkretkan hukum, menafsir-adaptasikan hukum, bahkan mengesamping-tiadakan hukum agar sesuai dengan selera pasar. Hukum tidak lebih dari 'mainan' dari para pengemban hukum dengan menggunakan daya intelektualitas mereka dalam menguasai berbagai teori atau konsep hukum. Daya intelektualitas tidak diberdayakan untuk mengabdi dan mengeksplorasi keadilan, melainkan digunakan untuk mencari celah agar bisa dimanfaatkan bagi dirinya.


Aneka warna hukum yang tidak beraturan dapat dinilai sebagai pandangan yang pesimistik. Pandangan pesimis tersebut menginginkan kejujuran dari para pengemban hukum dalam menegakkan hukum. Dimana kejujuran atas pengembanan dan penegakan hukum tidak semata untuk hukum, melainkan mendorong terbentuknya keadilan yang berkepastian dan berketertiban. Apakah selama ini dalam penegakan hukum, aktornya tidak mengambil manfaat untuk kepentingannya sendiri? Apakah ketika mengambil manfaat tersebut sadar bahwa ada hak yang dicabut, terpinggirkannya kewajiban dan mengutamakan ego penegak hukum?


Warna hukum Indonesia merepresentasi ketidakpastian dan ketidaktertiban. Warna yang bercampur baur sesuai selera rasa dan nilai yang dimiliki aparat penegak hukum ketidakpastian dan ketidaktertiban yang tercipta menggariskan pola tertentu. Ketidakpastian dan ketidaktertiban hukum yang diproduksi oleh pengemban hukum membentuk pola hukum tertentu. Pola hubungan dalam berolah hukum antara hukum, penegak hukum, masyarakat dan negara. Bahkan pola hubungan tersebut menjadi karakteristik hukum Indonesia.


Karakteristik hukum yang traksaksional, ditingkahi dengan polah korup penegak hukum dan masyarakatnya menjadi warna tersendiri. Warna yang tak bercorak, coretan dari buah tingkah laku penegak hukum yang korup dan hukum yang tidak memihak kepentingan rakyat melahirkan situasi ketidakpastian dan ketidaktertiban. Hukum yang harusnya ideal, dalam keidealannya sudah ditemukan ketidakidealan. Hukum dicoreng-moreng oleh hukum itu sendiri dan para pengembannya.


Coreng-moreng hukum dengan aneka warna membentuk pola. Yang tidak beraturan melahirkan 'gambar utuh' keteraturan. Gambar yang bisa diinterpretasikan secara subyektif oleh pihak-pihak yang berkepentingan.  Dan pola yang membentuk dan selalu berulang mencipta keteraturan. Keteraturan dalam proses pembentukkan dengan modus yang serupa, atau mirip dengan modifikasi kontekstual. Itulah hukum Indonesia, penegakan hukum yang tidak berkepastian karena syahwat ego hedonisme membentuk pola yang beraturan yaitu selalu mudah berstrategi demi kepentingan pihak yang mau membeli komoditas hukum.


Kejujuran sebagai meta-yuridis keadilan


Bagaimana mengurai karut-marut, coreng-moreng hukum Indonesia? Hukum sudah menjadi bagian bahkan alat untuk menjauhkan hukum dari kehakekatannya yaitu keadilan. Hukum dan para pengembangnya lebih mengutamakan memuaskan ego untuk memperkaya kebendaan, daripada memperjuangkan keadilan. Jawaban utamanya bukan hukum yaitu dengan menciptakan hukum untuk membentuk larangan-larangan atau prosedur tertentu agar terbatasi ruang gerak pemuas syahwat hedonisme atau pengemban hukum yang korup.


Adagium pembelajar hukum perlu diperhatikan, 'hukum ada untuk dilanggar'. Artinya semakin banyak hukum yang membatasi maka keinginan untuk (sengaja) melakukan pelanggaran hukum semakin kuat. Keinginan untuk melakukan pelanggaran adalah godaan sekaligus tantangan bagi pengemban dan pembelajar hukum untuk mengalahkan (baca: menyimpangi, mengatasi hukum).  Sehingga yang diperlukan lebih dari sekedar hukum untu bisa mengatasi karut-marut hukum.


Pengawasan adalah salah satunya. Membangun mekanisme pengawasan adalah upaya untuk membatasi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Hukum digunakan untuk menciptakan mekanisme pengawasan. Meski belum efektif, pengawasan tetap perlu dilakukan bahkan diperbaiki agar mampu membatasi ruang gerak para pelaku yang mengkomoditaskan hukum.


Saat ini hukum perlu 'resep generic yang bersifat herbal', artinya solusi berada diluar hukum tetapi menjadi ruh dari keberadaan hukum. Resep tersebut bukan hukum, tetapi ada dalam diri hukum yang menunggu diejawantahkan, yaitu kejujuran. Potensi kejujuran sudah berada dalam hukum meski dengan penamaan lain. Misalnya dalam Pasal 1335 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa 'persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik'. Menurut Prof. Ismijati Jenie menjelaskan bahwa terdapat dua pengertian itikad baik, yaitu dalam pengertian subyek artinya kejujuran dan pengertian obyektif adalah kepatutan (http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=927).


Prof. Ismijati dalam menafsirkan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa kejujuran (itikad baik) tidak terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi terletak pada tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam melaksanakan janji, jadi kejujuran disini bersifat dinamis.  Kejujuran dalam arti dinamis atau kepatutan ini berakar pada sifat peranan hukum pada umumnya, yaitu usaha untuk mengadakan keseimbangan dari berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat.


Black's Law Dictionary memberikan pengertian itikad baik (good faith) yaitu in or with good faith, honestly, openly, and sincerely; without deceit or fraud. Truly; actually; without simulation or pretense. Prof. Mr. P.L. Wry mengemukakan definisi itikad baik dalam perjanjian adalah bahwa kedua belah pihak harus berlaku yang satu berharap yang lain seperti patut saja antara orang-orang sopan, tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa menganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan pihak lain.


Prof. Subekti merumuskan itikad baik adalah itikad baik diwaktu membuat suatu perjanjian berarti kejujuran. Orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggap jujur dan dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang kemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan. Kejujuran menjadi akar dalam terbentuknya hubungan hukum. Tanpa kejujuran, akan menciptakan ketidakseimbangan antar para pihak yang membentuk hubungan hukum. Ketidakseimbangan inilah yang menjadi potensi ketidakadilan.


Bertolak dari pendapatnya Prof.  Ismijati bahwa kejujuran (hukum) tidak terkait dengan situasi batin individu, tetapi menjadi aktualisasi tindakan. Artinya (ke)jujur(an) merupakan tindakan untuk mengungkap informasi yang dimiliki para pihak yang terlibat dalam hubungan atau peristiwa hukum. Secara a contrario, ketiadaan tindakan untuk menyembunyikan informasi yang nantinya digunakan mengakali hukum atau mendistorsi hukum demi kepentingan pihak-pihak tertentu.


Apakah kejujuran juga terdapat dalam hukum pidana? Bertolak dari alat bukti yang diatur dalam KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Keterangan terkait dengan informasi yang dimiliki untuk digunakan dalam pembuktian perbuatan pidana. Keterangan atau informasi yang disampaikan di depan hakim mempunyai bobot atau kualitas untuk digunakan sebagai pertimbangan hakim dalam memutus bersalah atau tidak bersalah. Dalam hal ini menuntut informasi yang benar dan jujur ketika disampaikan dalam proses persidangan.


Kejujuran bukan sesuatu yang langka dalam hukum, karena begitu 'dekat' bahkan sudah ada dalam hukum yang berlaku.  Tetapi melihat situasi hukum di Indonesia, kejujuran menjadi kemewahan dan ketidakjujuran mendorong praktek korupsi. Kejujuran menjadi meta-yuridis keadilan, dimana ketika kejujuran dipraktekkan dalam cara berhukum maka mendekatkan diri pada pencapaian cita hukum yaitu keadilan. Untuk itu para pengemban hukum harus didorong bahkan ditransformasikan watak kejujuran dalam mengemban atau menegakkan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun