Mengenal "Adat Kapu agu Naka" dalam Budaya Manggarai
 Oleh: Ovantus YakopÂ
Manusia dan Kebudayaan Manggarai
Salah satu identitas manusia adalah budaya. Dalam budaya manusia mengenal dirinya sendiri, keluarga, lingkungan dan masyarakat. Eksistensi suatu budaya tak lepas dari keberadaan manusia.
Manggarai sebagai komunitas sosial menyimpan aneka nilai-nilai luhur turut mewarnai hidup. Â Nilai-nilai budaya itu dipelihara dan dijaga oleh generasi tua, lembaga adat, tokoh-tokoh pendidikan, keluarga, masyarakat, lembaga keagamaan dan pemerintah.
Budaya dalam Filosofi Masyarakat Manggarai
Salah satu peribahasa atau "goet" terkenal dalam konteks budaya Manggari yaitu muntung gurung pu'u-manga wungkut nipu curup, wakak betong asa manga wake nipu tae. Arti dan makna goet tersebut adalah jika generasi tua sudah meninggal ada generasi muda yang mempertahankan dan memelihara budaya Manggarai.Â
Bagaimana proses pewarisan budaya Manggarai kepada generasi muda?. Proses mengenal dan memahami budaya tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari dalam keluarga, lingkungan komunitas sosial, rumah adat, di lingkungan komunitas tetangga kampung, pemerintah, lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan.
Perspektif Pendidikan Budaya Manggarai
Karena budaya itu melekat dalam setiap aneka kehidupan masyarakat dikenal dengan konsep sebagai berikut. Pertama, lelo (melihat) berbagai aktifitas budaya yang dilakukan oleh generasi tua dalam berbagai ruang. Baik diruang resmi seperti rumah adat, rumah dan lingkungan komunitas tempat tinggal atau di kampung tetangga.Â
Kedua, senget (mendengar). Kegiatan mendengar atau menyimak berbagai aktivitas budaya yang selaras dengan maksud dan tujuannya masing-masing. Kegiatan mendengar diharapkan kita terlibat langsung misalnya menjadi pelayan saat upacara adat. Karena dengan terlibat secara langsung kita akan diperkaya berbagai pengetahuan tentang budaya. Lebih khusus bahasa adat yang kaya akan makna dan pengetahuan.
Ketiga, idep (meresapi) menyimpan dalam hati dan merfleksikan nilai-nilai budaya. Sebagai bekal untuk kehidupan pribadi,keluarga dan masyarakat. Bekal dalam artian nilai-nilai budaya itu hidup dalam segala aneka khidupan sehari-hari. Kalan dan dimana saja kita berada.
Keempat, toming (meniru) budaya tanpa praktek sama dengan hampa. Kegiatan meniru dimaksud bisa melalui latihan-latihan pribadi di rumah, keluarga dan masyarakat. Meniru dalam konteks penghayatan akan nilai budaya. Bukam meniru untuk mendiskreditkan budaya.
Kelima, pande (berbuat). Berbuat atau menjalankan budaya itu sesuai dengan jabatan atau kapasitas kita dalam suatu acara. Mengenal posisi dalam ruang budaya sangatlah penting. Orang mengenal kita melalui bahasa dan tingkah laku kita.
Mengenal Adak Kapu agu Naka dalam Budaya Manggarai
Mengenal arti kata secara harafia. Kapu dapat diartikan sebagai gendong atau mengendong. Naka diartikan sebagai menyambut. Dalam ungkapan umum diartikan sebagai Syukuran.Â
Apa Manfaat Kapu agu Naka dalam Budaya Manggarai
Apa yang mendasari orang Manggarai melakukan syukuran?. Pertama, dari segi perkmebangan manusia ataua beka weki. Dari satu manusia berkembang menjadi 2 hingga ratusan manusia dalam satu turunan. Turunan yang dimaksud adalah dari darah ayah.Â
Kedua, aspek membangun dan memperkokoh keluarga. Mempererat relasi antara manusia. Anak atau cucu dengan leluhur, keluarga ata one dan ata peang (keluarga turunan lami yang mentap di kampung dan saudari atau tanta yang menetap diluar kampung)
Ketiga, relasi Manusia dan Tuhan
Sebagai rasa terima kasih kepada Tuhan, yang telah menganugerahkan kehidupan. Nafas dan perkembangan keluarga secara fisik,mental dan kerohanian.
Keempat, relasi manusia dengan leluhur. Sebagai ungkapan terima kasih kepad leluhur atas jasa dan segala kebaikan.
Kelima, relasi dengan alam. Sebagai ungkapan terima kasih kepada alam yang telah menyediakan berbagai aneka penunjanh kehidupan. Seperti air, kayu, beras, kesehatan fisik.
Keenam, relasi antara manusia. Keluarha yang melakukan syukuran dengan pihak anak rona, sesama keluarga dan sub klan dalam satu kampung atau turunan.
 Bagaimana Kapu agu Naka dibuat?
Bagaimana kapu agu naka itu terwujud. Sebagai ungkapan rasa syukur bersama membutuhkana waktu yang cukup lama. Bisa saja syukuran itu berada di generasi kelima atau keempat.Â
Apa yang mendasari Kapu agu Naka harus dibuat?. Lazimnya sebagai manusia kita diajak untuk selalu bersyukur. Tapi beda ceritanya dalam konteks kapu agu naka. Pertama, aspek itang agu nangki. Ada utang moral kepada Tuhan dan leluhur yang harus dibuat.Â
Bagaimana kita mengetahui kehidupan kita ada itang dan nangki. Lazimnya ada orang disebut mata gerak atau tae data cica agu jangka (melalui orang lain yanh dianggap mengetahui budaya Manggarai dan memahami arti dan maknanya). Bukan orang sembarangan ia seperti guru kehidupan budaya orang Manggarai.
Bagimana Proses Kapu Agu Naka
Setelah sang guru mengatakan niat baiknya serta memberikan penjelasan yang mendasar kepada keluarga yang akan melakukam kapu agu naka, maka jika dianggap penting atau perlu maka diteruskan.
Jika dianggap menyentuh atau penting setelah di refleksikan pribadi atau secara bersama-sama. Maka sang guru budaya menyampaikan maksud, alasan, tujuan serta benda atau benda-benda yang akan di persiapkan yang dijadikan sebagai persembahan bagi leluhur.
Tahapan Kapu Agu Naka
Pertama, bantang (rapat intern keluar inti). Setelah rapat berhasil. Didalamnya membahas waktu dan tempat diadakan acara, anggaran, siapa pihak tamu yang wajib diundang, serta sususnan mata acara.
Lazimnya selain keluarga inti mempersiapakan dan, ada pihak saudara dan tanta (woe) juga terlibat dalam mendukung acara tersebut.Â
Pelaksanaan Kapu agu Naka
Setelah informasi diketahi oleh semua keluarga di dalam dan diluar kampung (ata one dan ata peang), maka mengundang pihak anak rona. Agar anak rona merelakan waktu untuk hadir dalam acara.
Waktu dan Tempat
Pertama, manuk tei wie leson acara. Ayam sebagai tanda pemberi tanggal kepada sesama, leluhur dan Tuhan. Ayam jantan putih adalah benda persembahan. Lazimnya dilaksanakan di gendang atau dibangka (rumah pertma leluhur dalam satu garis keturunan). Dibuat pada malam hari yang dihadiri oleh pihak anak rona, woe, ata itan acara, dan sub klan lain dalam satu kampung.
Mata acara kedua, adalah barong wae teku. Pergi di sumber mata air sebagai rasa terima kasih kepada alam yang telah menyediakkan air. Seraya memohon kesehatan dan perlindungan bagi segenap anggota keluarha besar. Bahan persembahan biasanya ayam jantan putih.
Ketiga, barong compang. Memohon kepada leluhur dialtar persembahan adat. Doa memohon lewat perantaraan leluhur. Benda yang digunakan adalah ayam jantan putih.
Keempat, barong boa. Meminta restu dari leluhur serta memohon segala kebaikan seperti kesehatan, rezeki dan perlindungan. Bahan yang digunakan, lilin dan telur. Doa secara adat untuk memnaggil leluhur agar hadir di tempat acara.
Kelima, Oke saki (memyucikan diri) di kali atau sungai. Disini kita harus mandibatau mencuci muka, seraya memohon pembebasan atas noda atau dosa asal. Baik dosa pribadi maupun yang melekat karena ikatan darah turunan. Bahan yang digunakan telur atau ayam jantan hitam. Waktu biasanya sore hari jam 3 sampai jam 5.
Barong wae dan barong compang boasanya dilakukan secara bersamaan. Dan setelah pulang harus bertemu di compang atau salang dangka.
Kelima, manuk bakok di rumah yang menjadi pusat acara. Sebagai tanda kita sudah dibersihkan dari noda dosa di sungai dan sudah memohon restu lewat leluhur dan alam semesta.
Keenam. Puncak acara teing benda inti. Bendanya dalam beberapa pengalaman penulis yaitu kerbau putih, kambing putih, ayam jantan berwarna putih atau ayam jantan berbulu 3 warna (merah, putih, kuning atau agak coklat dan sesikit hitam), babi putih, babi putih campur hitam di kaki atau kepala.
Kegiatan tersebut dilaksanakan pagi hari. Semua yang hadir dalam suasana doa yang khusuk, berpakayan putih, mengenakanbtopi adat dan kain adat. Baik anak-anak maupun orang tua, laki dan perempuan.
Setelah acara adat selesai disempurnakan dengan doa secara secara Katolik. Bagi pemeluk agama Katolik. Baik dipimpin oleh KBG maupun oleh Pastor paroki. Dilanjutkan dengan makan bersama keluarga besar dan rekreasi keluarga serta foto bersama.
Bahong, 25 Agustus 2024
Catatan: Tulisan ini berkaca dari beberapa pengalaman langsung penulis di 2 (dua) acara dengan tema umum yang sama. Sebagai bentuk terima kasih penulis karena hidup dalam budaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI