Aku tidak bisa membalas keluh kesahnya. Aku hanya duduk termenung. Mataku pun tidak mampu menatapnya. Aku bahkan merasakan kesedihan di wajahnya. Mungkinkan itu yang disebut cinta. Ia! Itulah cinta. Bahkan semua orang akan mengalami hal serupa. Kendati tidak semua cinta berujung dengan kepedihan, namun inilah kenyataan dari sebagian cinta yang aku rasakan. Bukan karena aku prihatin. Aku justru mengalami hal yang sama. Aku tak sanggup meninggalkannya.
"Wati... sejujurnya, aku mengalami hal yang sama. Aku bagaikan orang yang berdiri mengangkang. Sebelah kakiku di biara dan sebagian lain di luar sebagai awam pada umumnya. Dan sejatinya, aku tidak mesti mengabdi kepada dua tuan."
"Hiks... hiks...." Suara tangisan terus melengking. Wati seolah tak sanggup menerima kenyataan ini. Kami telah lama merajut kasih. Empat tahun bukan waktu yang muda. Cinta yang semakin lama akan menghasilkan rasa yang susah dilepaskan. Seperti sebuah benih, semakin hari akan terus tumbuh dan berkembang.
"Wati..." Kucoba merangkul bahunya untuk mengurangi tangisannya. Rupanya tidak membuahkan hasil. Wati terus mencucurkan air mata.
"Tapi kenapa kak! Kenapa? Bukankah kita telah berjanji untuk Bersama selamanya?" Ucapnya di sela-sela tangisannya
"Maafkan aku Watt. Aku telah menjadi lelaki egois. Selama ini aku telah menunjukkan cinta dibalik klausura. Seharusnya aku tidak melakukan hal demikian; mengucapkan jani-janji palsu. Dan aku sendiri tidak menyadari bahwa dalam kepalsuannya, cinta itu terus membesar. Aku telah melanggar janji suci di hadapan Tuhan. Cintaku mesti universal, tidak  sekedar persona. Jika demikian, terlalu naif identitasku. Aku merasa inilah waktunya untuk berhenti."
"kak... kamu tega!" katanya sembari melepaskan rangkulanku.
"Mana tasku? Aku tidak sanggup bertahan di sini. Rasanya seluruh badanku akan terbakar."
Aku menarik tas di belakangku dan menyodorkan kepada Wati. Secepat kilat ia mengambil tasnya menuju parkiran motor lalu pergi meninggalkanku sendiri.
Aku berani mengambil Langkah ini. Berhenti bukan kekurangan cinta. Justru sebaliknya. Cintaku semakin hari terus bertambah. Tiga hari lamanya aku merenungkan tentang bagaimana aku harus memilih. Sebuah pilihan yang tidak mudah. Tepatlah pepatah yang mengatakan, berani berbuat, berani bertanggung jawab. Dan kini kubuktikan.
Setelah Wati benar-benar hilang dari pandanganku, barulah aku beranjak dari tempat dudukku. Memang sesuai tujuan kedatanganku. Setelah semua terucap, aku merasa lega. Keterikatan sedikit lebih ringan ketimbang sebelumnya. Akhirnya, tanpa menyibukkan diri dengan kesibukan lagi. Aku memutuskan untuk kembali ke tempat tugas dan menjalani hari-hari seperti biasa.