Mohon tunggu...
Yakobus Asa
Yakobus Asa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Calon Imam, Kongregasi SSCC

Syarat untuk menjadi penulis ada tiga, yaitu: menulis, menulis, menulis – Kuntowijoyo. saat ini masih menempuh pendidikan di uiversitas sanata darma, kampus Teologi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mana yang Mesti Kupilih

25 Oktober 2023   22:20 Diperbarui: 25 Oktober 2023   22:29 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantai Oa larantuka. Dokpri

Wati seorang Perempuan usia 17 tahun, yang sedang kuliah di Sanata Darma jurusan farmasi. Rambutnya sependek bahu. Tingginya 160 cm. Wati tampak sempurna yang memancing mata setiap lelaki yang memandangnya. Sayangnya, Wati selalu menolak ketika beberapa teman kuliahnya mengungkapkan isi hati mereka.

Ia terlahir dari keluarga broken Home. Ayah meninggalkan mereka ketika Wati berusia 18 tahun. Ayahnya menikah lagi setelah bercerai dengan ibunya. Awalnya Wati sama sekali tidak menerima tindakkan Ayahnya yang dengan semena-mena memukul Ibu. Tetapi seiring berjalannya waktu, Wati terus merenung hingga pada akhirnya Wati dengan Lapang menerima dan mengakui Ayahnya. Wati terus mengingat perkataan ibunya kala itu;

"Nak, kau jangan pernah berbicara seperti itu, Kamu adalah anak ibu yang dianugerahkan dari Tuhan untuk melengkapi keluarga ini. Ayah, mungkin bersikap seperti itu karena dia tidak bisa menerima ibu seperti wanita yang sempurna."

"Mengapa ayah jahat sama kita, apakah ayah sudah tidak sayang lagi sama kita"?

"Ayah tidak jahat sama kita nak, ayah sayang sama kita." Kata ibu meyakinkanku.

"Lalu mengapa kalo ayah sayang sama kita, ayah harus memilih berpisah. Aku benci sama ayah."

Bagi Wati, ibu adalah seorang mediator terbaik yang pernah ia jumpai. Meski terus disakiti oleh Ayahnya, ia tidak sedikit pun menunjukkan sisi buruk ayahnya. Ibu mencoba menjadi wanita tegar di hadapan anak-anaknya. Bagi ibu, problem keluarga tidak harus membebani anak-anak. Biarlah ibu sendiri yang menanggung bebannya. Inilah prinsip yang dipegang kuat oleh ibu.

Setelah kejadian itu, Wati menjadi anak yang Broken Home dan terus menjalani kehidupan yang sering kali Wati tak bisa berpikir positif. Setiap hari Wati di sekolah menjadi anak pendiam, nilai pelajarannya turun. Semua kehidupan Wati menjadi berantakan. Hingga Wati pernah akan memutuskan untuk pergi jauh dari rumah agar Wati tak mendengar pertengkaran yang membuatnya tak tahan untuk tinggal di rumah sendiri. Dan pada akhirnya Wati menyadari bahwa bagaimanapun tanpa benih, tidak ada pohon yang dapat ada. Demikian Wati mengakui bahwa tapa Bapa, mungkin Wati tidak bisa hadir di dunia ini.

Perasaan desolasi yang menyelimuti Wati, tak sangka ia berjumpa dengan seorang pastor. Kebetulan sosok itu adalah aku sendiri. Kalah itu kami masih melakukan konseling seperti biasa; antara seorang konselor dan konseli yang melakukan konseling. Wati adalah pribadi yang jujur. Ia juga tipe Perempuan yang ingin berubah sehingga ia tidak segan-segan membuka semua permasalahan yang mengekang dirinya. Aku berusaha mendengar dan memberikan masukan yang baik demi perkembangan dirinya. Mulai saat itu, Wati menjadi pribadi yang pering dan memiliki semangat baru untuk melanjutkan pendidikannya. Prestasinya pun kian semester terus meningkat.

Semenjak pertemuan itu, kami sangat akrab. Bahkan ia memanggilku dengan panggilan 'kak'. Aku tidak pernah melarang. Itu adalah hal manusiawi. Identitasku tidak harus disebutkan, kendati terkesan aneh bagi orang lain. Tetapi Wati menyadari itu sehingga ia memanggil manakala berdua atau dalam chatingan di messanger saja.

Seiring berjalannya waktu, tumbuh benih-benih cinta di antara kami. Aku hampir tidak bisa menahan diri terhadap gejolak cinta itu. Aku bahkan menerima saja ungkapan dan isi hati Wati. Mungkin ketertarikannya pada sosok afektif sekaligus karena identitas suci.  Kami yang biasanya sapa menyapa melalui messanger, kini mulai ada pertemuan secara sembunyi-sembunyi. Kebetulan kami sebagai minoritas di daerah itu sehingga tidak ada orang yang tahu. Suatu ketika, bahkan kami berjanji untuk tinggal bersama. Kendati hal khayalan misterius yang tak akan muda dicapai.

Kini Wati telah menempuh pendidikan tinggi di kota tetangga. Kendati kami tinggal berjauhan tetapi kami tidak pernah terlewatkan sehari pun bertukar cerita di dalam chat WhatsApp.

Semakin dalam, semakin cinta, semakin keluar arah, rasanya hidupku diikat. Apalagi kongregasiku yang akan mencapai 100 tahun hadir di Indonesia. Aku bahkan terus terbayang pada sosok yang aku cintai itu setiap waktu. Aku terus mengalami keanehan ketika mewartakan firman. Sepertinya tidak ada kekuatan karena tidak sesuai dengan realitas diriku. Pikiran kotor, jorok dan berdosa terus menghantui diriku. Bagaimana mungkin aku hidup dalam dua dunia? Sebuah pertanyaan yang terus mengelilingi isi kepalaku. Ah rasanya cukup. Aku harus berani menghadap dan mengungkapkan secara langsung.

"Watt, besok aku ke yogya. Di tempat biasa ya." Chatku di WhatsApp

"Really?" Balasnya singkat.

"Iya..., aku mau katakan yang sejujurnya." Jawabku

"Kak, jangan-jangan...?" kendati kepo, aku tidak membalas chatinggannya. Tetapi Wati sudah menyadari sesuatu. Dan mungkin itu sudah pasti. Karena sudah tiga hari kami tidak saling memberi kabar. Dan hari ini aku hanya mengirim pesan dengan satu tujuan untuk memberitahukan pertemuan kami.

Siang itu aku tiba pukul 13.00 di jogya. saat aku memasuki taman tempat kami biasa berjumpa, Wati sudah duduk menunggu kedatanganku.

"Watt..." panggilku.

Wati membalikkan badannya tanpa mengucapkan sepata katapun. Dari raut wajahnya, menunjukkan kesedihan. Matanya memerah. Butir-butir air memenuhi kedua bola matanya. Aku hanya memandang. Beberapa detik setelah aku memperhatikannya, akhirnya aku duduk di sampingnya, kebetulan jenis kursinya bisa ditempati dua orang.

"Ka... aku tidak sanggup. Sungguh! Aku telah mendapatkan sandaran ternyaman yang pernah aku jumpai." Keluhnya.

Aku tidak bisa membalas keluh kesahnya. Aku hanya duduk termenung. Mataku pun tidak mampu menatapnya. Aku bahkan merasakan kesedihan di wajahnya. Mungkinkan itu yang disebut cinta. Ia! Itulah cinta. Bahkan semua orang akan mengalami hal serupa. Kendati tidak semua cinta berujung dengan kepedihan, namun inilah kenyataan dari sebagian cinta yang aku rasakan. Bukan karena aku prihatin. Aku justru mengalami hal yang sama. Aku tak sanggup meninggalkannya.

"Wati... sejujurnya, aku mengalami hal yang sama. Aku bagaikan orang yang berdiri mengangkang. Sebelah kakiku di biara dan sebagian lain di luar sebagai awam pada umumnya. Dan sejatinya, aku tidak mesti mengabdi kepada dua tuan."

"Hiks... hiks...." Suara tangisan terus melengking. Wati seolah tak sanggup menerima kenyataan ini. Kami telah lama merajut kasih. Empat tahun bukan waktu yang muda. Cinta yang semakin lama akan menghasilkan rasa yang susah dilepaskan. Seperti sebuah benih, semakin hari akan terus tumbuh dan berkembang.

"Wati..." Kucoba merangkul bahunya untuk mengurangi tangisannya. Rupanya tidak membuahkan hasil. Wati terus mencucurkan air mata.

"Tapi kenapa kak! Kenapa? Bukankah kita telah berjanji untuk Bersama selamanya?" Ucapnya di sela-sela tangisannya

"Maafkan aku Watt. Aku telah menjadi lelaki egois. Selama ini aku telah menunjukkan cinta dibalik klausura. Seharusnya aku tidak melakukan hal demikian; mengucapkan jani-janji palsu. Dan aku sendiri tidak menyadari bahwa dalam kepalsuannya, cinta itu terus membesar. Aku telah melanggar janji suci di hadapan Tuhan. Cintaku mesti universal, tidak  sekedar persona. Jika demikian, terlalu naif identitasku. Aku merasa inilah waktunya untuk berhenti."

"kak... kamu tega!" katanya sembari melepaskan rangkulanku.

"Mana tasku? Aku tidak sanggup bertahan di sini. Rasanya seluruh badanku akan terbakar."

Aku menarik tas di belakangku dan menyodorkan kepada Wati. Secepat kilat ia mengambil tasnya menuju parkiran motor lalu pergi meninggalkanku sendiri.

Aku berani mengambil Langkah ini. Berhenti bukan kekurangan cinta. Justru sebaliknya. Cintaku semakin hari terus bertambah. Tiga hari lamanya aku merenungkan tentang bagaimana aku harus memilih. Sebuah pilihan yang tidak mudah. Tepatlah pepatah yang mengatakan, berani berbuat, berani bertanggung jawab. Dan kini kubuktikan.

Setelah Wati benar-benar hilang dari pandanganku, barulah aku beranjak dari tempat dudukku. Memang sesuai tujuan kedatanganku. Setelah semua terucap, aku merasa lega. Keterikatan sedikit lebih ringan ketimbang sebelumnya. Akhirnya, tanpa menyibukkan diri dengan kesibukan lagi. Aku memutuskan untuk kembali ke tempat tugas dan menjalani hari-hari seperti biasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun