Wati seorang Perempuan usia 17 tahun, yang sedang kuliah di Sanata Darma jurusan farmasi. Rambutnya sependek bahu. Tingginya 160 cm. Wati tampak sempurna yang memancing mata setiap lelaki yang memandangnya. Sayangnya, Wati selalu menolak ketika beberapa teman kuliahnya mengungkapkan isi hati mereka.
Ia terlahir dari keluarga broken Home. Ayah meninggalkan mereka ketika Wati berusia 18 tahun. Ayahnya menikah lagi setelah bercerai dengan ibunya. Awalnya Wati sama sekali tidak menerima tindakkan Ayahnya yang dengan semena-mena memukul Ibu. Tetapi seiring berjalannya waktu, Wati terus merenung hingga pada akhirnya Wati dengan Lapang menerima dan mengakui Ayahnya. Wati terus mengingat perkataan ibunya kala itu;
"Nak, kau jangan pernah berbicara seperti itu, Kamu adalah anak ibu yang dianugerahkan dari Tuhan untuk melengkapi keluarga ini. Ayah, mungkin bersikap seperti itu karena dia tidak bisa menerima ibu seperti wanita yang sempurna."
"Mengapa ayah jahat sama kita, apakah ayah sudah tidak sayang lagi sama kita"?
"Ayah tidak jahat sama kita nak, ayah sayang sama kita." Kata ibu meyakinkanku.
"Lalu mengapa kalo ayah sayang sama kita, ayah harus memilih berpisah. Aku benci sama ayah."
Bagi Wati, ibu adalah seorang mediator terbaik yang pernah ia jumpai. Meski terus disakiti oleh Ayahnya, ia tidak sedikit pun menunjukkan sisi buruk ayahnya. Ibu mencoba menjadi wanita tegar di hadapan anak-anaknya. Bagi ibu, problem keluarga tidak harus membebani anak-anak. Biarlah ibu sendiri yang menanggung bebannya. Inilah prinsip yang dipegang kuat oleh ibu.
Setelah kejadian itu, Wati menjadi anak yang Broken Home dan terus menjalani kehidupan yang sering kali Wati tak bisa berpikir positif. Setiap hari Wati di sekolah menjadi anak pendiam, nilai pelajarannya turun. Semua kehidupan Wati menjadi berantakan. Hingga Wati pernah akan memutuskan untuk pergi jauh dari rumah agar Wati tak mendengar pertengkaran yang membuatnya tak tahan untuk tinggal di rumah sendiri. Dan pada akhirnya Wati menyadari bahwa bagaimanapun tanpa benih, tidak ada pohon yang dapat ada. Demikian Wati mengakui bahwa tapa Bapa, mungkin Wati tidak bisa hadir di dunia ini.
Perasaan desolasi yang menyelimuti Wati, tak sangka ia berjumpa dengan seorang pastor. Kebetulan sosok itu adalah aku sendiri. Kalah itu kami masih melakukan konseling seperti biasa; antara seorang konselor dan konseli yang melakukan konseling. Wati adalah pribadi yang jujur. Ia juga tipe Perempuan yang ingin berubah sehingga ia tidak segan-segan membuka semua permasalahan yang mengekang dirinya. Aku berusaha mendengar dan memberikan masukan yang baik demi perkembangan dirinya. Mulai saat itu, Wati menjadi pribadi yang pering dan memiliki semangat baru untuk melanjutkan pendidikannya. Prestasinya pun kian semester terus meningkat.
Semenjak pertemuan itu, kami sangat akrab. Bahkan ia memanggilku dengan panggilan 'kak'. Aku tidak pernah melarang. Itu adalah hal manusiawi. Identitasku tidak harus disebutkan, kendati terkesan aneh bagi orang lain. Tetapi Wati menyadari itu sehingga ia memanggil manakala berdua atau dalam chatingan di messanger saja.