Aku sibuk mengobrak-abrik pakaian yang bertumpuk di atas meja pajangan bersama ratusan pengunjung yang memadati mall ini. Superstore ini akan ditutup karena tak kuat bersaing dengan toko online, jadi mereka melakukan diskon gila-gilaan. Kaos yang sudah di diskon 60 persen, akan mendapat diskon 25 persen lagi kalau dibayar dengan beberapa kartu tertentu. Akibatnya bisa ditebak, masyarakat histeris menyerbu mall bak penyamun menyatroni sarang perawan...
Walaupun begitu, konsumen tetap harus jeli dan berhati-hati, sebab tadi aku baru saja menemukan sebuah kaos lengan panjang "jomblo." Ternyata lengan sebelah kiri kaos tersebut kelupaan dibuat penjahit konveksi...
Dari balik ketiak seorang ibu muda yang membalik-balik tumpukan kaos, aku melihat sebuah kaos yang menarik hati. Aku kemudian menariknya. Eh tidak tahunya kaos tersebut ditarik oleh seseorang dari ujung sana. Ketika aku menjulurkan wajahku untuk melihat wajah perampok tersebut, aku kemudian terpana karena wajah itu seperti milik seseorang yang pernah kukenal. "Melati!" teriakku, membuat ibu disampingku kaget.
"Hei Rud!" Setelah celingukan sebentar dia kemudian berkata, "Rudy... kita ngopi di sana yuk" ajaknya padaku.
"Yuk..."
***
Lamunan membawaku ke masa lima belas tahun silam, saat terakhir kalinya aku bertemu dengan Melati. Ia tetangga dan sohibku sejak kecil, dari SD hingga SMA. Setelah kuliah baru lah kami berpisah sekolah. Aku mengambil jurusan Hukum, Melati jurusan Ekonomi. Diam-diam aku sebenarnya mencintai Melati tapi aku tak pernah mengutarakannya. Entah lah apakah Melati mengetahuinya atau tidak. Tapi yang jelas ia menganggapku sebagai sahabat terbaiknya.
Pupus sudah! Ternyata cintaku bertepuk sebelah tangan! Melati kemudian berpacaran dengan Umar Bakri, anak pak Hasan Bakri yang rumahnya juga tak jauh dari rumahku. Sedihnya, wajah Umar ini sangat jauh dari kategori tampan seperti wajah milik Zac Efron, Justin Bieber atau Tom Cruise misalnya. Wajahnya cenderung lebih dekat ke Shah Rukh Khan kala ia berusia 75 tahun...
Tapi apa mau dikata, Melati justru jatuh cinta kepada Umar. Walaupun sakitnya tuh di sini, aku kemudian mendukungnya. Apalah arti sebuah nama, pun seraut wajah. Nanti kalau ada duit, wajah dan bentuk rahang itu pun bisa dioplas (operasi plastik) seperti  nenek Ratna Sarumpaet itu. Namun hati selembut sutera dan suara sejuk ala ustadz kondang itu memang sangat susah dicari duanya...
Tiga bulan pacaran, janur kuning kemudian terpasang di halaman rumah Melati. Ada apa gerangan, apakah Melati halim? eh hamil, kecelakaan? Aku butuh penjelasan dari Melati. Soalnya baru sebulan yang lalu Melati bercerita tentang ciuman pertamanya dengan Umar.
"Apakah itu ciuman pertamu?" selidikku ketika itu.
"Bukan, yang kedua sih." Hatiku berdebar koq aku tidak tahu siapa yang pertama?
"Yang pertama siapa?" kejarku dengan nafas tertahan.
"Yang pertama itu kamu!" katanya sambil tertawa
"Hah, aku? kapan...?" aku gelagapan sambil berpikir keras untuk mengingatnya.
"Aku juga gak gitu ingat sih. Soalnya waktu itu kita masih kecil, lima tahunan kali, yang ngomong itu juga ibu. Katanya kita lagi main bonekaan, tiba-tiba kamu cium aku..."
"Aduh amsiong, kenapa ciumannya gak sekarang aja ya?" kataku sambil menggaruk kepala...
Melati lalu menceritakan kisah ciuman keduanya itu. Ternyata selama Melati dan Umar berpacaran, mereka hanya pernah sekali saja berciuman, itupun tidak lebih dari satu detik! Ketika itu Umar langsung kejang. Tekanan darahnya naik ke angka 180 dan detak jantungnya 120. Kakinya menendang meja, menumpahkan teh manis yang kemudian membasahai karpet, sedangkan tangannya menarik kalender di dinding! Sejak itu mereka tak pernah berciuman lagi...
Lalu kenapa mereka ini harus kawin muda kalau hanya untuk berlatih ciuman saja, tanyaku tak habis pikir. Aku kemudian menemukan jawabannya. Ternyata pak Hasan, ayah Umar baru saja melakukan pemeriksaan kesehatan bersama sohibnya, pak Amir. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa pak Hasan menderita kanker stadium akhir, dan bisa saja tahun depan dia tidak akan bisa menikmati Indomie goreng kesukaannya itu lagi.
Pak Hasan menginginkan mereka menikah secepatnya, siapa tahu dia masih sempat menggendong cucu. Ketika semua pihak setuju, pernikahan tersebut segera dilaksanakan. Setahun berlalu, Pak Hasan justru semakin sehat. Rupanya hasil pemeriksaan kesehatan Pak Hasan tertukar dengan sohibnya, pak Amir tadi. Justru sebenarnya Pak Amir lah yang sekarat, dan dia tidak menyadarinya.
Pada suatu kali, Pak Amir pamit ke luar kota untuk mengikuti rapat dinas. Tetiba terdengar kabar kalau pak Amir meregang nyawa di sebuah hotel jam-jaman ketika sedang asyik masyuk bersama selingkuhannya. Pak Hasan justru semakin sehat dan terlihat muda berkat segala vitamin dan suplemen yang dikonsumsinya selama ini. Tak lama kemudian Pak Hasan kawin lagi. Kini gantian istrinya yang sekarat...
***
"Hello, dari tadi melamun terus.." kata Melati sambil melambaikan tangannya di depan wajahku.
"Gimana cerita malam pertama?" tanyaku serius.
"Cerita apa? wong dia langsung tertidur dengan baju lengkap gitu..." keluh Melati.
"Lho malam pertama koq bajunya lengkap?" tanyaku bingung. Malam pertama pun berlalu dengan pakaian lengkap...
Malam kedua mereka masih ragu dan malu-malu. Efek globalisasi dan gerakan emansipasi wanita, membuat Melati berinisiatif untuk memulai serangan fajar. Kini mereka berciuman dan bergulingan diranjang. Kali ini Umar tidak kejang lagi. Kepala Melati sedikit kejedut oleh tepi ranjang, tetapi dia senang karena Umar kini melakukan serangan balasan! Tak berapa lama, serangan itu mengendur dan berhenti!
"Lho koq berhenti?" tanyaku
"...ternyata baru aku tau kalau dia sudah selesai. Dia lalu mencium keningku, berbalik dan langsung tertidur dengan pakaian utuh! Dia bahkan masih memakai sendal sebelah!" Sambungnya tertawa. Malam kedua pun berlalu dengan sendal sebelah.
Aku terdiam, berharap semoga  di malam ketiga tidak ada lagi cerita pakaian utuh ataupun sendal sebelah. Malam ketiga, Melati tidak sabar lagi. Dia segera menyeret suaminya ke ranjang dan segera bergerilya melakukan serangan kilat yang efisien. Aku mulai semangat mendengar cerita Melati. "Aku tidak mau mendengar cerita pakaian utuh atau sendal sebelah!" teriakku dengan semangat.
"Tidak, tidak ada lagi semuanya itu" sergah Melati.
"trusss.." kataku lebih semangat lagi.
Sejenak Melati terdiam, "aku menyesal tidak mendengar nasihatmu dulu" katanya lirih.Â
"Nasihat yang mana.." kataku terbata-bata dengan rasa iba.
"Itu lhooo..., kamu dulu kan pernah bilang harusnya kami itu pacar-pacaran dulu, cium-ciuman, kawin-kawinan baru kawin beneran. Tapi apa mau dikata, aku cinta dia dan sudah terlanjur menjadi istrinya!"
"Terus bagimana akhirnya? Kalian jadi bertempur di malam ketiga?"
"Ahirnya semuanya oke juga" kata Melati perlahan. Mulutku hampir mengucapkan kata "enak nggak?" tapi cepat-cepat kututup mulutku, takut tidak enak kepadanya. Melati menatap tajam kepadaku seakan mengerti isi pikiranku. Seketika dia berteriak, "Justru itulah pengalamanku yang paling berkesan, nggak bakal lupa seumur hidup, harusnya dari dulu booo. Hahahaha.." dia tertawa kesenangan.
Kini Aku terdiam. Lima belas tahun telah berlalu dan aku masih tetap menjomblo. Kini aku mengharapkan bantuan Melati untuk mencarikan seorang pengantin bagiku. Hitam atau putih, kurus atau gemuk tidak masalah bagiku, selama dia bukan pengantin bom panci. Aku mau juga dong menikmati malam pengantin, pake baju lengkap atau dua sandal juga gak papa...
Aditya Anggara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H