***
Sesampainya di Jakarta, Ahong segera menjumpai ayahnya. Ternyata memang benar alamatnya disitu. Namun sedihnya, sang ayah tidak mau mengakuinya. Ahong malahan diusir. Sejak itu Ahong bersumpah, bahwa ia kelak harus menjadi orang kaya raya. Sebelum mempunyai sebuah rumah di Menteng, ia tidak akan pernah mau menginjakkan kakinya ke Boyolali.
Ahong kemudian memulai perburuan hartanya dengan bekerja keras dari pagi, siang, sore hingga malam. Selain tidur, tidak ada waktu yang terbuang bagi Ahong selain daripada bekerja keras untuk mengumpulkan harta. Tidak ada istilah halal ataupun haram bagi Ahong. Selama bisa menghasilkan duit, apa pun akan dilakukannya! Lima tahun di Jakarta Ahong mendengar kabar kalau ibunya telah meninggal. Ahong sangat sedih tapi dia tidak mau pulang karena "belum jadi orang..."
"Buah jatuh tidak akan pernah jauh dari pohonnya" begitulah kata pepatah klasik warisan nenek moyang. Peruntungan Ahong ternyata sama persis dengan ayahnya. Ahong kemudian menikah dengan janda majikannya yang mati mendadak karena serangan jantung. Ahong seketika menjadi orang kaya raya!
Lima belas imlek telah berlalu dan Ahong sudah memiliki dua buah rumah di kawasan Menteng. Tiga tahun lalu, Ahong menikah lagi di Perth, Australia, untuk kemudian menjadi kaya raya disana. Dua tahun kemudian Ahong menikah lagi di Nice, Perancis, untuk menjadi kaya raya dan memiliki sebuah rumah peristirahatan mewah disana.
Sebelum Ahong menikah lagi di Monte Carlo, Monaco, datang kabar duka. Permana, ayah Ahong meninggal karena terjatuh ketika baru turun dari angkot. Rupanya Permana sudah lama jatuh miskin, dan hidup melarat. Harta Permana ludes dijual istri keenamnya, yang kemudian meninggalkannya begitu saja! Syukurnya Pak RT di tempat kontrakan Permana masih mau berbaik hati mengurus jenazah tersebut.
Ahong kemudian datang melayat untuk mengejek jenazah itu. "Kamu datang dengan ketelanjangan dalam kemiskinan, dan dalam keadaan itu pula kamu pergi. Tapi hal itu tidak akan berlaku bagiku. Kamu memberikan kesedihan yang mendalam dan kemiskinan bagiku, tapi aku tidak akan pernah jatuh miskin seperti kamu" kata Ahong sambil melemparkan satu blok uang kertas pecahan 50 dollar ke atas jenazah tersebut.
Sudah dua puluh imlek berlalu dan Ahong sama sekali belum pernah lagi untuk sekali pun menginjakkan kakinya di bumi Boyolali! Rupanya Ahong sudah lupa akan Ibunya, Purnama dan Boyolali tentunya. "Dimana hartamu berada, disitulah hatimu berada" kata sebuah nasehat bijak.
"Harta yang paling berharga adalah keluarga" kata om Arswendo dalam Keluarga Cemara. Tapi bagi Ahong, hati dan hartanya adalah ambisi menjadi orang kaya dan menjadi orang hebat. Dulu dia terabaikan. Kini Ahong haus akan sanjungan dan pujian dari orang-orang. Tumbuh dalam kemiskinan rupanya telah meninggalkan luka yang sangat dalam baginya. Akhirnya Ahong benci kepada kemiskinan dan orang miskin!
***
Entah bagaimana awalnya, kemudian tumbuh sebuah wacana di masyarakat untuk menjadikan Boyolali menjadi sebuah provinsi baru, mirip seperti Yogyakarta. Lewat proses panjang tak kenal lelah, demo berjamaah berjilid-jilid dan bagi-bagi rezeki di Senayan (dengan dana puluhan miliar dari Ahong) impian itu kemudian terwujud.