Mohon tunggu...
Yudi Yudi
Yudi Yudi Mohon Tunggu... -

Do not worry about your difficulties in Mathematics. I can assure you mine are still greater (Albert Einstein)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Daripada Marah-marah, Mendingan Baca yang Satu Ini

29 Juli 2010   11:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:29 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kompasiner rame-rame pada "marah" gara2 gak bisa terkoneksi untuk mengirim tulisannya di lomba blogging day. Saya agak beruntung, tulisanku sempat tayang di microblogging, tapi nyangkut terus disitu sampe batas waktunya habis. Gak tahu apakah bisa dianggap sudah mengirimkan tulisan atau belum, terserah panitia aja, dan kalaupun dianggap tidak syah, daripada marah2 sama panitia, lebih baik aku kirimkan saja lewat jalur "regular". Ini dia tulisanku yang untuk lomba:

Judulnya:

Apakah Pak SBY Tahu? : "Praktek Sumbangan Pendidikan di Sekolah Negeri "


Isi Tulisan:

Kasihan sekali pak SBY, sudah sedemikian besarnya curahan perhatian beliau kepada sektor pendidikan, dengan meningkatkan anggaran APBN pendidikan menjadi 20%, menaikkan gaji guru, menaikkan tunjangan guru, mengangkat guru honorer, namun rakyat masih menjerit "kok sekolah negeri katanya gratis tapi tetap bayar", kok biaya pendidikan mahal katanya ada dana BOS", dan jeritan-jeritan lainnya yang mungkin tidak terdengar oleh pak SBY.

Dalam tugas kesehariannya, pak SBY sebagai Presiden RI pastilah sangat sibuk sekali. Karenanya, penulis yakin sekali bahwa mekanisme kontrol yang diterapkan oleh pak SBY akan lebih banyak mengandalkan kepada laporan dari para pembantunya.

Para pembantu Presiden pun bisa dipastikan sangat sibuk juga menjalankan tugas-tugasnya, dan sekali lagi penulis pun yakin beliau-beliau ini akan lebih banyak membaca laporan sebagai alat kontrol aktivitas jajarannya masing-masing.

Pertanyaannya, apakah laporan tersebut sudah sedemikian komprehensif menggambarkan detilnya, seluk beluknya, dan kenyataan sebenarnya? Mungkin sebagian besar iya, mungkin juga tidak semuanya.

Apakah pertanyaan diatas ada dasarnya? Tentu saja, penulis sebagai rakyat dapat merasakannya, ada beberapa ketidaknyamanan yang berlangsung di tataran implementasi, namun sesungguhnya tidak demikian bila ditinjau dari tataran aturan dan system kependidikan.

Contohnya apa? Salah satunya adalah seperti yang menjadi sub judul dari tulisan ini,

Judul utama tulisan ini APAKAH PAK SBY TAHU adalah semata-mata merupakan sebuah harapan dari rakyat biasa kepada Presidennya, semoga beliau tahu sedalam-dalamnya mengenai kondisi rakyatnya, demi untuk Indonesia Lebih Baik.

--------

Terkait biaya sumbangan pendidikan, ternyata antara rakyat (orang tua murid), pemerintah, dan pihak sekolah, mereka punya suara masing-masing yang tidak saling mendukung satu sama lain. Berikut ini penulis tampilkan potongan suara-suara tersebut:

Apa kata rakyat mengenai biaya pendidikan di sekolah negeri? Ini diantaranya yang bisa dikutip:

1. Ah kaya kagak tahu aja, sekolah gratis yang didengungkan para caleg kan banyak bohongnya, itu membuktikan bahwa banyak ucap-ucapan pejabat adalah menipu, demi kedudukan. KTP gratis tapi bayar uang administrasi, Tabung gas LPG gratis tapi masih bayar uang lelah dan uang rokok. Apalagi pendidikan gratis, memang masuk sekolah gratis, tapi uang gedung, uang pangkal, uang buku, uang seragam dan uang-uang lain harus bayar. malah jumlahnya cukup mahal. jadi sekarang apanya yang gratis, SPP sekolah gratis tapi ada kursus wajib dari guru dan setiap pelajaran dipungut biaya minimal Rp.50,000. tiga pelajaran Rp.150,000. ?. bikin mumet kepala dah.

Kutipan diatas diambil dari kolom komentar atas sebuah tulisan di website INDOSIAR http://www.indosiar.com/fokus/81232/sekolah-negeri-tetap-berbiaya-mahal

2. "Kenapa peralatan tulis menulis untuk guru mengajar di kelas harus disediakan oleh orangtua / wali murid? Kok bisa-bisanya sang guru mengatakan bahwa sekolah hanya menyediakan satu buah spidol saja, yang tentunya tidak tahan dipakai selama setahun. Bahkan lebih menyedihkan lagi adalah saat sang guru men"demonstrasikan" kekurangan sekolah dalam menyediakan alat penghapus papan tulis, dia menghapus menggunakan topi seragam sekolah dari salah satu murid." Demikian kata mamanya Dava, salah satu orangtua dari murid sekolah dasar negeri.

3. Seorang pensiunan, dalam catatan hariannya di http://www.sumintar.com/mahalnya-biaya-pendidikan-anggaran-20-persen-untuk-apa.html mengatakan seperti ini: Saya bukan pendidik dan juga bukan pegawai negeri, tapi saya sebagai orang awam bertanya? Katanya anggaran pendidikan 20% dari APBN, kalau APBN 1000T = maka nggaran pendidikan 200 T (30 x dana century kekeke). Terus dana sebesar itu dipakai untuk apa yah? Sementara biaya pendidikan semakin mahal saja. Ini hanya curhat saja, sebagai orang tua, saya akan berupaya mencarikan duit / uang untuk biaya pendidikan anak.

4. Penulis sendiri baru pagi ini menerima keluhan dari ibu-ibu orang tua murid, diantaranya dikatakan demikian: "tadi kata ibu-ibu yang lain, saat membayar sumbangan bulanan untuk ekskul dan komputer yang besarnya Rp.15.000,-, petugas sekolah juga meminta agar kolom sumbangan sukarelanya juga harus diisi?" "Loh katanya sukarela, kok diharuskan nyumbang?"

----

Aparat Pemerintah / Aparat Pendidikan sendiri suaranya seperti apa?:

1. Kepala Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan Kota Bekasi, Agus Enaf, saat dikonfirmasi menyatakan, sudah ada surat edaran Walikota Bekasi, Mochtar Mohamad yang melarang adanya pungutan apapun oleh pengelola sekolah negeri. Hanya saja, Agus mengaku tidak hafal nomor surat edaran maupun detail penjelasannya. Aturannya masih sama seperti dulu. Tidak boleh ada pungutan uang gedung. Kalau untuk uang seragam dan buku masih bisa dikelola sekolah. Tapi kalau ada pungutan uang gedung, itu jelas dilarang," tandasnya. (Dikutip dari http://bataviase.co.id/node/289728)

2. Namun, lanjut Mendiknas, sumbangan tidak sama dengan pungutan. "Kalau sekolah melakukan pungutan kepada peserta didik atau orang tua murid, itu dilarang. Tapi, kalau menerima sumbangan dari siapa pun, boleh saja. Saya tidak mengharamkan sekolah menerima sumbangan," katanya.

Menteri yang ahli akuntansi ini menjelaskan, pungutan sudah ditetapkan besarannya dan (sudah ditentukan juga - penulis) saat membayarnya. Kalau sumbangan, tidak ada ketentuan besar kecilnya, dan menyerahkannya pun bisa kapan saja. Karena itu, dia tidak menyalahkan sekolah yang menerima sumbangan. "Kepala sekolah yang tidak melakukan pungutan, adalah taat pada peraturan. Namun, kalau kepala sekolah bisa menghimpun dana dari masyarakat melalui sumbangan sehingga sekolahnya maju, itu adalah arif dan bijaksana," ucap Bambang. (Sumber:http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=10166&Itemid=829)

3. Sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) negeri dilarang melakukan pungutan dan transaksi bisnis apa pun. Kepala sekolah yang terbukti melakukan kedua kegiatan itu bisa dicopot."Untuk sekolah yang berstatus hingga Sekolah Standar Nasional (SSN), tidak boleh melakukan ­pungutan dan jangan ada transaksi bisnis. Misalnya, tidak boleh jual seragam. Ada permendiknas yang melarangnya," tegas Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, di Jakarta, Kamis (8/7). Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/sekolah-negeri-dilarang-minta-pungutan/

-----

Lalu apa yang dikatakan oleh pihak sekolah atas biaya-biaya yang dibebankan kepada orang tua murid? Ini salah satunya:

Salah satu guru SMKN 30, Tri Haryati, membenarkan adanya kenaikan SPP itu. Menurut Tri, kenaikan itu telah dibahas para orangtua murid, dan para guru sama sekali tidak terlibat. "Saya tidak tahu naik menjadi berapa karena saya cuma guru dan tidak ikut rapat," ujarnya beberapa waktu lalu. (dikutip dari http://www.wartakota.co.id/read/news/8188)

Loh kok yang menaikkan SPP justru orang tua murid? Bahkan para guru tidak tahu sama sekali? Apanya yang salah dari kenyataan ini? Orang tua murid mengeluh biaya, tapi ternyata justru para orang tua murid yang menaikkan SPP nya sendiri? Bisakah itu terjadi? Faktanya sudah terjadi, dan ternyata pihak sekolah dimanapun tidak pernah mau melanggar peraturan, dan kalaupun akhirnya ada biaya ini dan itu yang seharusnya tidak diperbolehkan dipungut oleh pihak sekolah, maka bukan pihak sekolah yang menetapkan, tetapi pihak KOMITE SEKOLAH yang menetapkan. Anggota dari KOMITE SEKOLAH antara lain adalah wakil dari para orang tua murid dan pemuka masyarakat, sehingga pihak sekolah bisa mengatakan bahwa yang menetapkan biaya ini dan itu adalah para wakil orang tua murid sendiri. Hebat kan?

Memang menjadi suatu kenyataan, bahwa sumbangan biaya pendidikan yang dibebankan kepada orangtua murid di sekolah negeri saat ini selalu mengatasnamakan KOMITE SEKOLAH. Padahal, komite sekolah tidak beranggotakan seluruh orang tua murid, sehingga suara atau keputusan yang ditetapkan oleh KOMITE SEKOLAH tidak otomatis adalah juga suara dari orangtua murid secara keseluruhan. Ini buktinya:

Orangtua siswa lainnya, Yodi Permana (44) yang sudah dua kali menyekolahkan anaknya di SD Soka juga mengaku merasa terjebak dan menyayangkan sikap komite sekolah yang memaksakan pemungutan biaya pembangunan. Ketika ia menyampaikan keberatannya kepada komite dan sekolah namun ditanggapi dengan kurang memuaskan. "Malah ada kesan, pungutan sumbangan ini atas persetujuan komite dan orangtua, padahal komite saja itu. Karena orangtua banyak yang keberatan," katanya. (sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/117829)

Penulis pun yang saat ini menyekolahkan 3 putra-putri di sekolah negeri, akhirnya dapat menarik suatu benang merah trik dan tak-tik sekolah dalam menarik sumbangan dari orang tua murid, yaitu dengan menggunakan dan mengatasnamakan KOMITE SEKOLAH.

Sebagai buktinya, Kartu Sumbangan Pendidikan dari SD Negeri dimana anak penulis bersekolah, ditandatangani oleh ketua dan bendahara KOMITE SEKOLAH. Begitu pula dengan anak penulis yang bersekolah di SMP Negeri, iuran bulanan di sekolahnya sebesar Rp.500.000,- per bulan, kuitansinya berlabel BUKTI PEMBAYARAN IURAN BULANAN (KOMITE), dan dilengkapi dengan cap stempel KOMITE SEKOLAH.

----

Apa itu KOMITE SEKOLAH?

Komite Sekolah dibentuk berdasarkan KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 044/U/2002 TENTANG DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH

Sesuai lampiran 2 dari KepMen tersebut, pengertian Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peranserta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan etisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah;

Pada romawi II butir 3 lampiran tersebut dikatakan bahwa Badan ini bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan lembaga pemerintahan. Sedangkan tujuan dibentuknya Komite Sekolah ada 3, yaitu:

1. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan;

2. Meningkatkan tanggung jawab dan peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan;

3. Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.

Sesunguhnya pemerintah dalam hal ini melalui KepMen tersebut telah menyediakan aturan yang baik. Pemerintah berharap dengan terbentuknya badan mandiri berupa Komite Sekolah akan dapat tercipta suasana dan kondisi transparan, akuntabel dan demokratis, namun pada kenyataannya beberapa pungutan biaya sekolah yang membebani orang tua murid justru dibuat dan diputuskan oleh Komite Sekolah tanpa tarnsparansi dan terkesan memaksakan. Padahal justru seharusnya Komite Sekolah berperan sebagai pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finasial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.

----

Apakah pungutan sumbangan biaya pendidikan diperbolehkan secara hukum?

Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1980 Tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan, dalam pasal 3 menyatakan bahwa pengumpulan sumbangan oleh organisasi diperbolehkan asalkan berdasarkan sukarela tanpa paksaan baik langsung maupun tidak langsung. Sedangkan tujuan pengumpulan sumbangan salah satunya adalah untuk menunjang kegiatan dalam bidang pendidikan (pasal 4 butir b).

Namun demikian, organisasi yang akan menyelenggarakan pengumpulan sumbangan harus mengajukan permohonan izin terlebih dahulu kepada Menteri atau Gubernur atau Walikota / Bupati, kecuali (pasal 22):

a. Untuk melaksanakan kewajiban hukum agama

b. Untuk amal peribadatan yang dilakukan khusu di tempat-tempat ibadat

c. Untuk menjalankan hukum adat atau adat kebiasaan

d. Dalam lingkungan suatu organisasi terhadap anggota-anggotanya.

Melalui PP 29/1980 tersebut jelas bahwa Komite Sekolah tidak perlu mendapatkan izin untuk pengumpulan sumbangan dalam lingkungan organisasinya sendiri, yaitu terhadap anggota-anggotanya. Pertanyaannya adalah siapakah yang menjadi anggota dari Komite Sekolah?

Dalam butir romawi V lampiran 2 KepMen 44/2002 dinyatakan bahwa anggota komite sekolah terdiri dari unsur masyarakat (dapat berasal dari orang tua / wali peserta didik, tokoh masyarkat, dunia usaha / industri dst) dan unsur dewan guru. Artinya bahwa tidak semua orang tua / wali murid adalah anggota komite sekolah, dan hal ini tegas pula dinyatakan dalam romawi VI.2.a.2.c bahwa panitia pembentukan Komite Sekolah bertugas menyeleksi calon anggota berdasarkan usulan dari masyarakat.

Jadi jika Komite Sekolah mengumpulkan sumbangan dari para orang tua / wali murid yang nota bene hampir sekitar 90% adalah bukan anggota Komite Sekolah, maka seharusnya Komite Sekolah mengajukan izin terlebih dahulu kepada Walikota / Bupati. Apakah saat ini izinnya ada atau tidak perlu kita pertanyakan bersama. Namun, seandainya memang sudah mendapatkan izin, maka ada satu hal lagi yaitu mengenai pajak hasil pengumpulan sumbangan, apakah Komite Sekolah membayar pajak atau tidak? Kecuali bila sudah mendapatkan pembebasan pajak yang diberikan oleh Menteri Keuangan (pasal 6 KepMen 44/2002).

Kesimpulan:

Pemerintah sudah berusaha untuk membuat aturan yang baik, namun peraturan tersebut tidak banyak diketahui oleh masyarakat, dan ditambah lagi implementasinya kadang menjadi berbeda, sehingga akhirnya masyarakat mencap bahwa pemerintah hanya berbohong saja, hanya janji manis saja.

Orang tua / Wali murid bukanlah anggota dari Komite Sekolah, sehingga bila Komite Sekolah ingin menarik sumbangan dari orang tua / wali murid, maka Komite Sekolah harus mengajukan izin terlebih dahulu kepada Walikota / Bupati.

Pemasukan Negara melalui pajak atas hasil sumbangan orangtua / wali murid kepada Komite Sekolah perlu dicermati bersama.

Kepala sekolah yang tidak melakukan pungutan, adalah taat pada peraturan. Namun, kalau kepala sekolah bisa menghimpun dana dari masyarakat melalui sumbangan sehingga sekolahnya maju, itu adalah arif dan bijaksana

Semoga tulisan ini dapat "terdengar" oleh pak SBY, atau barangkali ada pembaca yang memiliki "jalur" khusus untuk dapat berkomunikasi dengan pak SBY, mohon bantuannya agar dapat menyampaikan tulisan ini kepada beliau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun