Menteri yang ahli akuntansi ini menjelaskan, pungutan sudah ditetapkan besarannya dan (sudah ditentukan juga - penulis) saat membayarnya. Kalau sumbangan, tidak ada ketentuan besar kecilnya, dan menyerahkannya pun bisa kapan saja. Karena itu, dia tidak menyalahkan sekolah yang menerima sumbangan. "Kepala sekolah yang tidak melakukan pungutan, adalah taat pada peraturan. Namun, kalau kepala sekolah bisa menghimpun dana dari masyarakat melalui sumbangan sehingga sekolahnya maju, itu adalah arif dan bijaksana," ucap Bambang. (Sumber:http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=10166&Itemid=829)
3. Sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) negeri dilarang melakukan pungutan dan transaksi bisnis apa pun. Kepala sekolah yang terbukti melakukan kedua kegiatan itu bisa dicopot."Untuk sekolah yang berstatus hingga Sekolah Standar Nasional (SSN), tidak boleh melakukan Âpungutan dan jangan ada transaksi bisnis. Misalnya, tidak boleh jual seragam. Ada permendiknas yang melarangnya," tegas Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, di Jakarta, Kamis (8/7). Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/sekolah-negeri-dilarang-minta-pungutan/
-----
Lalu apa yang dikatakan oleh pihak sekolah atas biaya-biaya yang dibebankan kepada orang tua murid? Ini salah satunya:
Salah satu guru SMKN 30, Tri Haryati, membenarkan adanya kenaikan SPP itu. Menurut Tri, kenaikan itu telah dibahas para orangtua murid, dan para guru sama sekali tidak terlibat. "Saya tidak tahu naik menjadi berapa karena saya cuma guru dan tidak ikut rapat," ujarnya beberapa waktu lalu. (dikutip dari http://www.wartakota.co.id/read/news/8188)
Loh kok yang menaikkan SPP justru orang tua murid? Bahkan para guru tidak tahu sama sekali? Apanya yang salah dari kenyataan ini? Orang tua murid mengeluh biaya, tapi ternyata justru para orang tua murid yang menaikkan SPP nya sendiri? Bisakah itu terjadi? Faktanya sudah terjadi, dan ternyata pihak sekolah dimanapun tidak pernah mau melanggar peraturan, dan kalaupun akhirnya ada biaya ini dan itu yang seharusnya tidak diperbolehkan dipungut oleh pihak sekolah, maka bukan pihak sekolah yang menetapkan, tetapi pihak KOMITE SEKOLAH yang menetapkan. Anggota dari KOMITE SEKOLAH antara lain adalah wakil dari para orang tua murid dan pemuka masyarakat, sehingga pihak sekolah bisa mengatakan bahwa yang menetapkan biaya ini dan itu adalah para wakil orang tua murid sendiri. Hebat kan?
Memang menjadi suatu kenyataan, bahwa sumbangan biaya pendidikan yang dibebankan kepada orangtua murid di sekolah negeri saat ini selalu mengatasnamakan KOMITE SEKOLAH. Padahal, komite sekolah tidak beranggotakan seluruh orang tua murid, sehingga suara atau keputusan yang ditetapkan oleh KOMITE SEKOLAH tidak otomatis adalah juga suara dari orangtua murid secara keseluruhan. Ini buktinya:
Orangtua siswa lainnya, Yodi Permana (44) yang sudah dua kali menyekolahkan anaknya di SD Soka juga mengaku merasa terjebak dan menyayangkan sikap komite sekolah yang memaksakan pemungutan biaya pembangunan. Ketika ia menyampaikan keberatannya kepada komite dan sekolah namun ditanggapi dengan kurang memuaskan. "Malah ada kesan, pungutan sumbangan ini atas persetujuan komite dan orangtua, padahal komite saja itu. Karena orangtua banyak yang keberatan," katanya. (sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/117829)
Penulis pun yang saat ini menyekolahkan 3 putra-putri di sekolah negeri, akhirnya dapat menarik suatu benang merah trik dan tak-tik sekolah dalam menarik sumbangan dari orang tua murid, yaitu dengan menggunakan dan mengatasnamakan KOMITE SEKOLAH.
Sebagai buktinya, Kartu Sumbangan Pendidikan dari SD Negeri dimana anak penulis bersekolah, ditandatangani oleh ketua dan bendahara KOMITE SEKOLAH. Begitu pula dengan anak penulis yang bersekolah di SMP Negeri, iuran bulanan di sekolahnya sebesar Rp.500.000,- per bulan, kuitansinya berlabel BUKTI PEMBAYARAN IURAN BULANAN (KOMITE), dan dilengkapi dengan cap stempel KOMITE SEKOLAH.
----
Apa itu KOMITE SEKOLAH?