"Aku merasa tidak enak badan, Ma. Jadi ijin cuti dulu," bohongnya tanpa menatap wajah mamanya untuk menyembunyikan kebenaran.Â
Seorang pemuda tampan terbaring tak berdsya di ranjang pasien. Beberapa selang terhubung ke tubuhnya.Â
Magnolia menatap pemuda itu, sementara  mamanya terus menatapku. Jadi kuhampiri dia dan menjabat tangannya. "Saya Ervan, teman Lia."
Magnolia menolehku saat kukatakan itu, mamanya hanya tersenyum padaku. Lalu wanita itu melepaskan surat kabarnya, memungut tongkat itu dan menggunakannya sebagai penyangga saat dirinya berjalan. Rupanya wanita itu pincang!
Dia menghampiri Magnolia dan berbisik. "Lia, bagaimana? Kau sudah meminjam uang dari menejermu?"
Magnolia terdiam. Dia melirikku sejenak.Â
"Ma," desisnya,
"Apa Pak Edy tidak mau meminjamkannya?" terka mamanya, "lalu bagaimana dengan Orion? Kau dengar sendiri dokter bilang apa, kan? Keadaan Rion semakin menurun, dia membutuhkan perawatan yang lebih intensif dan untuk itu kita harus membayar dua kali lipat atau Rion ...." mamanya tidak melanjutkan kalinatnya. Tapi justru terisak pilu.
"Ma, tidak akan terjadi sesuatu pada Rion. Kita akan melakukan yang terbaik, aku tidak akan membiarkan perawatan Rion terhenti. Mama jangan khawatir, aku sudah mendapatkan uangnya, tapi ... hanya separuh," jelas Magnolia. Wajah mamanya sudah mulai panik. Tapi Magnolia segera menanggapi, "aku akan berbicara pada pihak administrasi besok, semoga saja mereka bisa memberi keringanan,"
Dan mamanya kian terisak. Hal itu justru menbuat Magnolia yang menjadi panik.
"Mama jangan menangis, kita tidak akan kehilangan Rion," serunya menenangkan.