Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Novelet] Magnolia

6 Maret 2018   23:53 Diperbarui: 9 Maret 2018   23:07 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Part 3

Sebelumnya, Part 2

Hampir setiap hari Magnolia pergi ke rumah sakit, menjenguk adiknya yang dirawat di sana. Terkadang, sepulang dari caffe dia langsung ke rumah sakit dan tidak keluar lagi. 

Selebihnya pulang ke rumah dan kembali lagi ke caffe jika jam manggungnya dimulai. Itu adalah rutinitas yang dijalaninya setiap hari. Hampir tak ada yang istimewa yang dia lakukan. Selalu sama!

Sementara Nikho! Ya, dia sangat sibuk dengan profesinya. Berurusan dengan beberapa mafia bisnis, bandit, bahkan beberapa pihak berwajib yang melenceng. Juga sedikit bisnis yang harus kami tangani. Itu rutinitas kami, dan untukku ... ada pekerjaan baru. Yaitu, mengawasi wanita yang mulai mencuri perhatian Nikho. 

Sedikit melelahkan, tapi aku juga menyukai rutinitas baruku. Seakan kembali ke masa lalu, di mana aku mulai sibuk mengurusi seseorang diluar dunia kami. Hal itu sedikit membuatku merasa benar-benar menjadi manusia. Bedanya kali ini, ini kulakukan bukan untuk diriku sendiri. 

Dan setiap malam, aku menemani Nikho menatap wanita itu di meja paling depan. Juga beberapa kali kami menemuinya, tapi selalu berakhir berantakan. Wanita itu membentengi dirinya cukup baik, dan Nikho terlalu mudah meledak jika keinginannya tak bisa tersalurkan. Atau ada sedikit saja kata yang menyinggung perasaannya. Membuat pertemuan dua orang itu selalu berakhir buruk. Hingga akhirnya Nikho memutuskan untuk hanya menonton seraya mencari ide yang tepat dan juga waktu yang tepat. 

Sayangnya pertemuan terakhir juga tidak menyenangkan!

* * * 

"Bagaimana, apa ada yang lain tentang dia?" tanya Nikho ketika kumasuki kamarnya. Dia tengah duduk di sofa menikmati cairan coklat di dalam gelas di genggamannya seraya menonton berita yang membosankan.

"Masih seperti biasa," jawabku datar seraya ikut duduk tak jauh darinya.

"Van, aku ingin kauatur semua rencanamu itu. Besok malam!" pintanya.

"Besok? Kau yakin?" tanyaku sedikit ragu.

"Tentu saja, itu ide yang bagus. Bukankah kaubilang itu biasanya berhasil?"

"Bukan itu maksudku, Nik. Tapi ... bagian pekerjaannya, dia tidak akan senang."

"Aku punya alasan, dan itu yang terbaik!" tegasnya yakin.

Aku hanya bisa menyanggupi. Dan kuharap ini akan berjalan mulus.

* * *

Magnolia menatap Pak Edy dengan sorot tak percaya dan juga memelas.

"Tapi apa salah saya, Pak?"

"Kau tidak melakukan kesalahan apa pun, hanya saja ... kau tidak bisa lagi bekerja di sini," jelas Pak Edy dengan nada yang tidsk yakin. 

"Tapi saya membutuhkan pekerjaan ini, Pak. Kalau Anda memecat saya, bagaimana nasib Ibu dan adik saya?" serunya memohon sebuah kemurahan hati dari atasannya.

"Dengar, Lia. Tolong jangan mempersulit saya! Dan tentang keluargamu, itu bukan urusan saya!" tegas Pak Edy.

Magnolia mulai meneteskan airmata. "Saya mohon, Pak. Saya masih ingin menyanyi di caffe ini!"

"Cukup, Lia." potong Pak Edy dengan suara sedikit lantang. "Jangan keluarkan airmatamu di sini, ambil saja honormu dan tinggalkan tempat ini. Jangan membuat saya dalam masalah, kau mengerti!" 

Magnolia terbungkam, dia tak tahu kenapa tiba-tiba Pak Edy memecatnya? Tapi dia juga tak bisa memaksa, matanya lalu jatuh ke amplop putih di atas meja. Perlahan fia memungut amplop itu.

"Maafkan saya, Pak. Terima kasih karena Anda sudah sangat baik kepada saya selama ini!" katanya lalu meninggalkan temnat itu.

Langkahnya lunglai, dia tak tahu harus mencari pekerjaan di mana lagi? Tidak mudah mendapatkan pekerjaan dengan honor yang bagus di kota besar seperti ini! Apalagi dalam waktu singkat. 

"Magnolia," 

Sebuah suara yang tak asing menghentikan langkahnya. Seseorang muncul menghampirinya, dia sedikit terkejut.

"Kau lagi?" desisnya,

"Bisakah kita bicara?"

"Aku sedang tidak ingin berdebat."

"Aku tidak ingin mengajakmu berdebat, aku hanya ingin mengajakmu ke suatu tempat!" sahutnya dengan nada yang lembut. 

Magnolia kini menatapnya dengan heran. Pria itu yang selalu berbicara angkuh dan sok berkuass tiba-tiba berbicara dengan lembut!

"Apa yang kau rencanakan?" curiganya.

"Hanya sebuah makan malam,"

"Aku tidak lapar."

"Bisakah kita bicara di tempat yang lebih nyaman, kenapa kau tidak mau memberiku kesempatan?"

"Karena kau memiliki niat buruk, apakah aku harus memberimu kesempatan untuk bisa menghancurkanku?" jawabnya,

"Kau berfikir terlalu jauh, Nona. Jika aku ingin menyakitimu, bisa kulakukan kapan saja. Bahkan di tempat seperti ini, tak perlu mengajakmu berbicara atau meminta ijin," sahut Nikho masih dengan nads tenang.

Magnolia terlihat memutar matanya untuk menimbang haruskan dirinya mempercayai ucapan pria itu atau tidak.

"Ini hanya makan malam, setelah itu aku akan mengantarmu pulang," janjinya.

Ada kediaman selama beberapa detik.

"Hanya makan malam?" tanyanya untuk meyakinkan.

Nikho mengangguk lalu melirik ke arah mobilnya. Tak ada siapa pun, "Jangan khawatir, aku bahkan tidak membawa anak buahku. Karena aku tidak ingin kau merasa tidak nyaman."

Perlahan Magnolia pun melangkah ke arah mobil Nikho. Nikho mengikutinya lalu membukakan pintu untuknya. Dia sengaja menyetir sendiri untuk malam ini. Selama perjalanan, tak ada suara yang terdengar dari keduanya. Magnolia tak berniat bertanya apa pun, sementara Nikho tidak tahu harus mengobrolkan apa!

Mereka memasuki sebuah restoran yang suasananya romantis, lampu-lampu bersinar redup. Bunga-bunga menghiasi setiap sudut ruangan juga di atas semua meja. Jantung Magnolia mulai berdegup tak karuan, membuatnya sedikit gugup.

Nikho menuntun lengannya saat menghampiri sebuah meja yang telah dipenuhi hidangan dan minuman. Juga beberapa lilin yang menambah kesan kian romantis. Mereka duduk berhadapan.

Ada dua pelayan yang siaga tak jauh dari meja mereka. Dua pelayan di pintu masuk, juga dua di dekat meja kasir. Semuanya pria.

"Kenapa, tidak ada pengunjung lain?" tanya Magnolia sedikit khawatir.

"Karena malam ini khusus ... untuk kita."

Jawaban Nikho menciptakan rona di pipi Magnolia, tapi wanita itu mencoba menutupinya dengan sedikit menunduk.

Nikho memungut gelasnya dan menyesapnya sejenak, matanya tak meninggalkan wajah wanita itu.

"Mungkin kau lapar," desisnya membuat Magnolia mengangkat wajah untuk menatapnya. Nikho menggerakan dagunya ke arah piring di hadapan Magnolia. 

Wanita itu mulai memungut sendoknya, meski dengan perasaan tidak menentu tapi dia mencoba menikmati makan malamnya. Dan selama beberapa menit mereka hanya menikmati hidangan masing-masing tanpa suara. 

Nikho merasa ragu untuk berbicara padahal dia sudah berlatih. Entah kenapa, rasanya semua ucapan yang sudah dipersiapkannya hilang. Menguar entah ke mana!

Makan malam itu benar-benar menjadi kaku dan janggal. 

Tapi akhirnya dia bersuara juga.

"Apa kau masih memikirkan tentang pekerjaanmu?"

Pertanyaan itu membuat Magnolia terpaku, meletakkan sendoknya perlahan seraya menatap Nikho. Dan tatapan itu membuat Nikho menyadari sesuatu.

Bodoh kau, Nik. Kenapa kau harus menyinggung  tentang hal itu? Bukankah Ervan sudah mengajarimu untuk membuat wanita itu bersimpatik padamu?

Bersambung ....

Berikutnya, Part 4

Baca juga, Part 1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun