Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Novelet] Magnolia

4 Maret 2018   00:56 Diperbarui: 4 Maret 2018   01:27 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mata Nikho masih terfokus pada sosok di atas stage, menikmati setiap nada yang melantun indah. Tapi terlihat jelas, bukan lagu yang dinyanyikan oleh wanita itu yang menghipnotisnya. Melainkan, sang pelantun lagu. Matanya bahkan tidak berkedip menyaksikan keindahan makhluk di depannya! Dan ini, yang pertama kalinya terjadi.

Selama ini Nikho tak pernah peduli terhadap wanita, jika dia membutuhkan mereka untuk sekedar hiburan atau penghangat malam, dia bisa mendapatkannya dengan mudah. 

"Nik, kau sungguh jatuh cinta padanya?" tanyaku menatapnya tajam.

Tanpa menoleh dia menjawab. "Jatuh cinta, kau jangan gila. Aku hanya penasaran saja, dia terlalu jual mahal!" sahutnya tegas.

"Terkadang jual mahal itu perlu, apalagi di kota besar seperti ini."

Nikho melirikku sejenak. "Dia tidak akan bertahan lama."

"Kau tidak akan gegabah kan? Wanita itu berbeda itu dari yang lainnya!" aku tahu seperti apa Nikho. Dia tidak suka dengan penolakan, tapi sejauh ini dia sudah menerima penolakan berulang kali dari wanita itu. Yang aku mulai tidak mengerti, Nikho tetap berusaha mendekatinya. Dsn satu hal yang aku takutkan, dia hanya akan membalas rasa sakit dari penolakan itu dengan cara yang kejam.

"Kau pikir apa?" dia kini mengalihkan pandangan ke arahku. "Jangan berpikir terlalu jauh, aku hanya ingin membuat dia tahu, tidak ada yang bisa menolakku."

"Aku hanya ...."

"Apa kau menyukainya?" potong Nikho menajamkan sorot matanya.

Aku melirik wanita itu yang masih melantunkan sebuah lagu, lalu kembali kubalas tatapan Nikho. "Kau tahu di mana hatiku berada."

Sebuah senyum getir terlukis di wajahnya. "Ya, tentu saja. Dan itu yang harus kau rubah, hidup terus berjalan, Van."

Kutundukkan kepalaku sejenak lalu aku pun bangkit dari duduk. "Aku akan menunggu di luar," seruku seraya melangkah.

Aku tidak tahu apa yang Nikho lakukan selanjutnya, sudah beberapa hari ini dia selalu datang ke caffe sialan ini. Duduk di meja yang sama, memesan minuman yang sama dan memandangi wanita yang sama. Sudah beberapa hari ini, sejak malam yang seolah meruntuhkan harga dirinya dia hanya melakukan itu. Padahal hari-hari sebelumnya dia cukup agresif mendatangi wanita itu. 

* * * 

Wanita itu meninggalkan panggung setelah menyelesaikan beberapa lagu. Dia segera berganti pakaian dan meninggalkan caffe untuk pulang. Seperti biasa dia akan keluar melalui pintu samping, baru beberapa langkah melewati pintu, dia berhenti seketika. Menatap sosok yang belakangan cukup mengganggunya.

"Kau lagi, apa yang kau inginkan?"

Nikho menyunggingkan senyum tipis, "Hanya sedikit waktu denganmu."

"Aku tidak punya waktu untuk mengurusi pengganggu sepertimu, jadi berhenti menggagguku!" pintanya. 

Nikho melangkah ke arahnya, dan wanita itu mundur, membuat Nikho harus memutus langkahnya. "Aku tidak akan menyakitimu, kau tidak perlu takut."

"Tidak perlu takut," desisnya, "aku yakin hampir setiap wanita yang kau ganggu akan takut padamu."

"Aku tidak pernah mengganggu mereka, kami hanya memiliki sedikit kesenangan."

"Di sanalah bedanya, jika hanya itu yang kau inginkan. Maaf, aku tidak bisa memberikannya. Dan bisakah kau minggir, aku terburu-buru." pintanya.

"Magnolia, bisakah ... kau berhenti bersikap sinis terhadapku. Atau, kau masih tersinggung dengan sikapku waktu itu?"

"Kau sadar itu."

Ada kediaman sejenak di antara mereka, suara angin malam terdengar sayu. 

"Apa yang bisa membuatmu melupakan itu?" tanya Nikho. "Aku hanya ingin bisa memiliki waktu lebih baik agar kita bisa bicara, setidaknya bukan di pinggir jalan seperti ini."

"Aku hanya ingin kau berhenti menggangguku."

"Itu bukan jawaban yang aku inginkan," ada nada kecewa dalam suara Nikho.

Magnolia menghela nafas lalu melangkah agak ke samping untuk menghindarinya. Tapi tangan Nikho dengan cepat meraih lengannya.

"Kita belum selesai bicara," geramnya.

Magnolia menoleh dengan kesal. "Lepaskan aku, atau aku akan berteriak!" ancamnya.

"Terikalah, kta lihat apa yang akan terjadi!" tantang Nikho. Mata Magnolia melebar dengan sahutan pria itu. 

"Dengar, Tuan. Kutegaskan sekali lagi, aku tidak menjual diriku. Jadi simpan saja uangmu karena tidak semua wanita bisa kau beli," seru Magnolia sersya melepaskan cengkraman Nikho dengan kasar lalu melangkah pergi. Sebuah taksi yang kebetukan lewat segera dicegatnya.

Nikho termenung di tempatnya berdiri. Rahangnya mengeras, perlahan jemarinya mengepal, meremas angin di dalamnya hingga tak ada ruang tersisa. 

Baru kali ini ada wanita yang menolaknya mentah-mentah, dia pikir dia siapa? Dia hanya penyanyi caffe, yang tak jauh berbeda dari yang lainnya. Murahan! 

Tapi bukan Nikholay Ivanovich jika tak bisa mendapatkannya.

* * *

Kulihat Nikho menghampiri mobil seorang diri, aku yang bersandar kap mobil segera menegakkan badan ketika dia sampai padaku. Ekspresinya datar, tapi aku melihat ada kekecewaan di matanya.

"Kau bicara padanya?" tanyaku.

"Apa dia pikir dirinya itu dewi?" celetuknya dengan nada sinis, "jika itu yang dia mau, aku akan meruntuhkan pertahannyanya. Kita lihat sampai di mana dia bisa bertahan!" geramnya.

"Nik, kau terlalu terfokus padanya. Kita masih memiliki banyak urusan lain. Lagipula, dia itu wanita. Jangan kau samakan seperti saat menghadapi musuh!"

Nikho menatapku. "Aku sudah tidak tahan lagi!" serunya memasuki mobil. Kuikuti, duduk di sampingnya.

"Tidak, Nikho. Tidak sekarang," cegahku. 

"Van,"

"Sebaiknya kita pulang, ada sesuatu yang inginkan kutunjukkan padamu di rumah." bujukku.

Nikho menatapku dengan kilatan pertanyaan, tapi aku hanya menjawabnya dengan membuang muka ke depan. 

"Aku akan mengajarimu caranya, tapi kita pulang dulu!" pintaku. 

Nikho masih diam menatapku untuk beberapa saat, lalu perlahan dia mukai rilex. Aku tahu Magnolia memang berbeda, dia bahkan bisa membuat Nikho seperti ini. Dan aku masih ingat betul saat pertama kali kami bertemu dengannya malam itu ....

Bersambung ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun