Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fiksi Horor dan Misteri] Menikmati Maut

29 September 2016   14:46 Diperbarui: 29 September 2016   14:56 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Kuseka bulir bening yang menggenang dipipiku, kembali meraba batu nisan berukirkan nama Ibu. Aku masih tak percaya tubuh Ibu sudah terpendam 2 meter di bawah gundukan tanah merah bertabur bunga, rasanya aku masih bisa merasakan pelukan Ibu kemarin sore. Aku juga masih bisa merasakan suara Ibu yang lembut. Bagaimana bisa Ibu pergi begitu saja?

Ibu tidak memiliki penyakit kronis yang fatal, hanya terkadang nyeri karena rematiknya saja yang mengganggunya. Tapi semalam, kata dokter Ibu meninggal karena serangan jantung mendadak. Mana mungkin jantung Ibu berhenti berdetak begitu saja jika tidak ada sesuatu yang membuatnya colapse?

Memasuki rumah, aku hanya terpatung memandangi single sofa kesayangan ibu. Ibu sangat suka berlama-lama duduk di sofa berbalut leather berwarna cresnut itu, entah membaca majalah, surat kabar, merajut, atau hanya menonton tv. Seolah bayangan Ibu masih ada disana. Ia mengangkat wajahnya dan menatapku nanar, aku membeku mengartikan sorot matanya. Seperti ada sesuatu yang hendak diberitahukannya. Entah!

Seminggu berlalu, dan setiap hari aku seolah melihat bayangan ibu di sofa itu. Masih dengan tatapan yang sama, tak ada setitikpun senyum yang kurindukan. Aku mulai merasakan sebuah kejanggalan, kepergian itu memang sangat mendadak, seperti tidak seharusnya!

Aku berfikir untuk menelpon dokter yang kala itu memeriksa ibu saat demam.

"Halo, bisa bicara dengan Dokter Hardi?"

.....

"Saya Diana, putri Ibu Diva!"

.....

"Bisakah kita bertemu, Dok? Ada suatu hal penting yang ingin saya bicarakan!"

.....

"Ok, saya akan kesana!"

Karena cukup sibuk maka aku harus ke tempat prakteknya untuk bisa bertemu, tentu saja aku tak bisa memanggilnya ke rumah karena aku tak sedang sakit. Aku langsung berganti pakaian dan berhambur keluar, aku berharap aku bisa menemukan apa sebenarnya yang membuat jantung Ibu berhenti dengan seketika! Dokter Hardi adalah dokter yang memeriksa Ibu malam itu. Kata bibi, Ibu sudah menjadi langganan Dokter Hardi beberapa bulan terakhir jika merasa tak enak badan.

Aku harus duduk di ruang tunggu karena Dokter Hardi masih ada dua pasien yang mengantri, meski membuat pantatku panas menunggu aku tetap bersabar.

Dan akhirnya aku bisa duduk berhadapan dengannya, pria 57 tahun yang rambutnya sudah memutih sebagian. Kami bertatapan cukup lama sehingga dia mengawali pembicaraan,

"Apa yang membuat anda datang kemari nona Diana?"

"Saya ingin bertanya, sebenarnya apa yang menyebabkan Ibu saya meninggal begitu saja?"

"Bukankah saya sudah menjelaskannya, Ibu Diva meninggal karena serangan jantung!"

"Tapi Ibu tidak memiliki riwayat serangan jantung, Dok!"

"Mungkin selama ini Ibu Diva tidak ingin memberitahu anda, tapi selama beberapa bulan terakhir beliau sering merasakan hal itu!" lalu Dokter Hardi berjalan ke rak, memungut sebuah file dan menyodorkannya padaku, "ini adalah dokumen laporan kesehatan beliau!"

Kuterima file itu dan memeriksanya. Memang, setahun terakhir aku mulai sibuk dengan pekerjaanku sampai jarang berada dirumah. Apalagi jika ada urusan keluar kota atau keluar negeri. Tapi entah mengapa aku merasa seolah dokumen ini tidak benar, dan semua yang Dokter Hqrdi katakan. Jadi setelah itu aku sengaja bersembunyi di dalam mobil di bawah pohon di dekat klinik Dokter Hardi. Menunggunya kekuar dari klinik dna pulang ke rumahnya. Setelah Dokte Hardi pergi akupun berjalan ke kliniknya lewat belakang.

Aku sudah menyiapkan dua buah kawat untuk membuka pintu belakang yang terkunci, segera aku menghampiri rak dimana Dokter Hardi mengambil file tentang Ibuku. Kutemukan beberapa file lain disana, kuperiksa satu persatu. Aku cukup tercengang karena ternyata rak itu berisi file-file dari semua pasien langganannya yang sudah meninggal. Kupelajari semuanya. Dan semua pasien itu meninggal dengan kasus yang sama, serangan jantung mendadak. Bagaimana bisa, padahal riwayat sakit mereka berbeda-beda. Aku yakin ada yang tidak beres! Lalu kucatat beberapa nama. Segera kutinggalkan tempat itu.

Keesokan harinya aku mendatangi salah satu dari nama yang aku catat beserta alamatnya, aku mendapat pengakuan kalau Ibu Folensia memang menjadi pasien Dokter Hardi dan juga meninggal karena serangan jantung. Awalnya mereka juga tak percaya, tapi setelah melihat file riwayat kesehatan yang ditunjukan oleh Dokter Hardi mereka percaya. Ibu Folensia menjadi pasien Dokter Hardi selama lebih dari setahun, bahkan mereka sudah cukup dekat seperi teman. Sampai-sampai sebagian harta dari Ibu Florensia diwariskan kepada Dokter Hardi. Menurutku itu aneh, meskipun terlalu dekat, tapi tetap saja mereka tak memiliki hubungan asmara atau keluarga. Jadi itu sungguh janggal. Akupun mendatangi nama lainnya. Dari semua keterangan yang kudapat, sungguh membuat aku mulai curiga dengan Dokter Hardi.

Tapi apakah mungkin, bukankah dia seorang dokter? Dari penelusuran yang kulakukan Dokter Hardi termasuk salah satu orang terpintar di negara ini dengan AQ melebihi rata-rata. Selalu lulus dengan nilai terbaik, memang dia sedikit sombong dan membatasi pergaulan.

* * *

"Kau bisa membantuku kan?"

"Kau tidak memiliki bukti yang kuat, kami tidak bisa melakukan pemeriksaan tanpa ada bukti kuat yang mendasarinya!" sahut Nando, dia seorang polisi, dia temanku.

"Tapi aku yakin dia sudah memalsukan file riwayat sakit Ibuku dan beberapa pasiennya. Aku mohon Nando, aku yakin dia melakukan sesuatu pada Ibuku, seharusnya Ibuku masih hidup!"

"Diana,"

"Aku tidak gila, aku tidak mengada-ngada. Aku yakin ada yang salah dengan Dokter Hardi!" aku mulai emosi, karena Nando selalu berkata aku belum bisa menerima kematian Ibu,

"Ok Diana, tenangkan dirimu. Aku akan mencoba mencaritahu lebih lanjut,"

"Sungguh?"

Nando memgangguk. Aku sedikit lega akhirnya. Tapi ini adalah pembicaraan pribadi antara aku dan Nando, untuk sementara kupikir jangan banyak orang yang tahu. Karena akupun tak ingin Dokter Hardi tahu aku mencurigainya.

* * *

Kubuka mataku perlahan, kepalaku sedikit pening. Aku berada di kamarku, kugerakkan tubuhku. Tapi aku tak bisa bergerak, kuamati diriku sendiri yang ternyata terikat di kursi. Kucoba melepaskan diri, ikatannya cukup kuat. Bagaimana aku bisa terikat? Seingatku, karena lelah sekali aku langsung merebahkan diri di kasur. Tak berapa lama aku terlelap. Tapi sekarang...?

Suara langkah kaki membuatku membantu. Kucari darimana langkah itu, dan aku kian membatu ketika melihat siapa yang muncul.

"Nando!" desisku.

"Hai Diana," sapanya dengan senyuman. Senyum yang dulu kupikir menawan.

"Nando, apa-apaan ini. Lepaskan aku!" rontaku.

"Tadinya, aku berniat menjadikanmu istriku Diana. Tapi kau terlalu ingin tahu urusan orang,"

"Apa maksudmu?"

Suara langkah kaki lain membuatku menoleh, Dokter Hardi! Apa ini, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Dokter Hardi juga ada disini, bersama Nando?

"Nona Diana, apa kabar?"

"Apa sebenarnya ini?" tanyaku geram.

"Anda cukup mengganggu saya nona," seru Dokter Hardi memasukkan salah satu tangannya ke saku jas dokternya. Kutatap Nando dengan tatapan yang butuh jawaban.

"Kau ingin bertanya ada hubungan apa antara aku dan Dokter Hardi? Ok, Dokter Hardi adalah Ayahku. Kami memang tidak tinggal bersama, tapi aku akan melakukan apapun agar Ayahku mampu mendapatkan kepuasan jiwa!"

Aku menggeleng pelan, mataku memgambang. Aku berharap bisa mendapatkan bantuan dari Nando. Tapi apa?

Kulihat Dokter Hardi mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, sebuah suntikan. Mataku melebar, kucoba untuk meronta.

"Kalian mau apa, tolong...tolong...," teriakku. Tapi aku malah mendengar tawa dari Nando, "tidak akan ada yang mendengarmu, rumahmu cukup memisahkan diri dari tetanggamu, Diana!"

Dokter Hardi mendekat padaku, menyeret kursi dan duduk di depanku, "ini adalah hal yang paling aku sukai," ia mulai membuka penutup jarum suntiknya, aku kian meronta hingga kursi yang menyatu denganku bergoyang dan berisik. Tapi Nando berjalan ke belakangku dan memegangi kursinya. Membuatku tak bisa bergerak.

"Apa itu, itukah yang kau berikan pada Ibuku? Kau membunuhnya?"

"Ini morfin, bukan racun. Tapi jika diberikan kepada seseorang secara berlebihan, juga bisa berakibat fatal!"

"Tidak. Jangan, aku mohon..., Nando...tolong aku!" aku masih mencoba meronta. Apalagi ketika Dokter Hardi mulai mendekatkan suntikan itu ke tubuhku, saat aku hendak berteriak lagi, kurasakan tangan kekar menutup mulutku dengan kuat. Membuatku hanya bisa berguman.

Dokter Hardi mendekatkan benda di tangannya pada dadaku, "karena kau membuatku kesal, kau pantas untuk dihukum," ucapnya lalu membuka dua kancing teratas kemejaku, aku tetap mencoba meronta meski sia-sia. Kurasakan ujung jarum itu menempel pada kulitku. Sebagai dokter aku yakin Dokter Hardi tahu dimana letak jantungku.

"Cairan ini akan langsung masuk ke dalam jantungmu, lalu menghentikan kerja jantungmu perlahan," katanya seraya menekannya menembus tubuhku. Seperti suntikan pada biasanya, hanya seperti gigitan semut. Selesai prosesi penyuntikan, Dokter Hardi menyandarkan tubuhnya di kursi yang didudukinya. Sementara Nando melepaskan tangannya dariku dan menjauh, kutoleh, kulihat dia berdiri di jendela. Menatap Ayahnya.

Beberapa detik berlalu, aku mulai merasakan sakit di dadaku. Sangat sakit, kutatap dokter Hardi di depanku. Aku ingin mengumpat, tapi rasa terkabar di dalam dadaku membuatku hanya bisa kejang-kejang. Dokter Hardi tersenyum, "ini yang aku sukai nona Diana, menikmati ekspresi pasienku saat meregang nyawa. Kau tahu, rasanya..., aku merasa menjadi Tuhan!" ucapnya.

Kulirik Nando yang menikmati ekspresi Dokter Hardi yang sedang menikmati pemandangan di depannya. Aku. Sedang meregang nyawa. Aku bahkan tak mampu merasakan apapun lagi selain tubuhku yang sepertinya kejang-kejang lemah, pandanganku mulai kabur. Tapi aku masih bisa melihat wajah iblisnya yang sakau menatap maut yang merenggut jiwaku perlahan. Dia benar-benar menikmatinya.

 

__________o0o__________

 

©Y_Airy | 29 September 2016

[caption caption="banner event. dok. FC"]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun