"Dengan siapa aku bicara?"
Verel terhenyak, ia melepas headphonenya lalu menatap atasannya, "ini darinya," katanya lalu memakai headphonenya lagi dan membesarkan volum audionya, agar semua orang di ruangan itu mendengar. Pria yang sedari tadi hanya memerintah dalam kegusaran itupun mendekat ke mic,
"Dengan siapa aku bicara?" kuulangi pertanyaanku, jantungku mulai berdebar. Setetes keringat menetes dari dahiku, menunggu fakta apa yang akan kuketahui.
"Gilang Pratama," suara lain kini menggema di telingaku. Suara yang lebih berat dan pasti lebih berumur dari pria pertama, "kami senang ini kau!"
"Siapa kalian, kenapa kalian ingin membunuhku?" tanyaku langsung. Aku tak mau berbasa-basi, karena mau semua ini segera berakhir.
"Kami tak berniat membunuhmu!" sahutnya lalu menoleh pada Ditya. Ditya langsung mengerti isyarat yang diberikan oleh atasanya, iapun mengunci lokasi target dan mengirimkan pesan kepada regu yang telah mereka persiapkan untuk menyergap. Setlah done, ia memberi isyarat beres kepada atasnnya, "dengar Nak, akan lebih baik jika kita bertemu secara damai. Maka tak perlu ada kekerasan!"
Tak berniat! Lalu apa mereka? Sekelompok orang bersenjata datang menyerangku dengan beringas, bahkan dua kelompok. Mereka pikir aku sebodoh itu? Atau aku memang bodoh, mereka sepertinya tahu betul siapa diriku.
"Apa yang kalian inginkan, aku tak merasa melakukan kesalahan apapun?"
"Kesalahan?" desis pria itu, "kesalahanmu cukup fatal, Nak. Apa yang kau dan temanmu lakukan itu tidak baik!"
Aku mengernyit, "teman," lirihku, "apa yang aku lakukan!" aku heran dan tak mengerti apa yang mereka maksudkan, "apa yang aku lakukan?" aku bertanya lebih keras.
"Kau memiliki sesuatu yang seharusnya tak kau miliki, sesuatu yang harusnya tetap berada di tangan kami. Lebih baik kau serahkan barang itu secara baik-baik, maka kami tidak akan menyakitimu!"