Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Bulan Kemanusiaan RTC] Aku Tak Ingin Menjadi Sampah

27 Juli 2016   16:33 Diperbarui: 27 Juli 2016   16:39 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tidak berfikir yang aneh tentang itu, toh om Tirta kan sepupu ibu. Tentu om Tirta segan meminta ibu untuk memijitnya karena ibu memang juga lelah seharian bekerja.

"Iya om, mau di sini atau di kamar om?" kataku menyanggupi. Om Tirta melebarkan senyumannya, "di sini saja, kau punya lotion kan?" sahutnya.

Aku mengangguk. Ku taruh pulpenku di atas buku yang masih terbuka, lalu aku bangkit untuk mengambil lotion di meja lain. Om Tirta langsung saja membuka bajunya dan berbaring telungkup di atas kasurku, menyisakan celana boxer hitamnya. Akupun segera naik dan mulai memijitnya,

"Pijitanmu tambah enak Dit, nanti gantian kau juga om pijit ya. Biar impas!" katanya. Aku terdiam sesaat, kejadian lima tahun silam memang hanya terjadi sekali. Tapi aku masih bisa merasakan sensasinya hingga detik ini, dan itu yang membuatku sering melakukannya sendiri. Tentu secara diam-diam karena aku tak mau ibuku tahu.

Tubuhku mulai berkeringat memijitnya, karena aku lupa menyalakan kipas. Aku berhenti memijit untuk beristirahat, om Tirta bangkit duduk, "capek ya?" tanyanya.

Jawabanku hanya sebuah cengiran.

"Sini, om pijit tanganmu!" katanya memungut lengan kananku dan mulai memijitnya. Kini gantian om Tirta yang memijitku, seperti dulu, aku harus melepas bajuku juga. Dan seperti dulu pula, pijit-memijit kami berubah menjadi sensai yang lain. Entah, aku sangat menikmatinya. Bedanya, malam ini lebih dari itu. Om Tirta mengajariku ilmu baru, di usiaku yang menginjak remaja, aku tahu apa nama dari perbuatan kami.

Kali ini bukan hanya menggunakan tangan, tapi kami benar-benar melakukannya. Bahkan kami sampai mengulanginya secara adil. Anehnya, aku tak merasa canggung ataupun malu lagi. Justru sangat menikmatinya. Dan om Tirta segera kembali ke kamarnya ketika mendengar gerbang pendek rumah terbuka. Artinya, ibu sudah pulang. Akupun bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Sejak itu, setiap ada kesempatan om Tirta pasti akan memintanya lagi. Kami bahkan pernah melakukannya saat menjemur pakaian. Hingga waktunya om Tirta harus kembali ke kotanya, aku merasakan sesuatu yang hilang saat menatapnya pergi. Aku terlanjur menyukai apa yang kami lakukan, jika dia pergi...artinya...aku harus melakukannya sendiri ketika menginginkannya. Jadi di dalam hati, aku berharap om Tirta akan datang lagi dan tinggal di rumah kami. Tapi ternyata tidak, karena dia terlanjur pergi, pergi selamanya. Meninggalkanku di dasar jurang yang paling kelam.

"Bu, ada apa?" tanyaku saat ibuku membeku menerima telepon keesokan harinya ketika kami sedang sarapan pagi, "Adit, om Tirta...kecelakaan___dia meninggal!" seru ibuku dengan suara bergetar.

Aku terpaku. Sendok di tanganku lepas perlahan. Ada sesuatu yang menghantam dadaku, merenggutnya dan membawanya pergi. Menjadikannya kosong. Aku merasa kehilangan. Tapi entah, apakah aku merasa kehilangan om Tirta karena sosoknya, atau merasa kehilangan akan sentuhannya, perlakuannya. Karena aku tahu, aku tak akan bertemu lagi dengannya. Tak akan mengulang apa yang kami lakukan saat bersama. Tidak lagi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun