"Kita sakit," sela Adit, "kita sakit Bram, bahkan kita seperti penyakit..., dan aku tidak mau menjadi sampah!"
Kalimatku membuat Bram membeku, aku tahu apa yang baru saja aku ucapkan itu telah menyakitinya. Juga semua orang seperti kami jika mereka mendengarnya. Terus terang, itu juga menyakitiku.
Satu tahun terakhir, aku mencoba melawan diriku sendiri. Beberapa pria yang sempat membuatku tertarik dan mencoba menjalin hubungan denganku, sebisa mungkin ku jauhi mereka. Aku mencoba dekat dengan beberapa teman kantor wanita, mencoba menjalin hubungan dengan mereka. Tapi selalu tak berhasil, dan semakin aku mencoba..., jiwaku terasa kian tersiksa. Seperti saat ini, ketika aku harus berhadapan dengan Bram.
"Sampah!" desis Bram getir.
"Kita sakit Bram, kita butuh psikiater. Akui itu!"
Bram mengulas senyum pahit, senyum yang membuat hatiku pedih. Lalu ia bangkit berdiri, masih dengan menatapku. Lalu ia melangkah meninggalkan kamar hotel tanpa sepatah katapun.
Aku tahu kalimat terakhirku begitu menyakitinya, ku sarankan dia untuk pergi ke psikiater. Tapi aku sendiri tidak yakin apakah aku juga punya nyali untuk pergi ke psikiater?
Dan benarkah..., kami butuh psikiater?
Â
__________o0o__________
Â